Thursday, March 30, 2017

MAHABHARATA 49




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
49. Jayadrata Harus Ditumpas I
Sumpah Arjuna bahwa ia akan membunuh Jayadrata, putra Raja Wridaksatra, sebelum matahari terbenam terdengar oleh pihak Kaurawa lewat mata-mata mereka. Pada waktu Jayadrata lahir, ayahnya mendengar suara gaib yang berkata, “Kelak bayi ini akan mencapai kemasyhuran dan kebesaran, dan akan tewas di tangan musuhnya dalam suatu pertempuran besar. Dengan demikian, ia akan mencapai tempat yang layak bagi seorang kesatria di alam baka. Ia akan menemui ajalnya dengan kepala terpisah dari tubuhnya.”
Raja Wridaksatra sedih mendengar suara gaib yang meramalkan kematian anaknya kelak. Dengan hati kusut dan pikiran kacau ia mengucapkan kutuk-pastu, “Siapa yang kelak menyebabkan kepala anakku terguling-guling di tanah, kepalanya akan pecah berantakan.”
Ketika Jayadrata telah dewasa, Raja Wridaksatra menyerahkan Kerajaan Sindhu kepadanya. Kemudian ia menyepi ke hutan untuk bertapa. Hutan tempatnya bertapa kebetulan dekat dengan padang Kurukshetra, tempat berlangsungnya perang besar Bharatayuda.
“Aku tidak ingin terlibat lagi dalam peperangan ini. Aku akan kembali ke negeriku,” kata Jayadrata kepada Duryodhana setelah mendengar berita tentang sumpah Arjuna.
“Jangan khawatir, Saudaraku. Semua kesatria perkasa ada di pihak kita. Kami senantiasa siap melindungimu jika keselamatanmu terancam. Karna, Citrasena, Bhurisrawa, Salya, Drona, Sakuni, Purumitra, Satyawrata, Duhsasana, Wikarna, Durmukha, Subahu, Awanti, dan aku sendiri siap membelamu. Hari ini aku akan mengerahkan seluruh balatentara Kaurawa untuk melindungimu dari serangan Arjuna. Jangan khawatir, engkau tidak perlu pergi hari ini,” kata Duryodhana membujuk Jayadrata agar tidak meninggalkan perkemahan Kaurawa.
Untuk meyakinkan diri, Jayadrata pergi menemui Mahaguru Drona. Ia berkata, “Mahaguruku, engkau telah mengajar kami, aku dan Arjuna. Engkau sangat mengenal kami berdua. Bagaimana penilaianmu terhadap kami berdua?”
Drona menjawab demikian, “Anakku, aku telah selesaikan tugasku sebagai guru, mengajar engkau berdua tanpa pilih kasih. Ajaran yang kuberikan kepadamu dan kepada Arjuna sama. Tetapi, rupanya Arjuna lebih maju karena usahanya sendiri. Ia rajin menempuh berbagai bahaya, mencari pengalaman dan berlatih dengan tekun. Tapi, engkau tidak perlu cemas karena pasukan yang amat kuat akan ditempatkan di depanmu. Arjuna pasti sulit menembusnya.
“Bertempurlah sesuai tradisi para pendahulumu yang gagah berani. Kematian akan menjumpai kita semua, tanpa kecuali. Kesatria yang mati di medan pertempuran akan mencapai surga dengan mudah. Hilangkan kecemasanmu dan berjuanglah!”
Setelah berkata demikian, Mahaguru Drona mengatur balatentara Kaurawa dalam formasi bunga teratai. Di pusat bunga itu, Jayadrata aman terlindung dan berada kira-kira 180 pal di belakang barisan paling luar. Ia didamping pasukan yang dipimpin Bhurisrawa, Karna, Aswatthama, Salya, Wrishasena dan Kripa.
Lingkaran pasukan paling dalam diatur dalam formasi bunga teratai, langsung dipimpin Drona. Di depannya, berjajar pasukan dalam formasi pakis sebagai pasukan tempur. Mahasenapati Drona naik kereta kebesaran yang ditarik empat ekor kuda berbulu cokelat abu-abu, dihiasi panji-panji lambangnya sebagai mahasenapati. Ia berdiri di kereta, mengenakan mahkota mahasenapati dan membawa busur panah putih cemerlang dan senjata-senjata sakti lainnya. Keperkasaan mahasenapati itu membuat Duryodhana yakin bahwa hari itu Kaurawa pasti menang.
Demikianlah, di hari keempat belas, dengan kekuatan seribu kereta perang, seratus barisan gajah, tiga ribu barisan pasukan berkuda, sepuluh ribu prajurit peretas jalan, dan seribu lima ratus prajurit penyergap, Kaurawa maju ke medan perang. Di ujung depan berdiri Durmashana, salah satu putra Dritarastra. Ia ditugaskan untuk meniup terompet dan meneriakkan tantangan kepada Arjuna. Tantangan itu diterima Arjuna, yang telah maju sampai sejauh selemparan anak panah dari Durmashana.
Pasukan penyergap yang dipimpin Durmashana kocar- kacir karena mendadak diserang oleh Arjuna. Duhsasana mencoba menolong saudaranya, tetapi dikalahkan Arjuna dan terpaksa melarikan diri, berlindung pada Drona. Arjuna lalu berhadapan dengan Drona. Setelah menyembah gurunya, ia berkata bahwa kedatangannya adalah untuk membalas kematian Abhimanyu dan melaksanakan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata. Kata-katanya dijawab Drona dengan ucapan bahwa Arjuna takkan bisa maju sebelum berhasil menaklukkan dirinya.
Maka kedua kesatria itu saling membidikkan anak panah. Drona menggunakan panah api, Arjuna membalas dengan panah air. Perang panah itu berlangsung cukup lama. Masing-masing sama saktinya dan sama-sama memiliki panah sakti. Suatu kali, kedua panah mereka berbenturan, menimbulkan ledakan dan membuat langit tiba- tiba menjadi gelap.
Pada kesempatan itulah Krishna menasihati Arjuna agar menyelinap, menghindari Drona, lalu menembus pasukan Kaurawa dari samping sambil maju sampai ke tempat Jayadrata.
Arjuna berhasil menembus pertahanan Kaurawa lalu berhadapan dengan pasukan Negeri Bhoja. Di bawah pimpinan Kritawarma dan Sudakshina, dalam sekejap mata pasukan itu dapat dikalahkan oleh Arjuna. Putra Pandu itu kemudian berhadapan dengan Srutayudha, putra Dewi Parnasa, yang telah bertapa dan memperoleh senjata sakti dari Batara Baruna.
Senjata sakti itu diberikan kepada Srutayudha dengan pesan bahwa tak ada musuh yang akan dapat menaklukkannya. Tetapi, senjata itu tidak boleh digunakan untuk melawan orang yang tidak bertempur, sebab ia akan berbalik menyerang pemiliknya. Dalam pergulatan melawan Arjuna, Srutayudha menggunakan senjata itu untuk menggempur Krishna, sais kereta Arjuna. Ia tidak tahu, Krishna telah bersumpah tidak akan mengangkat senjata dalam pertempuran Bharatayuda. Sewaktu ia membidikkan senjatanya ke arah Krishna untuk melumpuhkan kereta Arjuna, senjata tersebut berbalik ke arahnya dan menembus dadanya sendiri. Tewaslah Srutayudha. Raja Negeri Kamboja, saudara Srutayudha, bersama
kedua putranya, menggantikannya menghadapi Arjuna. Mereka bertiga gugur di tangan Arjuna yang sedang mengamuk.
Duryodhana cemas melihat cepatnya Arjuna menembus pertahanan Kaurawa. Ia segera menemui Drona dan memprotes sikap mahaguru itu, “Arjuna menyebabkan pasukan kita kocar-kacir. Mereka yang mengelilingi Jayadrata yakin, tidak akan semudah itu Arjuna menerobos pasukan kita. Buktinya, sekarang ia sudah hampir mendekati Raja Sindhu. Para prajuritku sudah kehilangan keberanian. Arjuna dapat melewatimu tanpa perlawanan. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres. Rupanya engkau memihak Pandawa dan membiarkan anak Pandu itu menghabisi para prajuritku tanpa perlawanan berarti.
“Ketahuilah, aku telah menahan Jayadrata agar jangan kembali ke negerinya. Sekarang Arjuna akan menggempurnya. Jayadrata pasti akan menemui ajalnya. Aku merasa berdosa. Pergilah engkau dan selamatkanlah nyawa Raja Sindhu.”
Mendengar kata-kata Duryodhana, Drona menjawab, “Tuanku Raja, tak ada gunanya aku menanggapi kata- katamu yang kauucapkan tanpa dipikirkan lebih dahulu.
“Wahai muridku, bagiku engkau tak beda dengan anakku sendiri. Ambil senjata ini dan hadang Arjuna. Aku tidak bisa meninggalkan medan ini, sebab Yudhistira akan segera sampai di sini bersama pasukannya yang paling kuat.
“Lihatlah asap dan debu yang menandakan gerakan pasukan Pandawa. Yudhistira maju tanpa didampingi Arjuna. Ini kesempatan bagi kita untuk menculik dia. Kita tidak boleh membatalkan rencana kita untuk menangkap dia hidup-hidup. Kalau aku pergi menggempur Arjuna, pasukan kita akan berantakan. Pergilah engkau berbekal senjata yang dapat memusnahkan musuh. Kenakan jubah yang tidak bisa ditembus senjata apa pun. Semoga engkau berhasil dan menang!” kata Drona dengan sabar.
Setelah menerima senjata sakti dari Drona dan mengenakan jubah gaib, dengan diiringkan pasukan amat besar Duryodhana menyerang Arjuna dengan hati mantap. Sementara itu, Arjuna sudah jauh menembus formasi pasukan Kaurawa. Waktu Krishna hendak menghentikan keretanya dan membiarkan kuda-kudanya beristirahat sebentar, tiba-tiba dua bersaudara, Winda dan Anuwinda, menyerangnya. Tetapi, seperti para kesatria sebelumnya, dengan mudah Arjuna menewaskan mereka.
Ketika Arjuna dan Krishna sedang duduk-duduk beristirahat dan kuda mereka sedang makan rumput, dari kejauhan Duryodhana datang mendekat sambil berteriak lantang, “Kata orang engkau gagah berani dan pandai bertempur. Aku belum pernah melihat kehebatanmu dengan mataku sendiri. Sekarang aku ingin menyaksikan kemahiranmu berperang. Hai Arjuna, bangkitlah!”
Arjuna dan Duryodhana bertempur dengan hebat. Krishna heran sebab setiap anak panah yang dilepaskan dari Gandiwanya mental, tak bisa melukai Duryodhana. Ia lalu berkata, “Aneh! Apakah Gandiwamu sudah kehilangan kesaktiannya? Tak satu pun anak panahmu bisa melukai Duryodhana. Seperti batang ilalang, anak panahmu berjatuhan setelah menyentuh tubuhnya. Aku bingung.”
Arjuna tersenyum sambil berkata, “Ya, aku tahu. Duryodhana pasti mendapat pinjaman senjata dari Drona. Mahaguru pernah mengajarkan padaku, bagaimana caranya melumpuhkan kekebalan dan kesaktian senjata itu. Engkau akan melihat kejadian lucu nanti.”
Sambil berkata demikian, Arjuna terus melepaskan anak panahnya untuk melumpuhkan kuda, kereta, dan sais Duryodhana. Pikirnya, pasukan Kaurawa akan mudah dilucuti. Kemudian Arjuna melepaskan sebatang anak panah kecil yang mengandung racun penyengat ke arah tubuh Duryodhana yang tidak tertutup jubah. Bagaikan disengat lebah besar beracun, Duryodhana lari sambil berteriak-teriak kesakitan. Anak panah kecil itu tepat mengenai tubuhnya. Kemudian Krishna meniup trompet kerangnya. Bunyinya menggema sampai terdengar oleh pasukan yang mengawal Jayadrata. Mereka kaget sekali. Para senapati mereka, yaitu Karna, Salya, Bhurisrawa, Aswatthama, Wisbasena, Chala dan Jayadrata lalu menyiagakan pasukan mereka masing-masing.
Sementara itu, Dristadyumna, yang dengan mahir mengemudikan keretanya yang ditarik empat kuda berbulu putih seputih bulu merpati. Ia menyerang Drona, menebas tali kekang kuda-kuda penarik keretanya dan menyusulnya dengan serangan dari tangga dan dari samping kereta. Alangkah perkasanya kedua kesatria itu. Sebentar mendekat, kemudian menjauh, lalu mendekat lagi. Masing- masing dengan kereta dan kuda yang tegap dan kokoh.
Pertarungan itu berlangsung lama. Drona tidak mudah
ditaklukkan. Nyawa Dristadyumna nyaris melayang kalau tidak diselamatkan oleh Satyaki. Pada saat yang genting, kesatria itu datang mendekat sambil merentangkan busurnya dan membidik busur Drona. Kena! Dristadyumna dapat diselamatkan, sementara para kesatria yang terluka dilarikan ke tempat yang aman.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment