Monday, March 20, 2017

MAHABRATA 44

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
44. Pahlawan-Pahlawan Muda Berguguran
Pada hari keempat, pagi-pagi benar Bhisma, Drona dan
Duryodhana telah mengumpulkan balatentara Kaurawa. Siapakah yang tidak takjub melihat keperkasaan pasukan Kaurawa? Hari itu Bhisma menyiagakan pasukan-pasukan yang mengusung persenjataan berat, pasukan berkuda dan penunggang gajah. Kesatria tua itu tampak perkasa, berdiri tegap di kereta perangnya bagaikan Batara Indra yang sedang mempersiapkan pertempuran di angkasa. Arjuna melihat Bhisma memerintahkan pasukan-pasukan Kaurawa untuk maju. Ia sendiri sudah siap di keretanya. Begitu matahari terbit, sangkakala ditiup, tanda peperangan dimulai. Pagi-pagi benar Abhimanyu telah dikepung oleh Aswatthama, Bhurisrawa, Citrasena, Salya dan Cala, putra Salya. Putra Arjuna yang masih muda itu bertarung dengan sengit, bagaikan seekor singa menghadapi lima ekor gajah. Belum lama berperang, dia sudah berhasil membunuh Cala. Melihat putranya tewas mengenaskan, Salya sangat marah dan menantang Dristadyumna. Tetapi sebelum Dristadyumna sempat membalas tantangannya, Abhimanyu sudah menyerang Salya. Raja itu pasti kalah kalau tidak segera dibantu oleh Duryodhana dan saudara- saudaranya.
Melihat Abhimanyu dikeroyok, Bhima cepat-cepat memberikan bantuan. Saudara-saudara Duryodhana ngeri melihat Bhima mendekat sambil mengacung-acungkan gada besi yang luar biasa besarnya dan menggeram-geram seperti singa. Mereka gemetar ketakutan. Duryodhana marah melihat saudara-saudaranya ketakutan. Ia mengerahkan ratusan gajah untuk menerjang Bhima. Melihat ratusan gajah berlari ke arahnya, Bhima meloncat dari keretanya siap menghadang mereka dengan gada terayun-ayun. Dihadang seperti itu, gajah-gajah itu lari tunggang-langgang ketakutan. Banyak yang mati terkena hantaman gada Bhima atau terinjak-injak gajah lain. Bangkai binatang raksasa itu bergelimpangan dan tak sedikit prajurit Kaurawa yang mati terlindas gajah yang lari tunggang-langgang karena panik. Duryodhana menjadi mata gelap. Ratusan anak panah dilesatkannya ke arah Bhima. Beberapa tepat mengenai Bhima yang lalu bergegas naik kembali ke keretanya. Kepada sais keretanya ia memerintahkan agar kereta dipacu ke kubu Kaurawa, “Ayo Wisoka, ini hari yang gemilang. Aku melihat anak-anak Dritarastra siap kuremukkan, mudah sekali. Semudah menggoyang dahan jambu agar buahnya rontok berserakan di tanah. Rupanya Kaurawa sudah tak sabar ingin segera dikirim ke neraka!”
Delapan saudara Duryodhana mati remuk terkena amukan gada Bhima. Akhirnya Duryodhana maju dan menantang Bhima dengan garang. Busur Bhima terpelanting kena panah Duryodhana. Dengan cekatan Bhima mengambil busur baru dan membalas serangan Duryodhana dengan anak panah bermata pedang yang tepat mengenai busur Duryodhana hingga patah jadi dua. Tak kalah tangkasnya, Duryodhana mengambil busur baru untuk membidik Bhima. Kesatria Pandawa itu terkena dadanya, tubuhnya tersentak lalu jatuh terduduk. Tanpa membuang waktu, Duryodhana menggunakan kesempatan itu untuk meluncurkan beratus-ratus anak panah ke arah Bhima. Gatotkaca, yang melihat ayahnya terduduk setengah tak sadarkan diri, segera maju menyerang pasukan Kaurawa. Sadar akan keadaan pasukan Kaurawa yang sudah sangat payah dan hari memang sudah sore, Bhisma meme- rintahkan Drona untuk mengundurkan pasukan mereka ke perkemahan. Bhisma tahu, Gatotkaca, putra Bhima dari istrinya yang raksasa, akan bertambah kuat dan sakti jika hari mulai gelap. Bertambah malam kesaktiannya semakin bertambah. Itu adalah ciri khas anak raksasa.
“Esok saja kita hadapi Gatotkaca,” kata Bhisma.
Sampai di perkemahan, Duryodhana duduk termangu- mangu. Air matanya menetes, hatinya sedih mengenang kekalahan tadi siang. Peperangan baru berlangsung empat hari, tetapi sudah delapan saudaranya yang tewas dan tak terhitung banyaknya prajurit Kaurawa yang kehilangan nyawanya atau menjadi cacat. Kekalahan itu semakin terasa berat karena banyak kereta perang yang hancur dan gajah serta kuda yang mati.
Setiap hari Raja Dritarastra mendapat laporan tentang jalannya pertempuran dari Sanjaya, orang kepercayaan dan penasihatnya. Mendengar laporan tentang jalannya pertempuran pada hari keempat, ia menjadi marah.Katanya dengan nada keras, “Sanjaya, setiap hari engkau selalu menyampaikan kabar buruk. Laporanmu hanya berisi kesedihan, kekalahan dan kematian mereka yang kucintai. Aku tidak tahan mendengar semua ini.”
“Tuanku Raja, bukankah ini semua adalah akibat dari kesalahan Tuanku sendiri? Aku hanya melaporkan apa yang kulihat, sama sekali tidak mengada-ada. Memang menyedihkan. Tapi, bagaimana aku bisa mengabarkan berita baik, jika kenyataannya tidak demikian? Tuanku Raja harus menerima kenyataan ini dengan sabar,” jawab Sanjaya.
Bersambung...

Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment