Monday, March 13, 2017

MAHABRATA 37 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
37. Krishna dalam Wujud Wiswarupa (bag. II)
Ketika Krishna dan para pengiringnya tiba di Hastinapura, penduduk berdiri di pinggir jalan, mengelu-elukan kedatangannya. Saking padatnya jalanan, kereta mereka nyaris tak bisa bergerak. Pertama-tama Krishna pergi ke istana Dritarastra, kemudian ke kediaman Widura. Dewi Kunti menemuinya di kediaman Widura. Ibu para kesatria Pandawa itu menangis ketika bertemu dengan Krishna. Ia sedih karena ingat akan penderitaan putra-putranya selama tiga belas tahun. Krishna menghibur Dewi Kunti dengan mengabarkan bahwa saat itu Pandawa selamat dan sejahtera.
Dari kediaman Widura, Krishna pergi ke kediaman Duryodhana untuk menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu mengharapkan penyelesaian yang wajar. Duryodhana menyambut Krishna dan mengundangnya untuk makan-makan, tetapi dengan halus Krishna menolaknya. Katanya, “Terima kasih atas undanganmu. Saya terima undangan makan-makan itu. Tetapi, sebaiknya itu dilaksanakan setelah kita mencapai kesepakatan untuk memilih jalan damai.”
Setelah menyampaikan pesannya kepada Duryodhana, Krishna minta diri untuk kembali ke kediaman Widura. Di sanalah ia tinggal selama ia menjalankan tugasnya di Hastinapura. Krishna dan Widura lalu mengadakan pembicaraan. Widura menjelaskan kepada Krishna bahwa keangkuhan Duryodhana disebabkan oleh keyakinannya akan kesaktiannya sendiri. Kecuali itu, Bhisma dan Drona tetap berada di pihaknya. Widura memberi isyarat bahwa sebaiknya Krishna dan pengiringnya tidak masuk ke ruang perundingan yang akan diselenggarakan oleh Duryodhana. Ia yakin, Duryodhana dan saudara-saudaranya pasti telah merencanakan suatu perangkap untuk membunuh Krishna.
“Apa yang engkau katakan tentang Duryodhana itu benar. Aku datang kemari dengan harapan bisa merundingkan penyelesaian secara damai. Aku tidak ingin dikutuk oleh dunia. Jangan engkau khawatirkan keselamatanku,” kata Krishna.
Keesokan harinya Duryodhana dan Sakuni datang menemui Krishna, mengatakan bahwa Dritarastra telah menunggu kedatangannya. Krishna segera pergi ke tempat perundingan bersama Satyaki dan Widura. Pada waktu Krishna memasuki ruangan, semua yang hadir di situ serentak berdiri dan memberikan salam hormat dengan mengatupkan kedua telapak tangan. Kemudian Krishna dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan baginya. Setelah upacara penyambutan selesai, tibalah giliran Krishna untuk bicara.
Sambil memandang Dritarastra dengan penuh hormat, Krishna menjelaskan maksud kedatangannya kepada hadirin. Ia juga menjelaskan apa yang sebenarnya diinginkan pihak Pandawa. Akhirnya secara khusus Krishna berkata kepada Dritarastra, “Paduka Raja, hendaknya Tuanku jangan membawa kehancuran bagi rakyat. Renungkan ini: sesuatu dikatakan jelek apabila baik bagi dirimu sendiri dan sesuatu dikatakan baik apabila jelek bagi dirimu sendiri.
“Tugasmu adalah untuk menuntun putra-putramu. Pandawa siap bertempur, tetapi mereka memilih perdamaian. Mereka ingin hidup rukun dan bahagia di bawah pimpinanmu. Perlakukan mereka sebagaimana putra- putramu sendiri. Berusahalah untuk mencari penyelesaian yang damai dan terhormat. Pasti dunia akan menghormati engkau!” Demikianlah, Krishna berkata dengan sungguh- sungguh. Dritarastra yang buta berkata kepada para hadi- rin, “Saudara-saudara dan sahabat-sahabatku, dalam hal ini aku tidak bersalah. Aku juga mengharapkan perdamaian, sama seperti yang dikatakan Krishna. Tetapi aku tidak berdaya. Putra-putraku tidak mau mendengarkan kata-kataku. Krishna, aku harap kau berhasil menasihati Duryodhana.”
Krishna menoleh ke arah Duryodhana dan berkata,
“Engkau keturunan keluarga agung dan terhormat. Berjalanlah di jalan dharma. Buanglah iri, dengki dan dendam di hatimu karena itu tidak sesuai dengan keagunganmu. Perasaan seperti itu hanya pantas bagi orang yang berasal dari keturunan berbudi rendah. Karena engkaulah, keturunan dan keluarga ini berada dalam bahaya kehancuran. Dengarkan dan pertimbangkan usul kami yang adil dan wajar ini.
“Pandawa menghendaki Dritarastra menjadi raja dan engkau menjadi ahli warisnya. Berdamailah dengan mereka dan serahkan separo kerajaan ini kepada mereka.”
Bhisma dan Drona menasihati Duryodhana agar mau mendengarkan kata-kata Krishna. Tetapi hati Duryodhana sudah keras, tidak bisa dilembutkan.
“Aku kasihan melihat ayahmu, Dritarastra, dan ibumu, Dewi Gandhari. Karena keserakahanmu, mereka menderita, putus asa dan kehilangan segalanya,” kata Widura kepada Duryodhana.
Sekali lagi Dritarastra berkata kepada putranya, “Duryodhana! Kalau engkau tidak mau mendengarkan nasihat Krishna, bangsamu akan musnah.”
Bhisma dan Drona tidak putus-putusnya menasihati Duryodhana agar tidak berjalan ke arah yang salah. Tetapi Duryodhana justru kehilangan kesabaran. Ia tidak dapat menahan kekesalannya lagi, lebih-lebih karena merasa dipojokkan untuk menyetujui penyelesaian secara damai. Kekesalan dan amarahnya meledak! Dia berdiri lalu berkata lantang, “Wahai, Krishna, engkau menyalahkan aku sebab engkau memihak Pandawa. Yang lain juga menyalahkan aku, tetapi aku yakin bukan aku yang harus dikutuk. Atas kehendak mereka sendiri Pandawa telah mempertaruhkan kerajaan mereka. Mana bisa aku yang harus bertanggung jawab atas urusan ini? Setelah kalah dalam permainan, sesuai permufakatan yang terhormat, mereka harus masuk hutan seperti kesepakatan kita semula.
“Sekarang, kesalahan apalagi yang mereka tuduhkan kepada kami? Mengapa kami dituduh haus perang dan pembunuhan? Aku tidak gentar menghadapi ancaman apa pun. Ketika aku masih bocah, orang-orang yang lebih tua selalu menyalahkan dan menyakiti hati kami dengan selalu membenarkan, membela, dan menyanjung Pandawa. Aku tidak tahu, mengapa mereka harus mendapat setengah dari kerajaan ini padahal sesungguhnya mereka sama sekali tidak berhak. Waktu itu, aku diam dan setuju saja. Tetapi, bukankah mereka telah mempertaruhkan kerajaannya dalam permainan dadu dan mereka kalah? Sejengkal pun takkan kuberikan wilayah kerajaanku kepada Pandawa!” kata Duryodhana tanpa rasa bersalah sama sekali.
Krishna tersenyum dan berkata, “Bukankah engkau telah mempersiapkan permainan itu dengan licik? Bersama dengan Sakuni, kau memperdayakan Pandawa. Permainan kauatur sedemikian hingga Pandawa tak mungkin menang. Dengan keji kau hina Draupadi di depan para raja dan tamu-tamu lainnya. Tanpa malu engkau tetap bersitegang bahwa engkau sama sekali tidak bersalah.”
Duhsasana menanggapi pembicaraan tersebut dengan mengatakan bahwa Bhisma dan para tetua lainnya sudah termakan oleh kata-kata Krishna yang memojokkan Duryodhana.Tiba-tiba ia berdiri lalu berkata dengan lantang, “Saudaraku, rupa-rupanya orang-orang dalam perundingan ini telah menyiapkan rencana jahat terhadap dirimu. Mereka hendak mengikat kaki dan tanganmu dengan tali tipu muslihat dan menyerahkan dirimu pada Pandawa. Ayo, kita pergi dari sini.”
Demikianlah, Duryodhana dan saudara-saudaranya segera meninggalkan perundingan. Krishna meneruskan pembicaraan dengan hadirin yang masih ada. Ia berkata, “Tuan-Tuan yang mulia, bangsa Yadawa dan bangsa Wrisni kini hidup damai dan bahagia setelah Kamsa dan Sisupala mati. Demi menyelamatkan seluruh rakyat, mungkin kita perlu mengorbankan satu- dua orang.
“Bukankah ada kalanya sebuah desa harus dikosongkan atau dimusnahkan demi menyelamatkan seluruh negeri dari petaka wabah penyakit? Aku khawatir, kita terpaksa mengorbankan Duryodhana bila Tuan-Tuan hendak menyelamatkan bangsa ini. Inilah satu-satunya jalan.” Dritarastra menyuruh Widura memanggil Dewi Gandhari, permaisurinya dan ibu para Kaurawa. Ia berharap
Duryodhana mau mendengarkan nasihat ibunya dan mengambil keputusan dengan akal sehat. Tetapi Duryodhana berkata dengan mata merah melotot, “Tidak, tidak, tidak!” lalu pergi tanpa memberi hormat kepada siapa pun.
Duryodhana menyusun rencana untuk menculik dan membunuh Krishna. Rencana itu segera sampai ke ruang perundingan. Krishna, yang sudah mengetahui rencana itu sejak semula, tiba-tiba memperlihatkan keaslianNya. Selama beberapa saat Dritarastra yang buta dapat melihat Krishna dalam wujudNya yang suci dan agung, wujud sebagai penjelmaan Hyang Widhi yang membawa perdamaian. Dritarastra lalu menyembah.
“Oh Hyang Widhi, setelah melihat Engkau dalam bentuk Wiswarupa, aku tidak ingin melihat apa-apa lagi. Biarlah aku buta untuk selama-lamanya,” katanya sambil memejamkan matanya lagi. Seketika itu ia kembali buta seperti sediakala.
Dritarastra meneruskan ucapannya, “Semua usaha kita gagal. Duryodhana memang kepala batu.”
Setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, pertemuan diakhiri. Krishna segera meninggalkan ruangan didampingi Satyaki an Widura. Ia langsung menemui Dewi Kunti dan mengabarkan bahwa usahanya gagal. Dewi Kunti meminta agar Krishna menyampaikan restunya kepada putra-putranya.
“Sekarang saatnya menunjukkan untuk apa sebenarnya seorang ibu membesarkan putra-putranya hingga menjadi kesatria, yaitu untuk dikorbankan di medan perang. Semoga engkau dapat menuntun mereka dalam pertempuran,” kata Dewi Kunti kepada Krishna. Setelah bercakap-cakap sebentar, Krishna cepat-cepat naik ke keretanya lalu melecut kudanya agar berlari kencang menuju Upaplawya.
Jalan damai sudah diusahakan, tapi peperangan tak terhindarkan!
Bersambung....

Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment