Friday, March 24, 2017

MAHABHARATA 46 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
46. Gugurnya Mahasenapati Bhisma II
Tibalah hari kesepuluh. Arjuna menyerang Bhisma bersama Srikandi. Partha mulai melepaskan panah ke arah Bhisma, tetapi panah Srikandilah yang pertama menembus dada kesatria tua itu. Dengan dada tertembus panah, Bhisma menoleh, memandang Srikandi. Sesaat lamanya mata Bhisma berbinar-binar bagai permata yang terkena cahaya gemilang. Itulah tanda bahwa ia sedang marah. Tetapi Mahaguru sakti dan berjiwa luhur itu menahan hatinya, sebab ia ingat akan sumpahnya: tidak akan membalas Srikandi yang terlahir sebagai perempuan.
“Menepati sumpah adalah perbuatan kesatria,” bisik hatinya.
Srikandi terus menyerang Bhisma dengan panahnya. Tak disadarinya bahwa kesatria tua itu sama sekali tidak membalas serangannya. Sesuai sumpahnya, kini Bhisma justru merasa tenang. Ia tahu, saat kematiannya telah tiba. Di pihak lain, Partha juga mendapat kekuatan hati untuk membidikkan anak panahnya pada bagian-bagian tubuh Bhisma yang lemah. Mula-mula satu per satu senjata Bhisma dihancurkannya. Kemudian sekujur tubuh Bhisma dihujani panah dari Gandiwanya. Tetapi, Bhisma malah tersenyum dan berkata kepada Duhsasana yang ada di dekatnya, “Semua panah yang menembus badanku ini berasal dari Partha, bukan dari Srikandi. Panasnya mulai terasa membakar tubuhku, bagaikan anak-anak kepiting yang merayap-rayap dan menjepit-jepit melukaiku.”
Meskipun sekujur badannya luka-luka berlumuran darah, namun kesatria tua itu tetap melaksanakan tugasnya dengan tegar. Dilemparkannya bola-bola besi ke arah Arjuna, yang disambut lesatan panah Partha. Beradunya senjata-senjata Bhisma dengan panah-panah Arjuna menimbulkan percikan api di udara. Kedua jenis senjata itu meledak dan jatuh hancur berkeping-keping.
Partha terus menghujani Bhisma dengan anak panahnya sampai sekujur tubuh kesatria tua itu bagaikan bermandi darah. Bhisma hendak turun dari keretanya dan menyerang Arjuna dengan pedang dan tameng di tangan. Tetapi, tiba-tiba tamengnya terbelah dua ditembus panah Partha yang ujungnya setajam kapak. Tak sejari pun kulit tubuhnya yang tak ditembus anak panah Arjuna. Kesatria termasyhur itu roboh, bagaikan pohon beringin tumbang terkena angin topan. Bhisma jatuh terguling dari keretanya, tetapi karena tubuhnya penuh ditancapi panah-panah Arjuna, ia tidak menyentuh tanah. Ketika kesatria tua itu jatuh, pertempuran di seluruh medan berhenti. Para dewata di kahyangan terharu menyaksikan gugurnya Bhisma. Semua menundukkan kepala, mengatupkan kedua telapak tangan, memberi penghormatan terakhir kepada kesatria besar yang luar biasa itu.
Demikianlah putra Dewi Gangga itu gugur. Sang Ibu turun ke bumi, membawa cahaya untuk melingkari jasad kesatria itu. Bhisma gugur setelah melakukan tugasnya, membayar hutang keadilan dan kebenaran kepada Duryodhana dan Kaurawa. Para raja, putra mahkota, perwira, senapati, dan prajurit kedua pihak, semua turun dari kereta, gajah atau kuda mereka, lalu bergegas mendekati Bhisma, yang terbaring bagai gundukan raksasa disangga tiang-tiang anak panah. Mereka menyembah dan memberikan penghormatan terakhir.
“Kepalaku terkulai, tidak beralaskan apa-apa,” kata
Bhisma. Mereka yang berdiri di dekatnya segera mencarikan setumpuk bantal, tetapi Bhisma menolak sambil tersenyum. Katanya, “Cucuku Partha, beri aku bantal yang pantas bagi seorang prajurit yang gugur.”
Arjuna segera mencabut tiga anak panah dari kantong panahnya, lalu meletakkannya di bawah kepala Bhisma dengan ujung-ujung menghadap ke atas hingga menembus kepala kesatria tua itu.
Kemudian Bhisma berkata lagi dengan tenang, “Wahai para kesatria sekalian, para raja dan putra mahkota, apa yang dilakukan Partha sungguh tepat. Bantal yang kumaksud adalah anak panah, sebab sekujur badanku telah ditembus anak panah. Aku benar-benar puas. Sekarang aku bisa berbaring dengan tenang sampai matahari terbenam nanti. Setelah itu, barulah jiwaku akan meninggalkan jasad ini. Bila aku telah tiada, mungkin di antara kalian akan ada yang menyusulku. Sampai bertemu kembali. Kalau tidak, kuucapkan selamat tinggal!”
Kemudian Bhisma menatap wajah Partha dan berkata kepadanya, “Aku haus sekali. Beri aku minum.”
Arjuna segera membuat lingkaran kecil di tanah, dekat telinga kanan Bhisma, lalu menancapkan anak panahnya dalam-dalam ke tanah. Ketika anak panah itu dicabut, dari lubang itu menyembur air jernih, tepat menyentuh bibir Bhisma. Demikianlah, kesatria tua itu minum sepuas- puasnya.
Setelah bercakap-cakap dengan Partha, Bhisma menatap wajah Duryodhana, lalu berkata dengan lembut, “Wahai Putra Mahkota, semoga engkau dapat memetik hikmah dari semua yang telah terjadi. Apakah engkau melihat bagaimana Arjuna memberiku air minum yang jernih untuk pengobat hausku? Berdamailah engkau sekarang juga, jangan ditunda-tunda lagi. Akhirilah peperangan ini sekarang juga. Perhatikan kata-kataku. Cucuku Duryodhana, berdamailah engkau dengan Pandawa!”
Tetapi, hati Duryodhana telah membatu, keras dan tak tergoyahkan. Siapa yang bisa disalahkan?
***
Mendengar berita gugurnya Bhisma, Karna segera berlari mendekat. Ia bersimpuh di dekat kaki kesatria tua itu, menyembah dengan penuh hormat, dan berkata, “Wahai sesepuh bangsa Bharata yang kuhormati, aku anak Radha yang telah menyebabkan engkau kesal dan marah karena ketololanku. Aku datang bersujud ke hadapanmu. Ampunilah segala kesalahanku.”
Kemudian Karna bangkit berdiri dan menatap wajah Bhisma yang pucat pasi. Perlahan-lahan kesatria tua itu membuka matanya dan tersenyum. Ia terharu mendengar kata-kata Karna. Diisyaratkannya agar Karna mendekat, lalu diletakkannya tangannya yang sudah dingin di kepala kesatria itu sambil berkata dengan penuh kasih sayang, “Wahai anak muda, sesungguhnya engkau bukan anak Adiratha, bukan pula anak Radha. Engkau adalah putra Dewi Kunti yang sulung. Bhagawan Narada mengetahui semua rahasia ini dan menceritakannya padaku. Ayahmu adalah Bhatara Surya. Percayalah, aku tidak pernah membencimu. Tapi aku sedih, karena kebencianmu kepada Pandawa semakin menjadi-jadi dan karena sebetulnya itu tidak beralasan. Aku tahu siapa engkau, dan aku mengagumi ketangkasanmu, kecerdasanmu dan kejujuranmu. Aku juga tahu, sebagai kesatria engkau tak kalah hebatnya dengan Palguna atau Krishna. Sungguh baik jika engkau bisa bersahabat dengan Pandawa, lebih-lebih karena engkau yang sulung di antara putra-putra ibumu. Harapanku, semoga peperangan ini segera dihentikan.”
Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, Karna menjawab dengan penuh hormat, “Kakek yang kuhormati, aku tahu aku ini anak Dewi Kunti, bukan anak sais kereta. Tetapi, aku berutang budi kepada Duryodhana, aku hidup dan makan dari hasil bumi tanah milik Kaurawa. Aku harus jujur kepadanya dan menepati janjiku sebagai kesatria. Tidak mungkin bagiku untuk menyeberang ke pihak Pandawa sekarang. Ijinkan aku membalas jasa Duryodhana dengan jiwaku. Ijinkan aku melunasi hutangku terhadap kepercayaan dan cintanya kepadaku. Engkau pasti memahami ini dan memaafkan aku. Aku mohon restumu.”
Bhisma memahami jiwa besar dan keluhuran budi Karna. Ia membenarkan apa yang diucapkan Karna dan berkata, “Jika memang demikian ketetapan hatimu, lakukanlah sebaik-baiknya. Sebab, itulah yang paling pantas kaulakukan.”
Sesuai sumpahnya, selama Bhisma memimpin balatentara Kaurawa, Karna menyisihkan diri. Sedikit pun ia tidak pernah mengingkari sumpah yang ia ucapkan di hadapan Bhisma.
“Jika engkau, Bhisma, dapat membunuh Pandawa dan
memenangkan balatentara Kaurawa, aku, Karna, akan merasa bahagia. Aku akan meninggalkan keramaian ini dan masuk ke hutan untuk bertapa. Tetapi jika engkau tewas lebih dulu, aku —yang telah kauyakinkan bahwa bukan anak sais kereta— akan memacu kudaku sekencang angin. Aku akan bertempur melawan semua musuhku. Akan kuhancurkan mereka dan kubawa kemenangan gemilang bagi Duryodhana.” Demikianlah sumpah Karna dahulu.
Setelah diam sejenak, Karna berkata kepada Bhisma, “Wahai Kesatria Tua, engkau sekarang terbaring di medan pertempuran. Engkau selalu memberi petunjuk tentang jalan kebenaran. Hidupmu menjadi teladan bagi kami, yaitu selalu bersih dalam kata-kata dan perbuatan, selalu suci dalam keyakinan. Kini kau terbaring dengan tubuh penuh luka. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa di dunia ini tidak seorang pun akan dapat mencapai apa yang patut diperolehnya sesuai jasa dan pengabdiannya. Ibarat sebuah kapal, engkau telah menjadi tumpangan bagi semua Kaurawa dalam mengarungi lautan suka duka.
“Setelah kau meninggal, pasti besarlah kekalahan yang akan diderita Kaurawa. Serangan Pandawa nanti bagaikan api raksasa membakar hutan kering. Krishna dan Arjuna pasti akan menghancurkan Kaurawa. Tetapi, Kakek yang kumuliakan, bukalah matamu dan pandanglah aku. Berilah aku restumu untuk memimpin balatentara Kaurawa.”
Bhisma memandang Karna, lalu memberikan restunya, “Engkau ibarat tanah subur, engkau ibarat hujan di musim tanam yang memberi harapan pada benih-benih yang akan tumbuh. Engkau selalu menepati janjimu. Engkau selalu jujur dan setia. Bantulah Duryodhana dan selamatkanlah dia! Engkau menaklukkan Kamboja untuk Duryodhana. Engkau memusnahkan balatentara Giriwraja atas namanya. Engkau membuat balatentara Kirata dari Gunung Himalaya menyerah kepadanya. Tak terhitung jasamu untuk Duryodhana. Pimpinlah balatentara Kaurawa sebagai milikmu yang paling berharga. Semoga engkau berhasil memimpin pasukan Duryodhana. Semoga engkau selalu mendapat kemenangan. Bertempurlah engkau melawan musuhmu!”
***
Akhirnya Bhisma gugur di medan Kurukshetra. Ketika ia menghembuskan napasnya yang terakhir, anak-anak panah yang menjadi pembaringannya terangkat sedikit. Jiwa kesatria tua itu telah lepas, meninggalkan jasadnya, kembali ke kahyangan. Seisi mayapada dan kahyangan berkabung, menghormati gugurnya kesatria besar yang disegani dan dihormati itu.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment