Saturday, March 4, 2017

MAHABRATA 31 bagian 2

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
31. Hidup dalam Penyamaran 2
Yudhistira lalu mengenakan pakaian sanyasin, Arjuna berdandan seperti perempuan dan memilih nama Brihannala, sementara Bhima, Nakula dan Sahadewa mempersiapkan diri masing-masing sesuai dengan pekerjaan yang mereka pilih selama satu tahun masa penyamaran. Mereka berlatih cara berjalan, berbicara, bertingkah laku dan berbagai kebiasaan lain yang sesuai dengan penyamaran yang mereka pilih. Setelah dirasa cukup mempersiapkan diri, mereka memasuki Negeri Matsya dengan penuh keyakinan. Pandawa berpencar, berusaha melamar pekerjaan sendiri-sendiri. Tapi alangkah sulitnya mendapat pekerjaan. Meski sudah berusaha menyamar sebaik-baiknya, jika diperhatikan dengan saksama, sifat, wibawa dan gerak- gerik mereka sebagai putra-putra raja masih bisa terlihat.
Yudhistira, Bhima dan Draupadi akhirnya berhasil masuk ke lingkungan istana dan diterima bekerja di sana. Yudhistira menjadi pengawal pribadi raja, Bhima menjadi juru masak istana, dan Draupadi menjadi pelayan pribadi Ratu Sudesha, permaisuri Raja Wirata. Sementara itu, Arjuna diterima sebagai guru tari dan seni suara di sanggar tempat putra-putri bangsawan belajar. Sahadewa menemui pengawas gembala yang bertu- gas mengawasi ribuan ternak raja. Setelah diuji, Sahadewa diterima menjadi pembantunya. Pengawas gembala itu senang karena Sahadewa rajin, cekatan dan cepat menguasai pekerjaannya. Nakula menemui panglima prajurit berkuda dan diterima sebagai tukang kuda. Kedudukan panglima tertinggi Negeri Matsya dipegang oleh Kicaka yang gagah perkasa. Ia adik Ratu Sudesha. Di tangannya terletak keamanan Raja Wirata dan pertahanan Negeri Matsya. Sehari-hari ia sangat berkuasa. Begitu berkuasanya dia hingga rakyat berpendapat bahwa penguasa negeri itu sesungguhnya adalah Kicaka, bukan Wirata. Setelah beberapa bulan Sairandri bekerja melayani Ratu Sudesha, Panglima Kicaka tampak sering muncul di istana tanpa diketahui Sairandri. Diam-diam panglima itu tertarik melihat kecantikan pelayan kakaknya. Lama kelamaan Sairandri tahu bahwa Kicaka menyukai dirinya. Ia berusaha untuk tidak memberi kesempatan, tetapi panglima tampan itu sudah jatuh cinta kepadanya dan tak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia sering mencari-cari alasan untuk menemui Ratu Sudesha agar bisa bertemu dengan Sairandri. Kicaka lupa, sebagai Mahasenapati Negeri Matsya ia tak pantas menjalin cinta dengan seorang pelayan. Sairandri takut dan malu, tak berani mengatakan hal itu kepada Ratu Sudesha atau kepada pelayan lain. Ia sadar, siapa dirinya dan bagaimana keadaannya sekarang. Tetapi Kicaka terus berusaha menemui dan merayunya, meskipun Sairandri selalu menghindari, menjauhi dan menolaknya. Untuk mengelabui, Sairandri berkata kepada Kicaka bahwa dia sudah bersuami dan suaminya raksasa yang sakti dan perkasa. Ia takut suaminya yang sakti itu secara gaib akan membunuh siapa pun yang berani menggangunya. Tetapi Kicaka tidak peduli. Tingkah laku Kicaka yang semakin kurang ajar membuat Sairandri terpaksa mengadukannya kepada Ratu Sudesha dan memohon pertolongannya. Mengetahui itu, tanpa malu-malu Kicaka menggunakan pengaruh kakaknya dan berkata kepada Ratu Sudesha bahwa ia menaruh hati pada pelayannya. Ia berharap Ratu menolongnya dengan memerintahkan pelayannya untuk menuruti perintah Kicaka. Kicaka berkata, “Kakakku, aku tertarik pada pelayanmu yang ayu. Semakin hari aku semakin terpikat padanya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Engkau harus menolongku dengan meyakinkan pelayanmu bahwa aku sungguh mencintainya dan tidak akan mempermainkannya. Tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menahan gejolak asmaraku.”
Mula-mula Ratu Sudesha menasihati saudaranya agar tidak menuruti perasaannya, karena Sairandri sudah bersuami dan suaminya raksasa. Tetapi Kicaka tak bisa dinasihati dan malah akan nekat. Akhirnya Ratu Sudesha menemukan gagasan untuk menolong adiknya. Mereka lalu menyiapkan perangkap. Pada suatu malam, Kicaka mengadakan pesta di kediamannya. Berbagai makanan hangat dan minuman keras disediakan untuk tamu-tamunya. Ratu Sudesha menyuruh Sairandri mengantar kendi emas berisi minuman istimewa ke kamar Kicaka. Mula-mula Sairandri menolak dengan alasan malu dan takut.
Sampai di kamar Kicaka, rupanya panglima itu sudah siap menjebaknya. Ia meminta Sairandri menginap di rumahnya. Dengan kesal Sairandri berkata, “Mengapa Panglima yang bangsawan menghiraukan aku, pelayan keturunan kasta terendah? Janganlah Panglima menempuh jalan yang salah. Mengapa Panglima menghendaki perempuan yang sudah kawin seperti aku? Suamiku raksasa, ia pasti tahu kalau istrinya diganggu orang dan ia pasti akan membunuh pengganggu istrinya.”
Meskipun dibujuk-bujuk dan dijanjikan akan diberi hadiah-hadiah, Sairandri tetap menolak. Dengan kesal Kicaka mencoba memegang tangan Sairandri waktu pelayan itu meletakkan kendi emas yang dibawanya. Dengan cepat Sairandri mengelak, lalu lari. Kicaka mengejarnya. Berkali-kali ia hampir berhasil menangkap pelayan itu, tetapi Sairandri selalu lolos. Akhirnya Kicaka marah dan menendang Sairandri sampai jatuh. Banyak yang melihat kejadian itu, tapi tidak seorang pun berani berbuat sesuatu karena Kicaka adalah Mahasenapati Negeri Matsya. Tidak seorang pun memikirkan peristiwa itu sebagai kejadian serius. Sairandri marah dan sedih diperlakukan seperti itu. Dendam hatinya membuatnya lupa akan bahaya yang dapat menimpa Pandawa jika mereka dikenali sebelum masa penyamaran selesai. Malam itu juga ia pergi menemui Bhima, si juru masak, dan menceritakan apa yang dialaminya. Katanya, “Aku tidak tahan lagi menghadapi Kicaka. Bunuhlah manusia terkutuk itu. Demi kepentingan kita, aku relakan diriku menjadi pelayan Ratu Sudesha. Semua tugas pelayan kujalani dengan ikhlas. Aku sudah relakan diriku menyiapkan segala sesuatu untuk Raja dan Ratu Sudesha. Tapi aku tak sudi melayani manusia bejat itu. Jika dibiarkan, dia akan semakin kurang ajar. Jika aku tak dapat menahan diri lagi, bisa- bisa kita semua binasa!” Sambil berkata demikian ia memperlihatkan tangannya yang kini kasar karena banyak bekerja. Bhima kaget dan geram mendengar cerita Sairandri. Ia perhatikan tangan Sairandri yang dulu halus lembut dan kini menjadi kasar dan tergores-gores, penuh bekas parut. Sambil menghapus air mata Sairandri, ia berkata dengan geram, “Aku tak peduli nasihat Yudhistira dan janji Arjuna. Aku tidak peduli apa pun yang akan terjadi. Aku akan bunuh Kicaka malam ini juga!” Setelah berkata begitu, Bhima bangkit dan siap pergi. Sairandri menahannya dan menasihatinya agar jangan tergesa-gesa. Kemudian mereka menyusun rencana untuk menghabisi Kicaka. Bhima akan menunggu di kegelapan, dekat sanggar tempat berlatih menabuh gamelan, pada malam yang sudah ditentukan. Ia akan menyamar sebagai perempuan. Jadi, bukan Sairandri yang akan menemui Kicaka, melainkan Bhima. Beberapa hari kemudian lagi-lagi Kicaka mencoba merayu Sairandri dan mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Katanya dengan wajah memerah penuh nafsu, “Wahai Sairandri, aku terpaksa menendangmu malam itu karena engkau selalu menghindariku. Aku bisa berbuat lebih kasar dari itu. Adakah yang akan menolongmu? Ketahuilah, Wirata hanya raja dalam sebutan. Kekuasaan yang sebenarnya ada di tanganku, Mahasenapati Negeri Matsya. Sekarang, jangan berpura- pura atau bersikap keras kepala. Mari puaskan dahaga asmara kita dan engkau akan menikmati kebesaran sebagai Ratu Negeri Matsya.”
Sairandri pura-pura menerima tawaran itu dengan berkata, “Mahasenapati Kicaka, sebenarnya aku tidak dapat menolak permintaanmu. Tetapi, jangan sampai ada orang tahu mengenai hubungan kita. Kalau engkau mau bersumpah untuk merahasiakan hubungan kita, aku akan menuruti kemauanmu.”
Mendengar jawaban itu, bukan main senangnya hati Kicaka. Ia segera berjanji akan memenuhi semua syarat yang diajukan Sairandri. Sairandri berkata lagi, “Setiap sore, biasanya para putri belajar menari di ruang gamelan. Malam hari mereka pulang dan tempat itu menjadi kosong, sepi, dan gelap. Datanglah sendirian ke sana nanti malam. Aku menunggumu di sana.”
Kicaka senang sekali. Malam itu ia mandi sebersih-bersihnya, mengenakan pakaian terbaiknya, dan memerciki tubuhnya dengan air wangi. Setelah hari gelap, ia pergi ke sanggar tempat putri-putri bangsawan berlatih menari. Tempat itu kosong dan gelap. Dengan berjingkat-jingkat ia masuk ke ruangan, melangkah maju sampai ke sudut gelap tempat Sairandri berjanji menunggu. Dalam kegelapan ia mengulurkan tangannya, meraba-raba. Benarlah, di sudut ia melihat sosok wanita berdiri menunggu. Ia mempercepat langkahnya, tak sabar ingin memeluk perempuan pujaan hatinya. Tapi... alangkah kagetnya ia ketika menyentuh tubuh itu! Bukan kulit halus lembut yang tersentuh tetapi kulit kasar dan tubuh berotot. Begitu disentuh, sosok itu menyergapnya bagaikan singa galak menyergap mangsa. Kicaka bukan pengecut. “Ini pasti raksasa suami Sairandri yang akan membunuhku,” pikirnya. Ia tak tahu bahwa orang itu adalah Bhima. Dia melawan mati-matian. Terjadilah perkelahian hebat di malam yang gelap. Kicaka memang perkasa. Kekuatannya setara dengan kekuatan Balarama atau Bhima. Meskipun sakti dan perkasa, malam itu Kicaka tidak siap berkelahi. Sebaliknya, Bhima memang sudah berniat membunuh Kicaka. Dalam waktu singkat Bhima bisa menundukkan Kicaka. Dibantingnya
tubuh panglima itu beberapa kali, dicekiknya, kaki dan tangannya dipatahkan hingga tubuhnya hancur tak berbentuk. Demikianlah, Kicaka menemui ajalnya di tangan Bhima. Bhima segera pergi menemui Sairandri untuk memberitahu bahwa Kicaka telah tewas. Setelah itu ia kembali lagi ke dapur, mandi membersihkan badannya lalu tidur nyenyak. Sementara itu, Sairandri berlari-lari ke balai penjagaan hendak melaporkan bahwa Kicaka mati dibunuh suaminya karena mahasenapati itu sering mengganggunya. Dengan suara bergetar pura-pura ketakutan ia berkata, “Maha-enapati Kicaka sering menggangguku. Padahal sudah berkali-kali kukatakan bahwa aku sudah bersuami dan suamiku raksasa sakti. Tetapi Mahasenapati terus saja menggangguku. Akhirnya ia mati di tangan suamiku. Oh, penjaga, lihatlah Panglima di ruang gamelan yang gelap.”
Para penjaga beramai-ramai pergi ke ruang gamelan. Ada yang membawa obor, ada yang membawa golok, parang, tombak atau senjata lainnya. Mereka mendapati Mahasenapati Negeri Matsya tidak bernyawa lagi, tubuh- nya hancur tak berbentuk. Mereka membicarakan kematian itu sambil berbisik-bisik. Peristiwa itu segera tersebar ke seluruh negeri. Orang
mulai lebih memperhatikan Sairandri. Di mana-mana orang membicarakan dan mengutuk Sairandri sebagai perempuan yang berbahaya. Kaum wanita berbisik-bisik, “Perempuan itu memang cantik, pandai dan menarik di mata laki-laki, tetapi ia berbahaya. Apalagi dia bersuamikan raksasa. Sungguh perempuan yang bisa membahayakan negeri ini, Ratu Sudesha dan Raja Wirata. Aku yakin, para raksasa akan dengan mudah membunuhi orang- orang yang dilaporkan mengganggu perempuan itu. Yang terbaik saat ini adalah mengusir perempuan jahat itu.”
Pada suatu hari seorang utusan menghadap Ratu Sudesha dan memohon agar Ratu mengusir Sairandri yang membawa malapetaka.
“Perempuan setan,” kata mereka. Sudesha memanggil Sairandri dan berkata, “Tingkah lakumu dan kerjamu baik, kebaikanmu tak perlu diragu- kan, tetapi kuharap engkau segera meninggalkan istana dan negeri ini. Kami sudah cukup menerima kebaikanmu.” Masa penyamaran hanya tinggal satu bulan. Sairandri memohon kepada Ratu Sudesha agar diijinkan tinggal kira- kira sebulan lagi. Dalam kurun waktu itu, para raksasa kawan suaminya akan mengambilnya dari Negeri Matsya. Mereka akan berterima kasih kepada Wirata dan menawarkan persahabatan untuk menghadapi musuh Negeri Matsya. Jika sekarang Sairandri diusir, raksasa-raksasa itu pasti mengamuk, mengobrak-abrik dan menghancurkan Negeri Matsya.
Mendengar penuturan Sairandri, Ratu Sudesha tak berani memaksa. Pikirnya, apa jadinya jika raksasa-raksasa itu benar-benar datang menghancurkan istananya. Karena tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, Ratu Sudesha mengijinkan Sairandri tinggal lebih lama lagi.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment