Saturday, April 29, 2017

Naga Banda

_/l\_ ॐ साई राम

Naga Banda


Naga Banda adalah seekor naga yang merupakan kisah dari Dalem Waturenggong tatkala menguji kesaktian Ida Dang Hyang Astapaka yang sebagaimana dijelaskan telah membangun Pura Tamansari sebagai salah satu kahyangan di Bali. Disebutkan pula bahwa penggunaan Naga Banda dalam pelebon merupakan tradisi yang lahir pada zaman Gelgel, sekitar abad ke-15.

Sejarah lahirnya tradisi penggunaan Naga Banda ini pun tergolong unik.
Saat Dalem Waturenggong wafat, dibuatkanlah Naga Banda yang mengiringi jenazah sang Raja menuju alam sunya.

Friday, April 21, 2017

BUDHA






_/l\_ ॐ साई राम

BUDHA – MERKURIUS

Nama Lain : Budh, Saumya
Arti Nama : Yang Cerah
Ras : DewaGolongan : Nawagraha (9 Planet dan Benda Angkasa)Senjata : Sabel (scimitar), tongkat, danda(tongkat pemukul), padma (teratai)Wahana : Singa atau YaliPasangan : Ila (putri Waiwaswata Manu)Kediaman : Budhaloka (Merkurius)Peran : Dewa Pelindung Para PedagangAnak : Pururawa
LEGENDA
Dewa Candra (rembulan) itu konon pernah berbuat tidak senonoh dengan istri dewa lain yakni Tara, istri Burisrawa (Jupiter), lalu menghasilkan anak yang diberi nama Budha.

Tuesday, April 11, 2017

MAHABHARATA 55 (TAMAT)

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
55. Pengadilan Terakhir (Habis)
Dritarastra, Gandhari dan Kunti terbakar dilalap api di pertapaan mereka di dalam hutan. Krishna dan bangsa Yadawa punah karena mereka saling membunuh. Setelah para sesepuh dan sekutu Pandawa mati menurut suratan hidup masing-masing, mereka menobatkan Parikeshit, putra Abhimanyu dari Uttari, menjadi raja di Hastinapura.
Setelah upacara penobatan selesai, Pandawa dan Draupadi berkemas, lalu pergi mendaki Gunung Himalaya untuk mencapai kediaman Batara Indra. Seekor anjing menyertai mereka dalam pengembaraan mendaki gunung suci itu. Dalam perjalanan panjang, mereka berziarah ke tempat-tempat suci dan melintasi hutan belantara yang dihuni berbagai binatang buas, setan, jin dan makhluk- makhluk gaib lainnya.
Kelima Pandawa, Draupadi dan anjing mereka berjalan siang malam tanpa henti.
Pada suatu hari, mereka tiba di kaki Gunung Himalaya lalu mulai mendaki dengan susah payah. Dalam pendakian ke puncak, satu per satu mereka jatuh ke dalam jurang lalu lenyap ditelan bumi. Yang pertama kali jatuh adalah Draupadi. Dosanya adalah karena ia sangat mencintai Arjuna, lebih daripada keempat saudaranya. Setelah Draupadi, menyusul Sahadewa. Dosanya ialah terlalu percaya diri dan terlalu yakin akan kesaktiannya hingga meremehkan dewa-dewa dan orang lain. Kemudian, Nakula. Kesa- tria ini memuja ketampanannya sendiri dan merasa bahwa keyakinan dan pandangannya yang paling benar. Setelah itu Arjuna jatuh ke jurang. Arjuna terlalu yakin akan kemampuannya untuk menghancurkan semua musuhnya. Demikian besar keyakinannya, hingga ketika jatuh, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus berusaha bangkit, sampai-sampai turun sabda dari surga yang mengatakan bahwa ia tak mungkin berkeras memegang keyakinannya selama ia masih ada di dunia. Arjuna disusul Bhimasena yang merasa kekuatannya bagaikan angin topan yang mampu menghancurkan bumi.
Meskipun keempat saudaranya dan Draupadi sudah hilang ditelan bumi, Yudhistira terus mendaki bersama anjingnya. Ia pupus duka di hatinya dengan memanjatkan doa-doa dan mengucapkan mantra-mantra. Ia terus mendaki, makin lama makin tinggi, sampai tiba di suatu tanah datar yang cukup luas. Di hadapannya terbentang nyala api kebenaran, menerangi jalan yang ditempuhnya. Di kanan kiri jalan itu tebing dan jurang menganga dalam kegelapan. Ia bisa membedakan dengan jelas, mana kegelapan, mana bayangan dan mana kebenaran sejati. Ia berjalan terus ditemani anjing kesayangannya yang setia dan tak pernah sesaat pun lepas dari sisinya. Sesaat pun tak pernah dilepaskannya tali itu, walaupun istri dan saudara- saudaranya telah mendahului meninggalkannya.
Akhirnya ia tiba di pintu gerbang surga dan disambut Batara Indra yang mempersilakannya naik ke keretanya. Tetapi Yudhistira menolak sebelum ia mengetahui keadaan Draupadi dan saudara-saudaranya. Katanya, “Aku berterima kasih kau sambut masuk ke surgamu. Tetapi aku tidak mau jika istri dan saudara-saudaraku tidak ada di sana.”
Batara Indra meyakinkan Yudhistira bahwa istri dan saudara-saudaranya telah mendahuluinya. Ia juga menjelaskan bahwa Yudhistira paling akhir “dipanggil” karena ia memikul tanggung jawab raga yang terakhir. Ketika naik ke kereta Batara Indra bersama anjingnya, ia ditolak.
“Tidak ada tempat bagi anjing di surga,” kata Batara Indra.
“Kalau demikian, bagiku juga tidak ada tempat di surga.
Tidak mungkin bagiku meninggalkan anjingku yang setia menemaniku dalam suka dan duka,” jawabnya.
Setelah menjawab demikian, Yudhistira turun dari kereta kahyangan itu bersama anjingnya. Batara Indra senang mendengar jawaban Yudhistira, sebab Yudhistira menunjukkan kasih sayang, kesetiaan, dan penghormatan kepada teman hidupnya, meskipun temannya itu hanya seekor anjing. Batara Indra mempersilakan Yudhistira lagi naik ke keretanya dan kali ini anjingnya diijinkan ikut. Begitu naik ke kereta, anjing itu lenyap.
Yudhistira masuk ke surga bersama Batara Indra. Di sana ia melihat Duryodhana yang duduk di singgasana indah keemasan, disinari cahaya kemuliaan dan dilayani bidadari-bidadari cantik jelita. Tetapi Yudhistira tidak melihat Draupadi, Bhimasena, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa di situ. Karena itu, ia menolak untuk tinggal lebih lama di situ tanpa istri dan saudara-saudaranya. Dalam hati ia heran, kenapa Duryodhana yang angkara murka, yang telah mengorbankan sanak saudaranya untuk memenuhi nafsu dan ambisinya sekarang bisa duduk di singgasana itu dengan penuh kemegahan? Mengapa Draupadi dan saudara-saudaranya yang selalu hidup mematuhi dharma tidak ada di situ? Yudhistira sangat kecewa.
“Katakan, di mana istri dan saudara-saudaraku! Aku ingin berkumpul dengan mereka, di mana pun mereka berada,” kata Yudhistira.
Batara Narada menghampiri putra Pandu itu dan berkata, “Wahai anakku, di surga tidak ada perbedaan. Tidak patut engkau berpikir buruk. Duryodhana yang gagah berani mencapai tingkat ini karena kekuatan dharmanya sebagai kesatria. Jangan biarkan pikiran-pikiran buruk bertakhta dalam ragamu yang tidak kekal. Hukum surga melenyapkan segala perasaan dan pikiran buruk. Tinggallah engkau di sini!”
Yudhistira tetap menolak untuk tinggal di surga tanpa istri dan saudara-saudaranya. Melihat keteguhan Yudhistira, Batara Indra menyuruh bidadari surga mengantarkannya ke tempat saudara-saudaranya. Perlahan-lahan rohnya meninggalkan raganya. Roh Yudhistira kemudian masuk ke tempat yang sangat gelap, licin dan berbahaya. Sebentar-sebentar terlihat seberkas api menyala seram. Bau busuk menusuk hidung dan suara-suara aneh menggema menyeramkan. Makin jauh ia meraba-raba dalam kegelapan, makin terasa olehnya bahwa ia memasuki gua yang dalam dan berlumpur busuk. Bau mayat dan bangkai yang membusuk menusuk hidung. Suara-suara seram itu membuat bulu kuduknya berdiri. Makin jauh ia masuk ke dalam gua, suasana semakin menyeramkan. Mayat manusia dan bangkai binatang bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa tangan, ada yang matanya melotot, ada yang isi perutnya terburai. Semua menyeramkan. Yudhistira semakin jauh tenggelam dalam neraka sampai akhirnya ia tidak dapat bergerak lagi. Ia terjepit di antara mayat dan bangkai yang membusuk. Ia tak tahan lagi mencium bau busuk itu. Kepalanya pusing.
Akhirnya ia bertanya, “Katakan sebenarnya di mana Draupadi dan saudara-saudaraku berada. Berapa jauh lagi tempat mereka? Aku tidak menemukan mereka di sini.”
Bidadari itu menjawab, “Kalau sudah tak tahan, kau boleh kembali!”
Yudhistira memang sudah tak tahan. Ia ingin kembali.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang merintih kesakitan, suara-suara yang ia kenal, “Dharmaputra, jangan berbalik. Kehadiranmu di sini membuat hati kami tenang dan duka kami seakan hilang. Bergabunglah dengan kami. Mari kita hadapi siksaan ini agar kita memperoleh kedamaian abadi!”
Walaupun hampir pingsan, Yudhistira masih sempat bertanya, “Siapakah kalian yang berkata-kata demikian dalam gelapnya neraka? Kenapa kalian ada di sini?”
Satu demi satu suara-suara itu menjawab, “Wahai Raja yang bijaksana, aku Karna,” jawab suara pertama. Disusul suara kedua, “Aku Bhima,” lalu suara ketiga, “Aku Arjuna, saudaramu.” Suara-suara lainnya menyusul,
“Aku Draupadi.” “Aku Nakula.” “Aku Sahadewa.” Suara lain berkata, “Kami putra-putra Draupadi.” Diikuti suara-suara lain yang bergema dalam gelap. Mendengar suara-suara yang ia kenal, Yudhistira sangat kecewa. Tidak seperti yang dia harapkan, yang terjadi adalah sebaliknya! Semua saudara dan sekutunya yang telah menjalankan dharma dalam hidupnya, kini berada di dunia paling bawah, di neraka! Sedangkan orang seperti Duryodhana dan saudara-saudaranya, yang jahat dan angkara murka, malah bersenang-senang di surga. Kepada bidadari yang mengantarkannya Yudhistira mengucapkan terima kasih dan berkata, “Katakan kepada Batara Indra, aku memilih tinggal di neraka bersama istri dan saudara-saudaraku daripada di surga bersama Duryodhana dan Kaurawa. Sekarang, kembalilah engkau ke kahyangan Batara Indra dan sampaikan pesanku kepadanya.”
Bidadari itu meninggalkan Dharmaputra untuk menyampaikan pesannya kepada Batara Indra. Yudhistira telah memasuki dunia maya. Tiga belas hari lamanya ia tenggelam dalam dunia maya itu. Kemudian Batara Indra dan Batara Yama muncul. Suasana gelap, bau busuk dan pemandangan mengerikan itu perlahan- lahan menghilang. Sinar terang muncul, berpendar-pendar sangat indah. Bau harum semerbak menyusupi hidung ketika kedua batara itu muncul di hadapannya.
“Wahai kesatria bijak, ini adalah ketiga kalinya aku menguji keteguhan jiwamu. Engkau memilih untuk tinggal di neraka bersama istri dan saudara-saudaramu. Engkau menolak tinggal di surga bersama Duryodhana dan Kaurawa. Engkau tetap setia pada anjingmu.
“Ada keharusan bagi arwah para kesatria dan raja untuk tinggal di neraka selama beberapa waktu. Engkau telah merelakan dirimu untuk merasakan penderitaan di neraka. Hari ini hari ketiga belas, hari yang tepat untuk mengakhiri penderitaan itu. Sebenarnya, tak seorang pun ada di neraka. Tidak Krishna, tidak Karna, tidak Draupadi, juga yang lain. Semua itu maya. Tempat ini bukan neraka, melainkan surga,” kata Batara Yama.
Demikianlah, setelah Batara Yama selesai berkata-kata, keadaan berbalik. Pandawa dan sekutunya yang semua tinggal di neraka kini diangkat ke surga. Sementara itu, Kaurawa dan sekutunya yang pernah mencicipi indah dan damainya surga, diturunkan ke neraka.
Setelah mengalami berbagai cobaan, Yudhistira menghadapi pengadilan terakhir. Yudhistira menemui kedamaian abadi, terlepas dari beban pikiran dan perasaan yang mengikat manusia dengan hal-hal duniawi. Dia kemudian bersemayam bersama Batara Indra di surgaloka.
Demikianlah, kebajikan akhirnya menang melawan kebatilan.
T A M A T
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Monday, April 10, 2017

MAHABHARATA 54

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
54. Musnahnya Bangsa Yadawa
Perang di padang Kurukshetra telah berakhir. Yudhistira telah dinobatkan menjadi raja dan telah melaksanakan upacara agung aswamedha. Setelah semua mapan dan tenteram, Krishna minta diri kepada Pandawa untuk kembali ke negerinya, Dwaraka.
Dalam perjalanan pulang, Krishna bertemu dengan kawan lamanya, seorang brahmana bernama Utanga. Krishna berhenti, turun dari kereta, lalu memberi salam. Terjadilah percakapan panjang di antara dua kawan lama itu. Mereka saling berkabar tentang keluarga dan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah.
Utanga juga menanyakan keadaan Pandawa, karena ia tahu Krishna adalah keluarga dekat mereka. Brahmana itu sama sekali tidak mendengar berita tentang perang besar yang telah berlangsung di medan Kurukshetra. Krishna terheran-heran, sampai tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Akhirnya Krishna bercerita panjang lebar tentang pertempuran dahsyat antara Kaurawa dan Pandawa. Dia juga bercerita bahwa Pandawa sudah berusaha keras menawarkan perdamaian agar perang itu tidak terjadi. Tetapi usaha mereka sia-sia. “Tak terbilang yang tewas di medan pertempuran itu. Yang selamat dan masih hidup sangat sedikit. Siapa dapat mengelakkan diri dari nasib seperti itu?” Krishna mengakhiri ceritanya.
Mendengar cerita itu, Utanga merasa muak dan jijik melihat kawannya itu. Amarahnya menggelegak, matanya memerah dan hatinya panas. Ia berteriak mengutuk Krishna, menuduhnya telah membiarkan perang itu terjadi tanpa berusaha menghindarkannya. Ia menuduh Krishna menipu dan tidak melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya hingga menyebabkan musnahnya Kaurawa.
“Bersiaplah untuk menerima kutuk-pastuku,” katanya.
Krishna berusaha menyabarkan brahmana itu. Sambil tersenyum ia menasihati brahmana itu agar tidak menggunakan hasil tapanya untuk tindakan yang sia-sia. Dimintanya Utanga mendengarkan ceritanya dengan cermat sebelum mengucapkan kutuk-pastu.
Krishna mengulang ceritanya secara terperinci. Tetapi Utanga tetap tidak mengerti inti persoalan itu. Karena itu, Krishna memperlihatkan dirinya dalam wujud Wiswarupa atau perwujudan Hyang Tunggal dan berkata, “Aku terlahir dalam segala wujud dan di segala jaman untuk menyelamatkan dunia dan menegakkan kebenaran. Dalam wujud apa pun, aku harus mengikuti kodrat jasmaniku. Jika aku terlahir berwujud dewa, aku harus bertindak sebagai dewa. Jika aku terlahir berwujud yaksa atau raksasa, aku harus bertingkah laku seperti yaksa atau raksasa. Jika aku terlahir sebagai manusia, aku harus bertindak seperti manusia. Dengan berbagai wujud ragaku, aku menjalankan tugasku sampai kelahiranku sebagai wujud tertentu selesai.
“Aku telah menasihati Kaurawa agar jangan berkeras kepala, tetapi mereka tidak peduli. Mereka terus membuat kesalahan dan kejahatan yang akhirnya menimbulkan perang yang memusnahkan mereka sendiri.
“Brahmana yang budiman, demikianlah ceritanya. Engkau tidak punya alasan untuk marah-marah.”
Setelah mendengar penjelasan Krishna dan memahami siapa sesungguhnya kesatria itu, amarah Utanga lenyap seketika.
Krishna lega. Ia berkata, “Nah, sekarang apa yang dapat kuberikan kepadamu?”
Utanga bersyukur bisa bertemu dengan Hyang Tunggal yang menjelma dalam wujud Krishna. Ia berkata bahwa ia tak ingin memohon sesuatu. Tetapi, ia terus didesak agar meminta sesuatu.
Akhirnya, ia mengajukan permohonan, “Kalau Engkau hendak menganugerahkan sesuatu kepadaku, aku minta mantra yang bisa menolongku mendapat air segar kapan saja dan di mana saja.” Krishna meluluskan permintaan itu.
***
Pada suatu hari, dalam perjalanan melintasi padang rumput, Utanga merasa sangat haus. Ia mencari-cari, tetapi tidak menemukan air setetes pun untuk minum. Ia teringat akan mantra pemberian Krishna. Segera setelah ia mengucapkan mantra itu, seorang pemburu tiba-tiba muncul di hadapannya. Pakaiannya compang-camping dan kumal berdebu. Bau keringatnya menusuk hidung. Tangan kanannya memegang alat berburu, di pinggangnya terselip sebilah kapak. Sebuah kantong kulit berisi air tergantung di pundak kirinya. Seekor anjing mengibas-ngibaskan ekornya dekat kakinya. Lelaki kotor dan menjijikkan itu menyeringai dan berkata, “Rupanya Brahmana sangat kehausan. Aku punya air dalam kantong kulit ini. Silakan minum.” Ia mengisi cangkir bambunya dengan air untuk disuguhkan kepada Utanga.
Melihat lelaki kotor dan anjingnya yang dekil itu, Utanga berkata jijik, “Ah, aku tidak haus. Terima kasih!” Dalam hati ia marah karena menganggap mantra pemberian Krishna hanyalah olok-olok belaka.
Lelaki kotor itu berulang-ulang menawarkan air kepada Utanga, karena ia tahu brahmana itu sangat kehausan. Utanga menjadi marah dan semakin jijik melihatnya. Tiba- tiba, pemburu dan anjingnya yang menjijikkan itu lenyap dari pandangan. Ketika pemburu itu lenyap dan ia kembali sendirian, Utanga berpikir-pikir, siapa gerangan lelaki kotor yang muncul dan lenyap secara gaib itu? Ia mulai merenung, lelaki itu tidak mungkin orang paria, nishada (orang kotor dan kumal), atau orang biasa. Ia merenung dan berkata- kata dalam hati, “Mungkin peristiwa tadi adalah cobaan bagiku. Ah, aku telah berbuat tolol! Kenapa aku dengan angkuh menolak airnya, padahal sebenarnya aku sangat haus? Sungguh tolol aku ini!”
Sesaat kemudian muncul Krishna membawa cakra dan trompet kerangnya. Ia tersenyum di depan Utanga.
Brahmana itu berkata keras, “Hai, Krishna alias Purushottama, engkau menguji aku dengan cara kasar, yaitu memberiku air dari tangan seorang lelaki paria yang nista dan tabu kusentuh. Jangan mengolok-olok aku. Leluconmu tidak lucu.”
Krishna alias Janardana tersenyum, lalu mengatakan
apa yang tadi dikerjakannya. Sewaktu Utanga mengucapkan mantra, Krishna meminta Batara Indra untuk memberikan amerta atau air kehidupan kepada Utanga, untuk melepaskan dahaganya. Batara Indra tidak mau memberikan amerta kepada manusia biasa, sebab air kehidupan itu sesungguhnya hanya bagi mereka yang tidak akan menemui kematian seperti manusia di dunia. Tetapi Krishna terus mendesak sampai akhirnya Batara Indra setuju dengan syarat ia sendiri yang memberikan kepada Utanga dalam penyamarannya sebagai seorang nishada. Batara Indra memang ingin mencobai Utanga. Jika Utanga benar- benar telah mencapai jnana atau menguasai ilmu pengetahuan suci tertinggi, brahmana itu pasti menerimanya. Tapi ternyata Utanga yang dungu menolak airnya. Akibatnya, Krishna merasa sangat malu di hadapan Batara Indra. Mendengar cerita itu, Utanga menyesal dan malu atas
ketololannya sendiri.
***
Demikianlah, Krishna kembali ke negerinya dan memerintah selama tiga puluh enam tahun. Di masa pemerintahannya, rakyat hidup makmur dan sejahtera. Suku Wrisni dan Bhoja yang masih berkerabat dengan bangsa Yadawa—bangsa asal keturunan Krishna, terkenal suka bersenang-senang. Karena hidup makmur, mereka jadi suka mengumpulkan barang-barang mewah, makan makanan lezat, minum minuman keras, dan berpesta pora. Lambat laun mereka menjadi bangsa yang angkuh, liar, suka mabuk, gemar mengumbar hawa nafsu, lengah dan gegabah. Mereka yang bekerja sebagai narapraja umumnya tidak jujur, gemar main wanita jalang, mudah disuap, dan hanya memburu kekayaan. Sementara itu, yang masih muda suka mabuk-mabukan dan hidup sesukanya tanpa mengindahkan adat dan kepercayaan.
Pada suatu hari, seorang resi dari negeri asing datang berkunjung ke Dwaraka. Begitu masuk ke gerbang kerajaan, ia dicegat segerombolan pemuda. Mereka mengolok- olok dan mengejek resi itu dengan lelucon yang tidak lucu. Salah seorang dari mereka, yaitu Samba putra Krishna, bertindak terlalu jauh. Ia mengganjal perutnya dengan kain-kain lalu mengenakan pakaian hamil. Sambil berjalan tertatih-tatih seperti perempuan hamil tua, ia pergi menemui resi itu. Kawan-kawannya tertawa-tawa, menertawakan lelucon mereka sendiri.
Dengan gemulai Samba menari-nari di depan brahmana itu dan bertanya kepadanya, “Wahai Resi yang tahu segalanya, katakan, anak yang kukandung ini perempuan atau laki-laki?”
Resi itu tersinggung. Sambil menggumamkan kutukpastu, ia menjawab, “Pemuda ini akan melahirkan sebuah gada, bukan bayi laki-laki atau bayi perempuan. Gada itu akan menjelma menjadi Batara Yama yang akan memusnahkan bangsa Yadawa, termasuk kalian semua.”
Mereka kaget mendengar jawaban resi itu. Mereka menyesal telah mengolok-olok dia dan takut menghadapi kutuk-pastunya.
Benarlah, beberapa hari kemudian Samba merasa perutnya sakit seperti orang hamil hendak melahirkan. Alangkah panik kawan-kawannya ketika melihat Samba benar-benar melahirkan sebuah gada, bukan bayi laki-laki atau bayi perempuan. Semua ketakutan, karena ramalan resi itu terjadi. Semua berpikir, resi itu benar dan sekarang gada itu akan memusnahkan bangsa mereka, termasuk mereka sendiri.
Mereka memungut gada itu lalu beramai-ramai menghancurkannya dan membakarnya hingga menjadi abu. Mereka lalu membuang abu itu jauh-jauh. Abu itu ditebarkan ke laut hingga tersebar ke mana-mana ditiup angin dan dibawa ombak sampai ke tepi pantai.
Lama tak terjadi apa-apa. Para pemuda itu sudah lupa akan lelucon mereka sendiri. Samba menjadi laki-laki biasa lagi. Tahun demi tahun berganti, musim demi musim berlalu, rakyat terus hidup makmur dan bahagia. Mereka tak tahu, sebagian abu gada itu jatuh ke pasir pantai. Ajaib! Lambat-laun pantai itu ditumbuhi rumput raksasa yang rimbun dengan batang-batang sebesar batang bambu.
Di antara bangsa Yadawa yang ikut berperang di medan Kurukshetra, Krishna, Satyaki dan balatentara mereka bertempur di pihak Pandawa, sementara Kritawarma dan pasukannya bertempur di pihak Kaurawa. Setelah kembali dari Kurukshetra, Krishna membuat peraturan yang melarang bangsanya minum minuman keras. Tetapi peraturan itu kemudian diubah sedikit, yaitu rakyat diijinkan minum minuman keras pada hari-hari tertentu.
Sebagai bangsa yang berwatak periang, bangsa Yadawa sangat gemar berpesta dan berwisata. Pada suatu hari mereka berdarmawisata ke pantai yang ditumbuhi rumput raksasa. Mereka bersenang-senang, makan-makan dan minum minuman keras sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, terjadilah pertengkaran mulut yang kemudian pecah menjadi perkelahian hebat. Mula-mula saling meng- hantam dengan tangan kosong, kemudian ada yang memulai mencabut sebatang rumput raksasa berdaun runcing.
Dengan itu mereka saling menusuk. Mereka tak tahu, itu rumput ajaib. Tertusuk ujung daunnya atau terhantam batangnya bisa menyebabkan kematian.
Perkelahian hebat itu berawal dari pertengkaran kecil. Awalnya Kritawarma adu mulut dengan Satyaki, padahal dua-duanya dalam keadaan mabuk. Satyaki mengejek Kritawarma, “He, Kritawarma, kau telah mempermalukan bangsa kita. Engkau membunuh musuhmu yang sedang tidur nyenyak. Itu bukan perbuatan kesatria sejati! Gara-gara kau, selama-lamanya bangsa kita akan menanggung malu!”
Kritawarma tersinggung mendengar ejekan itu. Ia membalas dengan pedas, “Engkau tak ubahnya jagal sapi. Engkau membunuh Bhurisrawa yang sedang bersamadi. Engkau pengecut yang berlagak kesatria!”
Sorak-sorai pengikut mereka membuat Satyaki dan Kritawarma semakin memanas. Pertengkaran mulut tidak berhenti di situ, tetapi malah memanas menjadi pertarungan bebas. Suasana kacau. Pengikut Satyaki bertarung melawan pengikut Kritawarma dalam pertarungan bebas yang membolehkan apa saja. Putra Krishna, Pradyumna, juga ada di situ. Ia berniat menolong Satyaki, tetapi malah terlibat dalam pertempuran dan akhirnya menemui ajalnya. Kutuk-pastu resi yang pernah mereka hina menjadi kenyataan. Batang rumput berdaun runcing menjadi senjata utama.
Demikianlah, semua akhirnya mati kena hantaman atau tusukan batang rumput ajaib berdaun runcing. Musnahlah bangsa Yadawa.
Balarama yang menyaksikan peristiwa itu merasa sangat malu. Ia pergi meninggalkan tempat itu lalu menghabiskan hari-harinya dengan melakukan yoga di bawah pohon besar sampai maut menjemputnya. Krishna juga menyaksikan bagaimana bangsanya memusnahkan diri mereka sendiri. Ketika tahu bahwa Balarama, kakaknya, meninggalkan kehidupan duniawi dan memilih hidup menjalankan yoga, Krishna pergi mengembara ke hutan. Ditengah lebatnya hutan belantara, ia merebahkan diri sambil berkata, “Telah tiba waktunya. Aku akan pergi selamanya meninggalkan dunia ini!”
Seorang pemburu bernama Jaras kebetulan lewat dekat tempat Krishna merebahkan diri. Jaras melepaskan anak panahnya, mengira Krishna seekor rusa yang sedang duduk melepas lelah. Anak panah itu epat menembus kaki dan tubuh Krishna. Seketika itu juga Krishna alias Wasudewa menghembuskan napasnya yang penghabisan. Jiwanya melayang, meninggalkan raganya, meninggalkan dunia manusia.
Kabar meninggalnya Krishna sampai ke Hastinapura. Arjuna segera datang ke Dwaraka untuk melakukan upacara pembakaran jenazah Krishna. Beberapa hari kemudian, Negeri Dwaraka dilanda banjir bandang. Air bah datang bergulung-gulung bagai gelombang samudera dahsyat. Negeri Dwaraka terseret arus ke laut dan akhirnya tenggelam di dasar samudera.
Bersambung....

Foto Agung Joni.
musnahnya bangsa yadawa

Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Sunday, April 9, 2017

MAHABHARATA 53 bagian 2

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
53. Yudhistira Menjadi Raja di Hastinapura II
Akhirnya Dharmaraja menyetujui kepergian mereka ke hutan. Dia memerciki wajah Dritarastra dengan air suci sebagai tanda ucapan selamat jalan dan selamat berpisah. Bagawan Wyasa menegaskan kepada Yudhistira bahwa sudah sepatutnya ia membiarkan raja tua itu pergi ke hutan, karena usia tua membuatnya tak sanggup memikul duka, lebih-lebih karena kematian semua anaknya.
“Biarkan ia pergi dan hidup di antara tanaman yang menebarkan keharuman bunganya dan pepohonan yang menawarkan buah-buahan segar untuk melupakan segala beban dan dukanya di dunia ini.
“Dharma seorang raja adalah mati di medan perang atau menghabiskan hari tuanya dengan bertapa di hutan. Dritarastra telah lama memerintah kerajaan ini dan telah melangsungkan upacara-upacara yajna. Ketika engkau hidup di pengasingan selama tiga belas tahun,ia menikmati dunia ini melalui anaknya. Ia menerima persembahan dan memberi hadiah kepada setiap orang yang menjalin persahabatan dengannya.
“Selama lima belas tahun ini engkau memperlakukan dia dengan baik. Tapi kini dia sudah tak punya keinginan atau ambisi duniawi. Telah tiba saatnya bagi dia untuk hidup bertapa. Lepaskan kepergiannya dengan rela, agar ia bisa pergi dengan hati ringan.”
Setelah Raja Yudhistira mengijinkan, Dritarastra dan Dewi Gandhari menyudahi puasa mereka dan bersiap-siap untuk berangkat. Sesaat sebelum meninggalkan istana, Dritarastra memanggil Yudhistira untuk merestuinya.
Dewi Kunti ikut pergi bersama mereka demi memenuhi janjinya untuk selalu mendampingi Dewi Gandhari. Sebelum pergi, ibu Pandawa itu berkata kepada Dharmaraja, “Anakku, jangan pernah memperlihatkan amarahmu jika sedang bicara dengan Sahadewa. Jangan lupakan Karna yang gugur di medan perang sebab ia anakku dan saudaramu juga. Aku berdosa karena tidak menceritakan kepadamu siapa dia sebenarnya. Jagalah Draupadi dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai engkau membuat Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa sedih.
“Ingatlah selalu hal ini. Beban keluarga sepenuhnya terletak di pundakmu. Pikullah dengan sabar dan tabah.
“Aku akan menyertai Gandhari untuk hidup secara sanyasa di hutan. Pada waktunya kelak, aku akan bersatu dengan ayahmu. Semoga engkau selalu dilindungi dharma. Terimalah restu ibumu.”
Dritarastra, Gandhari dan Kunti meninggalkan Hastinapura. Dritarastra yang buta berpegang pada bahu Gandhari dan berjalan di belakangnya, sedangkan Gandhari dengan mata tertutup secarik kain berpegang pada bahu Kunti dan berjalan di belakangnya. Mereka berjalan beriringan.
Yudhistira mengantar mereka sampai ke gerbang istana lalu melepas kepergian mereka sampai hilang dari pandangan. Ia tak dapat menahan perasaannya dan menangis lirih.
***
Pada suatu hari, setelah tiga tahun mereka melewatkan hari-hari dengan menjalani kehidupan sanyasa, terjadilah kebakaran hebat di hutan itu. Api menjilat-jilat sampai ke pertapaan mereka. Sanjaya, yang menyertai mereka, diminta meninggalkan pertapaan. Dritarastra yang buta, Gandhari dan Kunti tetap tinggal. Mereka terus bersamadi dengan khusyuk sampai api menghanguskan raga mereka. Sanjaya, yang selama hidupnya selalu mendampingi Raja Dritarastra, pergi ke Gunung Himalaya dan bertapa di lereng gunung yang suci itu.
Bersambung...

Foto Agung Joni.
kesedihn dritarasta dan gandari


Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Saturday, April 8, 2017

MAHABHARATA 53

kesedihan dritarastra



_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
53. Yudhistira Menjadi Raja di Hastinapura
Pandawa, dari Bharatawarsa telah menaklukkan Kaurawa dan kini menjadi penguasa Kerajaan Hastina yang amat luas wilayahnya. Mereka memerintah sesuai petunjuk dharma. Bagawan Wyasa sering mengunjungi Yudhistira untuk memberi nasihat atau petunjuk. Bagawan yang bijak itu selalu menghibur Dharmaraja yang masih terus berduka. Ia bercerita tentang berbagai kejadian dan peristiwa di masa lampau. Cerita tentang orang-orang berjiwa besar yang berhasil menaklukkan godaan hati dan tekanan jiwa, seperti hawa nafsu, ketamakan, kebencian, dendam dan iri hati. Namun demikian, Yudhistira selalu merasa bahwa kemenangannya tidak membuatnya bahagia, tidak seperti yang semula dibayangkannya.
Bagaimana dengan Dritarastra yang kehilangan semuanya? Anak-anaknya dan kerajaannya? Dan bagaimana pula sikapnya terhadap Yudhistira?
Sementara itu, Dritarastra yang tenggelam dalam kepedihan selalu mendapat perlakuan baik dari Pandawa. Mereka selalu berusaha menyenangkan hati Dritarastra dan memperlakukannya dengan penuh hormat. Demikian pula, Dewi Gandhari. Ibu Kaurawa itu selalu diperlakukan dengan baik oleh Dewi Kunti, adik iparnya, dan Draupadi, yang bersikap seperti terhadap mertuanya sendiri.
“Yudhistira menghiasi istana Dritarastra dengan perabotan serba indah. Semua keinginan raja tua itu dipenuhinya. Setiap hari ia mengirimkan makanan yang lezat-lezat.
Kripa dan Sanjaya diminta untuk setia menemani raja tua itu. Kecuali itu, Bagawan Wyasa sering mengunjungi Dritarastra untuk menghiburnya dengan kisah-kisah bertema keagamaan dan falsafah hidup.
Sebagai raja, Yudhistira tidak pernah mengeluarkan perintah tanpa persetujuan Dritarastra. Dalam urusan pemerintahan sehari-hari, Yudhistira tidak segan-segan meminta nasihat kepada Dritarastra. Ia selalu menghormati raja tua itu sebagai penguasa tertinggi. Dalam tutur katanya, Dharmaraja selalu berhati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Setiap utusan atau raja negeri asing yang berkunjung ke Hastinapura diwajibkan untuk menghadap Dritarastra lebih dulu, karena dialah yang dianggap sebagai Rajadiraja Hastinapura. Semua dayang dan pelayan istana mendapat perintah untuk tetap memperlakukan Dewi Gandhari sebagai Ratu.
Kepada saudara-saudaranya, Yudhistira mengingatkan agar mereka sama sekali tidak berbuat atau mengatakan sesuatu yang mungkin membuat Dritarastra dan Dewi Gandhari sedih. Semua saudaranya mematuhi harapan kakaknya, kecuali Bhimasena yang sesekali melanggarnya. Kadang-kadang ia lupa, berkata kasar dan menyinggung perasaan. Jika demikian, Dritarastra dan Dewi Gandhari hanya menanggapi dengan diam dan memendam kesedi- han mereka dalam hati. Rupanya Bhimasena belum bisa melupakan dan memaafkan perlakuan Duryodhana, Karna dan Duhsasana kepada Draupadi. Dewi Gandhari, yang terus berusaha memperlakukan Pandawa dengan penuh kasih, sebenarnya tahu bahwa Bhimasena masih mendendam. Tetapi, ia adalah wanita agung yang berbudi luhur. Ia justru membalas perlakuan Bhimasena dengan kasih yang semakin berlimpah.
Lima belas tahun sudah Yudhistira memerintah di Hastinapura. Akhirnya Dritarastra tak tahan lagi menanggung dukanya karena sindiran dan tingkah laku Bhimasena yang selalu membuatnya sedih dan tersinggung. Tak bisa lagi dia memaafkan Bhimasena dan bersikap pura-pura tak peduli. Meskipun kebaikan budi Yudhistira tiada taranya, sebagai manusia biasa lama-lama ia tak tahan diper- lakukan seperti itu. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Dritarastra berpuasa, tidak makan tidak minum, menyiksa raga dengan tidur di tanah, siang kepanasan malam kedinginan. Hal ini diikuti oleh Gandhari, hingga mereka kurus, pucat dan lemah.
Pada suatu hari Dritarastra memanggil Yudhistira dan berkata, “Telah lima belas tahun aku hidup bahagia dalam lindunganmu. Engkau selalu melayani kami dengan penuh kasih sayang. Setiap hari suci dan hari besar aku mempersembahkan sesaji untuk arwah nenek moyang dan memohon restu mereka demi kesejahteraanmu.
“Anak-anakku yang kejam dan berbuat jahat kepadamu telah musnah karena perbuatan mereka sendiri. Mereka telah menebus dosa mereka sebagaimana mestinya dan semua mati secara perwira sebagai kesatria.
“Kini tiba waktunya bagi kami, aku dan Gandhari, untuk melakukan dharma kami selanjutnya, yaitu pergi ke hutan untuk bersamadi. Dari sana, kami akan selalu mendoakan kalian. Sekarang ijinkan kami pergi untuk mengikuti jalan yang telah dirintis oleh nenek moyang kita di masa lampau.”
Mendengar kata-kata pamannya dan melihat keadaan
Dritarastra dan Dewi Gandhari yang kurus dan lemah, Yudhistira sangat terkejut. Ia berkata, “Sungguh aku tidak tahu bahwa Paman dan Bibi telah menyiksa diri dengan berpuasa dan tidur di tanah. Saudara-saudaraku pun tidak tahu. Aku kira, selama ini Paman dan Bibi dilayani dengan baik. Jika Paman menderita, itu akibat dosaku juga.
“Kini aku sadar, tak ada gunanya bagiku menjadi raja. Tak ada gunanya aku berkuasa. Aku manusia penuh dosa! Nafsu dan ambisi telah menyeretku menjadi raja di atas mayat saudara-saudaraku.
“Paman, biarlah Yuyutsu, anakmu, menjadi raja. Atau orang lain yang engkau pilih. Atau jika Paman mau, silakan Paman memerintah kerajaan ini. Aku saja yang pergi ke hutan untuk mengkahiri dosa-dosaku sampai di sini. Aku tak pantas menjadi raja. Engkaulah yang lebih pantas.
“Sekarang Paman minta pamit kepadaku. Bagaimana mungkin aku menolak karena sesungguhnya engkaulah Raja yang berkuasa? Engkaulah yang seharusnya mengijinkan aku pergi ke hutan.
“Ketahuilah Paman, sedikit pun aku tidak mendendam terhadap Duryodhana atau siapa pun. Semua itu telah berlalu. Kami adalah anak-anakmu. Dewi Gandhari dan Dewi Kunti adalah ibu-ibu kami yang sama-sama kami kasihi. Jika Paman tetap hendak pergi ke hutan, ijinkan aku menyertaimu. Apa gunanya aku tinggal di sini jika engkau tinggal di hutan? Aku sujud di hadapanmu, mohon maaf dan ampun atas semua kesalahanku. Dengan melayani engkau, aku mendapat kebahagiaan. Berikan kesempatan itu kepadaku. Jangan tinggalkan aku.”
Dritarastra terharu. Kemudian ia berkata, “Wahai, Putra Dewi Kunti, tekadku telah bulat. Aku akan pergi ke hutan untuk bertapa. Kalau tidak demikian, aku tidak akan menemukan kedamaian sepanjang hidupku. Engkau harus mengijinkan aku pergi.”
Setelah berkata begitu, Dritarastra menoleh kepada Widura dan Kripa sambil berkata, “Tekadku sudah bulat. Aku akan pergi ke hutan untuk bertapa. Aku tak bisa bicara lagi. Kerongkonganku kering. Aku harap engkau berdua menasihati Raja agar mengijinkan aku pergi.” Setelah berkata demikian, Dritarastra menyandarkan diri pada Dewi Gandhari. Raganya telah lemah sekali.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

MAHABHARATA 52 bagian 2

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
52. Setelah Perang Berakhir II
Setelah selesai melakukan upacara persembahyangan di tepi Sungai Gangga yang suci, untuk kedamaian mereka yang gugur di medan perang, Yudhistira bercakap-cakap dengan Bagawan Narada yang mendampingi Dewi Kunti.
Bagawan Narada berkata, “Berkat kebijaksanaan Krishna, keperwiraan Arjuna, dan kekuatan dharmamu, kemenangan ada di pihakmu. Kini engkau menjadi penguasa bumi. Bahagiakah engkau?”
“Bagawan, benar seluruh kerajaan kini menjadi milikku, tetapi sanak saudaraku sudah tak ada lagi. Anak-anak kami tercinta telah gugur. Kemenangan ini ternyata merupakan kekalahan besar bagiku. Kami telah menjadikan sanak saudara kami sendiri sebagai musuh dan kami tega membunuh mereka.
“Karna, yang gagah perkasa dan dikagumi di seluruh dunia, mesti kami bunuh juga. Kami telah melakukan perbuatan terkutuk dan mengerikan, yaitu membunuh saudara sendiri. Kenangan akan Karna membuatku tersiksa. Aku merasa berdosa karena membunuh dia. Ketika pertama kali melihat dia, yaitu ketika Draupadi dihina, aku jadi ingat ibuku, Dewi Kunti. Walaupun waktu itu aku sangat marah, aku melihat kaki Karna tak ubahnya kaki ibuku. Cara mereka melangkah pun sama. Aku ingat semua itu dan aku merasa sangat berdosa. Aku sedih sekali,” kata Yudhistira.
Kemudian Bagawan Narada menceritakan latar belakang dan kesalahan-kesalahan Karna sejak kesatria itu masih muda serta kutuk-pastu yang berkali-kali ia terima. Akhirnya Narada menasihati Yudhistira agar jangan menyesali kematian Karna, sebab nasibnya sendiri membawanya ke tujuannya sendiri.
Dewi Kunti menasihati putra sulungnya. Katanya, “Jangan salahkan dirimu karena kematian Karna. Ayahnya sendiri, Batara Surya, pernah memintanya untuk tidak berkawan dengan Duryodhana yang jahat. Batara Surya pernah menyuruh Karna bergabung dengan kalian, para Pandawa. Aku pun pernah mencoba memberinya pengertian. Tetapi ia tidak mau mendengarkan siapa pun! Nasib seseorang ada di tangannya sendiri.”
Yudhistira menyahut, “Engkau telah membohongi kami, Ibu. Engkau tidak pernah menceritakan kelahiran Karna kepada kami. Karena itu, kami tidak mengenalnya sebagai saudara kandung.” Setelah diam sejenak, Yudhistira melanjutkan, “Menurutku, engkaulah pangkal semua dosa ini. Aku berharap, mulai saat ini, kaum wanita takkan bisa lagi memegang rahasia.”
***
Banyak nasihat diberikan kepada Yudhistira, tetapi hatinya tidak menjadi lega, malah sebaliknya. Setiap kali ingat akan sanak kerabatnya yang tewas di medan perang, hatinya gelisah. Hatinya tak bisa tenang lagi dan seakan berkata-kata, menyuruhnya pergi ke hutan untuk bersamadi agar bisa menebus dosa-dosanya. Ia memanggil saudara- saudaranya dan mengutarakan niatnya. Dimintanya salah satu dari mereka memerintah kerajaan selama dia pergi.
Arjuna tidak setuju dengan niat Yudhistira. Menurutnya, dosa-dosa dapat ditebus jika kita memerintah dengan kebajikan dan kearifan. Jadi, penebusan dosa tidak hanya lewat jalan sanyasa atau bertapa.
Bhimasena mengangguk-angguk sependapat. Katanya kepada Yudhistira, “Engkau seperti bicara di awang-awang. Engkau seperti ahli nujum yang hafal kalimat-kalimat sastra, tetapi tidak memahami maknanya. Sanyasa bukan dharma bagi kaum kesatria. Tugas kesatria adalah berani hidup dan berkarya di tengah kehidupan manusia di dunia. Melakukan kewajiban seorang kesatria bukan dengan bertapa di dalam hutan.”
Nakula juga tidak setuju hidup secara sanyasa, seperti niat Dharmaputra. Ia memilih hidup berkarya sebagai kesatria. Sahadewa memberikan pandangannya dengan berkata, “Bagi kami, engkau adalah bapak, ibu, guru dan saudara. Jangan engkau tinggalkan kami untuk pergi bertapa di hutan. Mari kita pikul bersama semua beban ini!”
Dewi Draupadi berkata kepada Dharmaputra, “Membunuh Duryodhana, saudara-saudaranya, kawan-kawannya dan pengikut-pengikutnya adalah benar. Kenapa kita harus berduka? Di antara kewajiban seorang raja, memberi hukuman termasuk tugasnya. Sebagai raja, engkau tidak mungkin menghindari itu. Tidak ada alasan bagimu untuk minta ampun. Tugas sucimu adalah memerintah kerajaan ini berdasarkan dharma. Berhentilah berduka!”
Bagawan Wyasa juga menasihati Dharmaputra alias Dharmaraja tentang tugas-tugas yang dihadapinya. Bagawan itu meminta dengan sungguh-sungguh agar Dharmaraja pergi ke Hastinapura untuk mulai mengatur pemerintahan dan memikirkan kesejahteraan rakyat. Akhirnya, setelah mendengar banyak nasihat, Dharmaputra mengurungkan niatnya untuk pergi bertapa. Maka upacara penobatannya menjadi raja disiapkan sebagaimana mestinya di ibu kota Hastinapura. Segera setelah upacara selesai, Yudhistira berziarah ke tempat gugurnya Bhisma. Sambil duduk bersila, dengan khusyuk Yudhistira mendengarkan ajaran dharma lewat roh Bhisma. Sampai perang berakhir, jiwa Bhisma belum meninggalkan raganya. Setelah memberikan petunjuk-petunjuk suci tentang cara-cara menjalankan dharma kesatria untuk bekal memerintah kerajaan, Bhisma memberinya restu.
Yudhistira menyembah memberi hormat dan mengucap syukur karena menerima ajaran mulia dari junjungannya. Baru setelah itu jiwa Bhisma dengan tenang meninggalkan raganya lalu naik ke surga diiringi nyanyian suci dan keharuman yang wangi semerbak.
Selanjutnya Yudhistira pergi ke tepi Sungai Gangga untuk menyucikan diri. Beberapa saat lamanya ia berdiri termangu di tepi sungai suci itu. Tiba-tiba, kenangan- kenangan sedih di masa lalu memenuhi pikirannya. Hatinya pedih, dadanya terasa sesak. Tanpa sadar, ia jatuh pingsan. Bhimasena dan Pandawa yang lain menolongnya hingga siuman. Setelah Dharmaputra sadar, para Pandawa mencoba menghiburnya agar ia tidak larut dalam duka.
Dritarastra datang dan mencoba menghibur Dharmaputra dengan berkata, “Janganlah bersedih seperti ini. Bangkitlah! Engkau harus memerintah kerajaan Hastina dengan bantuan saudara-saudaramu. Rakyat telah menunggumu. Tugasmu sekarang adalah memerintah sebagai raja. Tinggalkan dukamu atau berikan saja kepadaku dan kepada Gandhari. Engkau telah mencapai kemenangan sesuai dharma kesatria. Buah kemenangan itu adalah memangku kedaulatan kerajaan Hastina.
“Aku memang bodoh, tidak menghiraukan nasihat Widura dan para sesepuh lainnya. Aku terlalu banyak mendengarkan kata-kata Duryodhana, hingga aku sering membuat kesalahan. Aku telah menipu diriku dengan membayangkan masa keemasan. Kini mimpi-mimpi itu lenyap tak berbekas. Seratus anakku tewas di medan perang, tetapi aku masih punya engkau sebagai anakku. Janganlah engkau terus berduka!”
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Friday, April 7, 2017

MAHABHARATA 52

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
52. Setelah Perang Berakhir
Dengan menyerahnya Aswatthama kepada Bhimasena, perang besar Bharatayudha pun berakhir. Kaurawa telah menerima kekalahan mereka. Ketika pertempuran di medan Kurukshetra berakhir, seluruh negeri berkabung. Beribu-ribu wanita, tua maupun muda, serta kanak-kanak mengiringi Maharaja Dritarastra berziarah ke medan perang, ke tempat pertempuran yang membawa kemusnahan. Alangkah dahsyat dan mengerikannya keadaan di medan itu. Berdiri bulu roma orang yang melihat bekas-bekas pertempuran. Mereka menangis tersedu-sedu, mengenang orang-orang yang mereka kasihi, yang sudah tak ada lagi. Semua telah gugur, musnah ditelan perang besar yang tiada bandingnya.
Meskipun buta, Dritarastra dapat membayangkan betapa mengerikannya kemusnahan akibat peperangan. Ia menangis, menyesali semua kejadian yang mengakibatkan malapetaka terbesar yang pernah terjadi di dunia. Beribu-ribu perwira dan beratus ribu prajurit gagah berani tewas terkapar, sia-sia membuang nyawa.
Ketika itu, datanglah Bhagawan Wyasa hendak menghibur dan menenangkan Maharaja Dritarastra. Katanya, “Anakku Dritarastra, tak ada gunanya menyesal dan tenggelam dalam dukacita dan berlarut-larut menangisi mereka yang telah gugur. Sebaiknya kita siapkan upacara pemakaman para pahlawan sesuai adat yang suci untuk menghormati jasa-jasa mereka.
“Ketahuilah, jika jiwa sudah meninggalkan raga, maka hubungan persaudaraan atau kekerabatan tidak ada lagi. Sesungguhnya, kini antara kau dan anak-anakmu sudah tidak ada hubungan lagi, karena hubungan itu sudah diakhiri dengan kematian. Hidup di dunia ini hanyalah peristiwa kecil dalam kaitannya dengan kehidupan abadi. Kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali ke ketiadaan. Tak ada yang perlu kita tangisi. Mereka yang mati setelah bertempur dengan gagah berani akan diterima oleh Batara Indra. Berduka karena kehilangan semua di masa lampau tidak akan mendekatkan kita pada kekayaan, kebahagiaan dan dharma.
“Dritarastra, semua hal pernah kuajarkan kepadamu.
Tidak ada yang tidak kauketahui. Engkau tahu benar, semua yang hidup akan mati. Perang yang baru saja berakhir ini boleh dikatakan berguna untuk meringankan beban dunia. Begitulah amanat Batara Wishnu kepadaku. Ini tidak bisa dihindari. Mulai kini dan selanjutnya, anakmu adalah Yudhistira dan saudara-saudaranya. Cintailah mereka. Buang dukamu sebagai beban hidup terakhir. Tugasmu sekarang adalah mendampingi putra-putra Pandu, adikmu,” demikian Bagawan Wyasa menghibur Dritarastra sambil mendampinginya berziarah di medan Kurukshetra.
Dritarastra tidak dapat begitu saja melupakan kematian anak-anaknya, terutama kematian Duryodhana. Sakit hati dan dendamnya begitu kuat, terutama kepada Bhima. Tak mungkin dia memaafkan kemenakannya itu dan menghapus kenangan akan kematian Duryodhana.
Yudhistira dan saudara-saudaranya juga berziarah kemedan Kurukshetra. Sampai di sana ia segera mendekati Dritarastra dan menyembah pamannya itu, disaksikan oleh Bagawan Wyasa.
Dritarastra memeluk Dharmaputra dan putra Pandu itu berkata bahwa Bhimasena juga ada bersamanya.
“Suruh dia ke sini!” kata raja buta itu. Krishna yang mendampingi Pandawa, cepat-cepat mendorong Bhimasena ke samping dan menyodorkan patung besi kepada raja buta itu. Krishna tahu bahwa ayah Duryodhana itu sangat membenci Bhimasena. Dritarastra segera memeluk patung besi itu, membayangkan bahwa ia memeluk Bhimasena. Kebencian dan dendamnya kepada Bhimasena membakar tubuhnya dan menjelma menjadi kekuatan gaib. Sambil komat-kamit mengucapkan kutukpastu, ia memeluk patung besi itu kuat-kuat sampai remuk.
“Kebencian telah memperbudak diriku. Aku telah membunuh Bhima dengan meremukkan badannya,” kata raja itu lega, terbebas dari rongrongan dendam di hatinya.
“Ya, Tuanku Raja, aku tahu ini pasti akan terjadi. Karena itu, aku halang-halangi maksud Tuanku. Sebenarnya engkau tidak membunuh Bhimasena, tetapi meremukkan sebuah patung besi. Sekarang, setelah dendam dan kebencianmu lenyap, semoga hidupmu menjadi damai. Tuanku, Bhimasena masih hidup,” kata Krishna.
Maharaja Dritarastra menjadi lemas. Tetapi segera ia sadar bahwa tugas utama sebagai sesepuh keturunan Bharata telah menantinya. Dienyahkannya segala perasaan buruk dari hatinya, dipanggilnya para Pandawa dan direstuinya mereka dengan tulus. Setelah itu, ia menyuruh Pandawa menghadap dan memohon restu pada Dewi Gandhari.
Sementara itu, Bagawan Wyasa yang telah lebih dulu datang ke tempat Dewi Gandhari, sedang menasihati ibu para Kaurawa itu. Katanya, “Sri Ratu, hendaknya engkau jangan marah atau dendam kepada Pandawa. Bukankah engkau sendiri pernah berkata, ‘di mana ada dharma, di situ kemenangan bertakhta’. Demikianlah Pandawa sekarang. Tak pantas membiarkan hati dan pikiran dikendalikan oleh dendam dan amarah.”
“Bagawan, aku tidak pernah iri akan kemenangan Pandawa. Memang aku sedih karena kematian semua anakku. Tapi aku sadar, Pandawa juga anak-anakku. Aku tahu, Duhsasana dan Sakuni yang sesungguhnya menjadi penyebab musnahnya rakyat kita. Arjuna dan Bhimasena tidak bisa disalahkan. Harga diri mendorong mereka terjun ke gelanggang pertempuran sebagai kesatria dan menjalani takdir masing-masing. Aku tidak pernah menyesali semua itu.”
Dewi Gandhari berhenti sesaat, menarik napas panjang dan mengusap air matanya. Kemudian melanjutkan, “Tetapi, kenangan akan suatu peristiwa tidak bisa dihapus dari hatiku. Di depan Krishna telah terjadi pertarungan antara Duryodhana dan Bhima. Tahu bahwa Duryodhana lebih unggul, Bhima menghantam bagian tubuh di bawah perutnya. Itu jelas menyalahi aturan pertarungan satu lawan satu. Tetapi Krishna membiarkan dan hanya melihat saja. Ini menyalahi dharma. Sungguh sukar bagiku untuk memaafkannya,” jawab Dewi Gandhari.
Sementara itu, Pandawa telah sampai di hadapannya.
Bhima yang mendengar keluhan Dewi Gandhari, berkata, “Ibu, aku lakukan semua itu untuk membela diri. Aku terikat oleh sumpah Dharmaraja. Kami telah menjalani hukuman selama tiga belas tahun. Setelah masa hukuman selesai, kami ingin memulihkan kehormatan kami. Apa boleh buat, untuk itu kami terpaksa merebutnya lewat peperangan karena jalan damai yang kami tawarkan tidak mendapat tanggapan.”
“Anakku, kalau saja engkau sisakan satu dari seratus anakku, aku dan suamiku yang sudah tua ini masih punya anak untuk menumpahkan duka kami. Di mana Dharmaputra? Panggil dia!” kata Dewi Gandhari.
Yudhistira gemetar mendengar kata-kata Dewi Gandhari. Pelan-pelan ia mendekati permaisuri Dritarastra itu sambil berkata, “Wahai Permaisuri Raja, aku, Yudhistira yang jahat, telah membunuh anak-anakmu. Ini aku, menghadap engkau sekarang. Kutuk dan hukumlah aku karena dosa-dosaku. Aku tidak peduli lagi akan hidupku dan kerajaanku.” Setelah berkata demikian, ia menjatuh- kan badannya, pasrah, dan bersujud di kaki Dewi Gandhari.
Dewi Gandhari telah bersumpah tak mau melihat dunia lagi sejak suaminya buta. Ia menutup matanya dengan sehelai kain dan bersumpah akan setia kepada suaminya hingga akhir hidupnya. Mengetahui Yudhistira bersujud di kakinya, cepat-cepat ia memalingkan muka, takut kalau- kalau bisa melihat Dharmaputra. Tetapi, dari celah bagian bawah kain penutup matanya, ia bisa melihat ibu jari kaki Dharmaputra. Begitu terpandang olehnya, ibu jari kaki itu langsung terbakar dan meninggalkan tanda hitam. Arjuna, yang tahu akan kekuatan gaib yang mematikan dari sorot mata Dewi Gandhari, segera bersembunyi di balik punggung Krishna.
Mendengar kata-kata Yudhistira, Dewi Gandhari berusaha menghilangkan amarah dan dendamnya. Dengan bijaksana dan dengan tutur kata halus, ia merestui Pandawa lalu menyuruh mereka menghadap Dewi Kunti. Kepada Draupadi yang sangat sedih karena kematian semua anaknya, Dewi Gandhari berkata, “Anakku, jangan engkau berduka. Siapa yang sanggup menghibur kita? Kita harus memikul beban sekuatnya. Kita juga bersalah dan ikut menjadi penyebab musnahnya bangsa ini.”
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Wednesday, April 5, 2017

MAHABHARATA 51 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
51. Duryodhana Tewas Sesuai Swadharmanya II
Aswatthama mendengar berita tentang pertarungan Duryodhana dengan Bhimasena dan tentang remuknya paha Duryodhana karena Bhimasena tidak mengindahkan aturan pertarungan satu lawan satu. Ia juga mendengar kisah kematian ayahnya di tangan Pandawa dengan tipu muslihat kasar dan pembunuhan keji. Hatinya serasa terbakar dan amarahnya sampai ke ubun-ubun. Segera ia pergi mencari Duryodhana, kalau-kalau putra mahkota itu masih hidup. Ia mendapati Putra Mahkota Kaurawa itu masih hidup meskipun luka-luka di tubuhnya sangat parah. Di hadapan Duryodhana, ia bersumpah akan menghabisi Pandawa.
Walau tubuhnya remuk, semangat Duryodhana tetap membaja. Kepada yang ada di dekatnya ia membisikkan agar Aswatthama dilantik menjadi mahasenapati meskipun tidak ada lagi pasukan yang harus dipimpinnya. Kemudian Duryodhana berpesan kepada pemuda itu, “Aswatthama, semua harapanku kuletakkan dipundakmu. Pimpinlah mereka yang masih hidup.”
Kemudian Aswatthama bersama Kripa dan Kritawarma meninggalkan Duryodhana. Mereka menembus hutan ketika matahari telah terbenam. Sampai di bawah sebatang pohon beringin rindang, mereka berhenti melepaskan lelah. Begitu merebahkan badan, Kripa dan Kritawarma langsung tertidur. Tetapi Aswatthama tidak bisa memejamkan mata. Amarah dan dendam kesumat mem- buat sekujur tubuhnya terasa panas.
Malam itu suasana di dalam hutan sepi. Sesekali terdengar derik binatang malam dan kesiur hantu-hantu hutan memecah kesunyian.
Pikiran Aswatthama melayang-layang. Ia mencoba mencari cara untuk melaksanakan sumpahnya, yaitu memusnahkan Pandawa. Selagi berpikir-pikir demikian sambil telentang memandang langit, ia melihat beratus-ratus burung gagak tidur nyenyak di dahan-dahan pohon beringin. Sesekali satu-dua burung berisik, berusaha terbang.
Aswatthama memperhatikan dahan-dahan yang bergerak-gerak. Ia melihat beberapa ekor burung hantu yang dengan galak menyerang gagak-gagak yang tak bisa melihat di malam hari. Mula-mula, mereka menyerang dari satu arah. Kemudian menyerang dari kiri dan kanan, membuat burung-burung gagak itu gaduh beterbangan tak tentu arah. Ada yang tertumbuk ke batang pohon beringin, tak terbilang banyaknya yang mati berjatuhan dan menjadi santapan burung-burung hantu itu.
Terpikir oleh Aswatthama bahwa cara burung-burung hantu itu memangsa gagak-gagak yang sedang tidur dapat ditirunya untuk menghabisi Pandawa di waktu malam.
“Kalau Pandawa tega menghabisi nyawa musuhnya yang tak berdaya, apa salahnya kalau kita menyerang mereka di malam hari ketika mereka sedang tidur nyenyak? Apa salahnya siasat seperti ini? Bukankah Pandawa berhasil mengalahkan Kaurawa dengan bermacam-macam siasat curang? Tak ada jalan lain, siasat harus dibalas dengan tipu daya!” demikian pikir Aswatthama.
Kemudian ia membangunkan Kripa dan menyampaikan rencananya untuk menyerang Pandawa di malam hari, ketika mereka sedang tidur nyenyak.
Dengan heran Mahaguru Kripa menjawab, “Cara-cara seperti itu tidak boleh dilakukan! Salah! Semua salah! Kalian membuat dosa besar! Tak pernah terjadi sepanjang sejarah manusia, seseorang diserang ketika sedang tidur nyenyak. Sungguh itu suatu kejahatan yang mengerikan, lebih-lebih jika dilakukan oleh para kesatria. Tidak, Aswatthama!
“Sadarlah, Aswatthama. Untuk siapa kita berbuat demikian? Bukankah hampir semua orang yang kita bela, untuk siapa kita rela mengorbankan jiwa dan raga, telah menemui ajalnya? Kita telah menunaikan tugas kita secara terhormat dan dengan penuh pengabdian. Kita telah bertempur mati-matian demi Duryodhana, tetapi kita tidak selalu menang. Bukan salah kita. Lagi pula, perang ini bisa dikatakan sudah selesai. Bertempur tanpa tujuan jelas adalah gila. Baiklah, kita temui saja Dritarastra dan Dewi Gandhari dan kita bersiap untuk menerima perintahnya. Kita minta nasihat Widura, apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Mendengar kata-kata Kripa, hati Aswatthama bertambah panas. Ia tidak peduli pendapat orang lain dan menganggap pendapatnya sendiri yang benar. Dia membantah Kripa dengan mengatakan bahwa pihak Pandawalah yang sebetulnya berdosa, yang membunuh ayahnya tidak secara kesatria, yang membunuh Duryodhana tanpa mengindahkan aturan pertarungan satu lawan satu.
“Apa yang kukatakan ini benar dan bertujuan mulia, yaitu menunjukkan kesetiaanku kepada ayahku dan rajaku. Aku harus membalas kematian ayahku. Aku tidak akan mengubah rencanaku. Malam ini juga aku akan berangkat melaksanakan rencanaku. Akan kuhabisi Pandawa dan Dristadyumna ketika mereka sedang tidur nyenyak,” demikian kata Aswatthama dengan berapi-api.
Kripa dan Kritawarma mencoba menyabarkannya dengan memberi nasihat, “Aswatthama, kau kesatria yang terhormat dan ternama, di mata kawan maupun lawan. Tingkah laku dan sopan santunmu selama ini menjadi teladan bagi kesatria-kesatria muda. Jika ia membunuh orang yang sedang tidur, kehormatan dan nama baikmu akan rusak.”
Tetapi Aswatthama tidak bisa dihalangi. Ia mengingatkan Kripa dan Kritawarma akan kejahatan Pandawa yang telah membunuh ayahnya dan merusak dharma. Katanya, “Dharma apakah yang masih ada dan harus kita ikuti? Jika membunuh lawan ketika lawan sedang tidur nyenyak dianggap tidak melanggar dharma, lalu apa nama- nya pembunuhan kejam terhadap ayahku? Jika karena ini kelak aku harus terlahir kembali sebagai burung pemakan bangkai, aku tidak peduli. Akan kujalani inkarnasi itu dengan senang hati.” Setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, Aswatthama mempersiapkan keretanya.
“Tunggu dulu, Aswatthama! Kami tidak setuju dengan keputusanmu. Tetapi kami juga tidak bisa membiarkan engkau pergi sendirian. Apa pun yang akan kaulakukan, kami akan menyertaimu. Dosamu adalah dosa kami.” Setelah berkata demikian, Kripa dan Kritawarma menyusul Aswatthama. Malam itu, ketika bulan mati dan langit kelam, mereka berangkat ke perkemahan Pandawa. Sampai di dekat kemah Dristadyumna, mereka berhenti sesaat, mengamat- amati segala sesuatu di sekitar kemah itu. Suasana sangat sepi. Dengan hati-hati mereka menyelinap ke dalam kemah Dristadyumna yang tampak sedang tidur nyenyak. Aswatthama melompat ke ranjang kesatria Panchala itu, kemudian mencekiknya. Setelah Dristadyumna lemas, ia memukul kepalanya dengan benda keras sehingga kakak Draupadi itu menemui ajalnya. Cara yang sama dilakukannya terhadap semua anak-anak Draupadi, yaitu Pratiwindya, Srutasoma, Srutakriti, Satanika dan Srutakarman.
Tak banyak waktu lagi. Sebelum langit timur menjadi terang, mereka membakar perkemahan Pandawa. Api segera berkobar, menjilat-jilat ke angkasa. Prajurit-prajurit yang terjaga berusaha melarikan diri. Tapi, tak terbilang mereka yang mati terbakar, di dalam maupun di luar perkemahan karena tak sempat melarikan diri.
“Kita telah lakukan tugas kita sebagaimana mestinya.
Marilah kita kembali ke tempat Duryodhana. Siapa tahu ia masih hidup? Mendengar hasil kerja kita malam ini, ia pasti puas.” Aswatthama mengajak Kripa dan Kritawarma cepat-cepat meninggalkan perkemahan itu.
Karena serbuan Aswatthama, seluruh balatentara Pandawa musnah, hanya tujuh yang selamat. Di pihak Kaurawa, hanya ada tiga orang, yaitu Aswatthama, Kripa dan Kritawarma.
Ternyata Duryodhana masih hidup. Setelah mendengar
laporan Aswatthama, Duryodhana berkata, “Aswatthama, engkau telah menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tidak juga kesatria besar seperti Bhisma dan Karna. Engkau telah membesarkan hatiku dan sekarang aku bisa mati dengan bahagia!” Setelah berkata demikian, akhirnya Duryodhana menghembuskan napas penghabisan dengan tenang. Air mukanya membayangkan kebahagiaan abadi.
***
Tidak dapat dibayangkan betapa sedihnya Yudhistira ketika mendengar pasukannya dihabisi musuh di waktu malam. Ketika kemenangan sudah di tangan, tiba-tiba kekalahan harus diterima.
Anak-anak Draupadi yang selama perang berlangsung
dapat diselamatkan dari musuh, sampai saat ketika Karna menjadi mahasenapati, tiba-tiba mati tak berdaya bagai anak ayam disergap musang lapar. Pandawa membiarkan diri mereka dihancurkan, seperti kapal dagang yang berlayar pulang membawa untung besar dari negeri-negeri jauh, tapi tiba-tiba tenggelam di muara sungai di negeri sendiri.
Draupadi tak kuat menanggung dukanya. Ia menangis di dada Dharmaputra.
“Tak adakah yang dapat membalas bela untuk anak- anakku yang tidak berdosa? Ini akibat perbuatan Aswatthama yang terkutuk!” katanya dengan suara terputus- putus.
Mendengar kata-kata Draupadi, Pandawa segera pergi mencari Aswatthama ke mana-mana. Aswatthama melarikan diri ke tepi Sungai Gangga dan bersembunyi di dalam kuil pemujaan Bagawan Wyasa. Ketika melihat Pandawa dan Krishna datang mendekat, Aswatthama melemparkan sehelai rumput sambil mengucapkan mantra sakti, “Semoga dengan ini bangsa Pandawa musnah dari permukaan bumi.”
Helai rumput itu terbang menuju Dewi Uttari yang sedang mengandung putra Abhimanyu. Bayi dalam kandungan itu nyaris terbunuh oleh rumput dan mantra Aswatthama. Untunglah Krishna sempat menyelamatkannya dengan mengucapkan mantra yang membuat semua keinginan Aswatthama tak terkabul. Kelak, bayi itu lahir selamat dan diberi nama Parikeshit.
Kemudian Aswatthama menanggalkan permata indah kemilau yang menempel di kepalanya, yang merupakan bagian kekuatannya. Ia memberikan permata itu kepada Bhimasena, sebagai tanda pengakuan kekalahannya. Seijin Bhimasena ia pergi ke hutan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan bersamadi.
Bhimasena menyerahkan permata itu kepada Draupadi
sambil berkata, “Wahai Putri Pujaan Pandawa, terimalah permata ini. Orang yang membunuh anak-anak kita tercinta telah lenyap dari bumi. Duryodhana sudah musnah dan Duhsasana sudah kuisap darahnya. Aku telah membalas bela untuk sanak kerabat kita. Hutangku kepadamu sudah kulunasi.”
Dewi Draupadi menerima pemberian itu, lalu menyerahkannya kepada Yudhistira sambil berkata, “Raja yang kami muliakan, permata ini cocok sekali untuk disuntingkan pada mahkotamu.”
Demikianlah, perang Bharatayudha di medan Kurukshetra berakhir.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Tuesday, April 4, 2017

MAHABHARATA 51

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
51. Duryodhana Tewas Sesuai Swadharmanya
Duryodhana sedih mendengar berita gugurnya Karna. Mahaguru Kripa kasihan kepadanya dan mencoba menghiburnya dengan menasihati putra mahkota itu bahwa jika perang dilanjutkan, tidak ada yang akan memetik kebahagiaan, yang ada hanyalah kehancuran. Kata Kripa, “Didorong nafsu besar dan ambisi, kita korbankan banyak orang dalam perang ini, walaupun mereka rela mengorbankan jiwa mereka. Sekarang, satu-satunya jalan yang masih bisa kita tempuh untuk menghindari kemusnahan adalah berdamai dengan Pandawa. Duryodhana, sebaiknya perang ini kita hentikan.”
Duryodhana menjawab dengan nada perih, “Mungkin, dulu itu bisa dilakukan. Sekarang sudah terlambat. Perundingan seperti apa yang bisa kita usahakan ketika darah sudah tertumpah dan sudah tak terbilang korban berjatuhan di kedua pihak? Kalau aku menyerah untuk menghindari kemusnahan Kaurawa dan sekutunya, siapakah yang tidak akan mengutuk dan menyumpahi aku? Kebahagiaan seperti apa yang dapat kurasakan jika aku mundur sebagai pengecut? Kegembiraan seperti apa yang dapat kunikmati dalam kemegahan kerajaanku setelah semua saudara, keluarga dan kawanku tewas? Tidak! Setapak pun aku tidak akan mundur!”
Kata-kata Duryodhana yang penuh kepahitan sekaligus menunjukkan kekerasan hatinya, disambut dengan sorak sorai oleh balatentara Kaurawa. Kemudian mereka memilih Salya sebagai mahasenapati yang akan memimpin Kaurawa dalam pertempuran melawan Pandawa. Salya, seperti para kesatria besar yang telah mendahuluinya, adalah kesatria sakti, perkasa, dan sudah sangat berpengalaman. Ia juga ahli siasat perang. Di bawah pimpinan Salya, semangat Kaurawa kembali berkobar dan mereka melancarkan serangan dengan hebat.
Di pihak Pandawa, pimpinan dipegang oleh Yudhistira. Ajaib, kesatria yang dilahirkan dengan budi pekerti lembut itu ternyata bisa bertempur dengan garang melawan pamannya sendiri.
Pertempuran antara Salya dan Dharmaputra berlangsung sengit. Sementara itu, putra-putra Dritrastra yang masih hidup, kecuali Duryodhana, bersama-sama menyerang Bhimasena. Yudhistira terus-menerus memanah Salya sampai mahasenapati itu tampak seperti landak karena puluhan anak panah yang menancap di tubuhnya. Darah mengucur dari luka-lukanya. Akhirnya, Yudhistira melemparkan tombaknya, tepat mengenai dada Salya. Mahasenapati itu langsung roboh, menemui ajalnya.
Sementara itu, Bhimasena yang bersumpah akan menghabisi putra-putra Dritarastra, membalas keroyokan Kaurawa dengan garang. Diayun-ayunkannya gada saktinya. Ia mengamuk membabi buta, didorong dendam yang dipendam selama tiga belas tahun. Satu demi satu musuh bertumbangan, bagaikan tanaman perusak yang ditebas oleh peladang yang menyiangi kebunnya. Waktu melancarkan gempuran terakhir, Bhimasena berkata, “Hidupku di dunia ini tidak sia-sia karena aku telah memenuhi sumpahku. Sekarang aku tinggal membunuh Duryodhana.”
Di medan yang lain, Sakuni menggempur pasukan Pandawa yang dipimpin Sahadewa. Setelah bertempur beberapa lama, Sahadewa melepaskan anak panahnya yang bermata pedang sambil berteriak lantang, “Bedebah! Ini buah dosa-dosamu yang tak terampuni!”
Anak panah itu melesat, menembus leher Sakuni dan memenggal kepalanya yang kemudian jatuh terguling-guling di tanah.
***
Seperti biasa, Maharaja Dritarastra yang buta “menyaksikan” pertempuran itu lewat laporan Sanjaya, penasihatnya yang tepercaya, yang mempunyai kesaktian bisa melihat dari jauh. Mendengar laporan Sanjaya bahwa putra-putranya telah tewas, Dritarastra berkata sedih dan putus asa, “Oh Sanjaya, bagaikan pohon-pohon kering dimakan api, anak-anakku musnah dalam peperangan ini. Karena Duryodhana berkepala batu, anak-anakku dibunuh oleh Bhimasena yang ingin membalas dendam. Sungguh, putra Batara Bayu itu memiliki kekuatan seperti Dewa Kematian.”
“Ya Tuanku Raja, balatentara Tuanku yang terdiri dari sebelas aksohini atau sebelas divisi telah musnah. Dari beratus-ratus raja, putra mahkota, bangsawan dan kaum kesatria yang rela mengorbankan jiwa raga mereka demi kita, tinggal Duryodhana yang masih kelihatan tegak di medan pertempuran. Tetapi, tubuh putra Tuanku itu penuh luka,” kata Sanjaya.
Ketika tidak berhasil mengumpulkan sisa balatentara Kaurawa, Duryodhana jatuh dari keretanya dengan tangan masih memegang gada. Diam-diam ia lari ke tepi telaga. Ia kehausan dan sekujur tubuhnya terasa panas. Sampai di sana, ia menjatuhkan badannya di tepi telaga yang airnya sangat bening. Pikiran Duryodhana melayang jauh. “Benar kata Widura yang pernah meramalkan apa yang akan terjadi,” katanya dalam hati.
Tetapi apa gunanya kesadaran yang datang sangat terlambat? Setiap perbuatan, baik atau buruk, pasti membuahkan hasil yang setimpal. Itulah karmaphala atau hukum kehidupan.
Sementara itu, Yudhistira dan saudara-saudaranya terus mencari-cari Duryodhana. Akhirnya mereka menemukannya sedang telungkup di tepi telaga.
Yudhistira mendekatinya dan berkata lantang, “Duryodhana, setelah sanak saudaramu dan ratusan ribu prajurit yang tidak berdosa tewas demi membela dirimu, masihkah engkau berani mengangkat wajahmu? Di mana keangkuhanmu yang selalu kaupamerkan di depan kami? Apakah engkau tidak punya malu sedikit pun? Ayo, kita bertarung! Buktikan bahwa kau terlahir sebagai kesatria yang tak takut bertempur dan tak takut mati.”
Mendengar kata-kata itu, Duryodhana memandang tajam wajah Yudhistira dan menjawab dengan gagah, “Oh, ternyata kamu, Dharmaputra! Aku datang ke telaga ini bukan untuk bersembunyi. Bukan pula karena takut. Aku datang ke telaga ini karena aku kehausan dan sekujur tubuhku terasa panas. Aku tidak takut mati, tapi aku juga tidak ingin hidup lebih lama. Apa gunanya bertempur lagi? Dunia ini sudah tak berarti apa-apa lagi bagiku. Siapa lagi yang harus aku bela mati-matian? Tak ada! Semua kesatria di pihakku telah tewas. Aku tak ingin lagi menguasai Kerajaan Hastina. Kuserahkan semua milikku padamu. Tak perlu lagi bertarung. Nikmatilah kedaulatanmu, takkan ada yang berani menggugatmu.”
Dharmaputra menanggapi, “Alangkah baiknya engkau sekarang. Pahadal, dulu ketika kami mengusulkan perdamaian dan hanya meminta lima desa, engkau menolak mentah-mentah. Sekarang, dengan mudahnya engkau katakan bahwa kami boleh mengambil semua milikmu.
“Ketahuilah, kami berperang bukan demi tanah kerajaan. Kami berperang demi menegakkan keadilan. Masih perlukah kusebutkan semua dosamu? Kejahatan dan penghinaanmu terhadap Draupadi tak mungkin kami lupakan dan takkan lunas kaubayar dengan hartamu. Penghinaan itu hanya akan lunas terbayar dengan nyawamu.”
Mendengar kata-kata Yudhistira, Duryodhana bangkit, berdiri tegak lalu berkata keras sambil mengayun-ayunkan gadanya, “Ayo maju, satu per satu! Aku sendirian, kalian berlima. Kalian tentu tidak akan mengeroyok aku, karena senjataku hanya gada ini dan tubuhku sudah lemas penuh luka.”
“Tentu saja kami tidak akan mengeroyok engkau. Engkau lemas, penuh luka, dan tak berdaya. Tapi, katakan apa yang telah kalian lakukan terhadap Abhimanyu hingga dia mati secara mengenaskan?
“Dasar manusia berwatak jahat. Ketika terpojok tak berdaya, kau baru sadar dan bicara tentang dharma, budi pekerti dan kehormatan seorang kesatria. Ayo, siapkan dirimu! Pilih salah satu di antara kami untuk bertarung denganmu! Mati masuk surga atau menang jadi Raja- diraja!” kata Yudhistira.
Duryodhana memilih Bhimasena, yang perawakannya sebanding dengannya. Kecuali itu, mereka juga sama-sama mahir menggunakan gada. Maka terjadilah pertempuran sengit antara Duryodhana dan Bhimasena. Kedua kesatria itu sama kuatnya. Api memercik setiap kali gada-gada mereka beradu. Sulit memperhitungkan, siapa yang akan menang.
Ketika pertarungan masih berlangsung seru, tiba-tiba Krishna mengingatkan Arjuna tentang kutuk-pastu Resi Maitreya, yaitu bahwa Duryodhana akan menemui ajalnya jika pahanya bisa diremukkan.
Bhimasena mendengar apa yang dikatakan Krishna kepada Arjuna. Ia seperti mendapat kekuatan baru. Dengan garang ia melompat dan menerkam Duryodhana lalu dengan sekuat tenaga menghantamkan gadanya ke paha Putra Mahkota Kaurawa itu. Duryodhana roboh. Bhimasena menyergapnya ketika Duryodhana masih tergeletak lemas. Bhimasena menginjak-injak tubuh kesatria Kaurawa itu, kemudian menumbukkan kepala Duryodhana ke lututnya.
“Hentikan, Bhimasena! Ia telah membayar hutangnya. Duryodhana adalah putra mahkota dan sepupu kita. Tidak patut engkau menginjak-injak kepalanya,” teriak Dharmaputra.
Krishna berkata, “Orang durhaka ini akan segera mati.
Hai, Putra-putra Pandu, sebaiknya kita segera pergi dari sini.”
Meskipun keadaannya sudah parah, Duryodhana masih sempat berkata dengan marah kepada Krishna, “Dengan kelicikanmu, engkau telah membuat banyak kesatria tewas. Kau tak mungkin menang kalau kau bertempur sesuai tradisi kesatria dan aturan perang ketika melawan Karna, Drona dan Bhisma. Apakah engkau tidak malu?”
“Duryodhana, sia-sia engkau salahkan orang lain. Kerakusan dan ambisimu akan kekuasaan telah menuntunmu untuk menimbun dosa dan kejahatan. Sekarang engkau memetik buahnya,” jawab Krishna.
Tidak seorang pun dapat mengubah hati Duryodhana, sampai ke lubang mautnya sekalipun. Tidak seorang pun dapat mematahkan semangatnya, sekalipun napas terakhirnya sudah sampai lehernya. Dengan sombong ia membalas kata-kata Krishna, “Bedebah! Sebagai putra mahkota aku setia dan murah hati kepada para sekutuku, yaitu musuh-musuh kalian. Semua kenikmatan duniawi yang diimpikan semua orang dan tak mudah didapat bahkan oleh para raja sekalipun, sudah kucecap sepuas-puasnya. Kini, mati sebagai pahlawan perang adalah kehormatan besar bagiku. Dengan senang hati aku akan segera menggabungkan diri dengan saudara-saudaraku dan teman- temanku di surga. Mereka pasti akan gembira menyambutku.
“Tapi, lihat dirimu. Engkau akan tinggal sendirian di dunia ini. Kau akan kehilangan segalanya, kecuali kutuk dan caci-maki kaum kesatria. Aku tidak marah kepalaku diinjak-injak Bhima, walaupun aku tidak berdaya dan pahaku buntung. Aku tak peduli. Sebentar lagi aku mati dan tubuhku akan menjadi santapan burung-burung bangkai.”
****
Ketika perang hampir selesai, Balarama, kakak Krishna sampai di medan Kurukshetra. Ia masih sempat melihat pertarungan antara Duryodhana dan Bhimasena, dan bagaimana Bhimasena meremukkan paha serta menginjak-injak kepala Duryodhana. Ia sangat marah melihat kesatria Pandawa itu melanggar aturan perang dan tega berbuat keji kepada lawannya yang tak berdaya.
“Hentikan! Kalian tidak mengindahkan aturan perang! Engkau menyerang musuhmu di bagian bawah perut! Engkau menyerang musuh yang sudah tak berdaya dan tak kuasa melawan! Bhima, tindakanmu sungguh keji dan memalukan,” teriaknya kepada Bhimasena.
Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada Krishna, adiknya, “Adikku, engkau melihat tapi membiarkan hal-hal seperti ini terjadi. Aku tidak dapat mengerti. Kalian, yang mengaku berdarah kesatria dan menjunjung dharma, ternyata justru melakukan adharma.”
Sambil berkata demikian Balarama maju, wajahnya merah padam. Ia mengangkat senjata lukunya yang perkasa, sama perkasanya dengan senjata cakra milik Krishna. Sendiri ia menghadapi Bhimasena.
Krishna bingung melihat perbuatan kakaknya. Segera ia berlari, menghalang-halangi Balarama yang ingin mendekati Bhimasena. Katanya, “Pandawa adalah kawan dan kerabat kita. Mereka menjadi korban kejahatan dan penghinaan Duryodhana yang tak terderitakan. Ketika Draupadi dihina di dalam sasana persidangan dan di depan orang banyak, Bhima bersumpah akan membunuh Duryodhana dengan cara demikian dan cara itu sesuai dengan kutuk-pastu Resi Maitreya yang pernah dihina Duryodhana. Setiap orang tahu tentang sumpah Bhima.
“Jangan biarkan kemarahanmu mempengaruhi penilaianmu dan jangan berlaku tidak adil terhadap Pandawa. Sebelum mengutuk Bhima, seharusnya kaupertimbangkan dulu semua kejahatan yang pernah dilakukan Kaurawa terhadap Pandawa. Engkau harus adil. Jangan menilai suatu peristiwa lepas dari hubungannya dengan berbagai peristiwa sebelumnya.
“Jaman kaliyuga tidak akan tiba, kalau jaman-jaman sebelumnya tidak menyebabkan ia tiba. Itu hukum hidup! Bahwa Bhima menghantam Duryodhana di bawah perut, itu tak dapat disalahkan jika kita tahu bagaimana kejahatan Duryodhana terhadap Pandawa. Duryodhana yang menyuruh Karna menusuk Abhimanyu dengan tombak dari belakang dan mengeroyok putra kesayangan Arjuna itu serta membunuhnya dengan keji.
“Sejak lahir Duryodhana selalu melakukan kejahatan yang menghancurkan rakyatnya. Membunuh orang sejahat Duryodhana, bukanlah dosa.
“Bhima sendiri telah menjalani hukuman atas kesalahan-kesalahannya. Tiga belas tahun lamanya ia menekan nafsu dan pikiran-pikiran jahatnya. Duryodhana tahu bahwa Bhima telah bersumpah akan membunuh dirinya dengan meremukkan pahanya. Ketika menantang Pandawa, tentu ia sudah memperhitungkannya. Sekarang, pertimbangkanlah kesalahan apa yang diperbuat Bhima.”
Pandangan Balarama tetap, tidak berubah, walaupun
telah mendengar penjelasan Krishna. Tetapi, amarahnya berkurang. Ia menanggapi Krishna dengan berkata, “Duryodhana akan mencapai surga dan tinggal di tempat yang telah disediakan bagi para kesatria yang gagah berani. Kemasyhuran Bhimasena telah ternoda oleh perbuatannya sendiri. Sampai kapan pun, orang akan membicarakan putra Pandu yang merendahkan diri dengan melanggar aturan perang ketika menyerang Duryodhana. Perbuatan itu akan menodai nama baiknya selama-lamanya.” Setelah berkata demikian, Balarama meninggalkan tempat itu dan kembali ke negerinya.
Sementara itu, Yudhistira sedih melihat tindakan Bhimasena yang keji terhadap sepupunya. Ia tak bisa berkata-kata. Banyaknya pelanggaran aturan perang yang dilakukan kedua pihak membuat Yudhistira sadar bahwa runtuhnya kemegahan bangsa Bharata akan segera terjadi. Ia tahu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukan Kaurawa terhadap Pandawa. Ia tahu, betapa besarnya dendam yang berkobar di hati Bhimasena. Yudhistira tak bisa menyalahkan Bhimasena karena ia tahu ketulusan hati saudaranya itu. Demikian pula terhadap Duryodhana, sepupunya itu selalu dipengaruhi oleh nafsu iblis dan tak pernah menunjukkan sikap dan perbuatan baik terhadap dirinya yang selaras dengan keturunannya sebagai kesatria.
Ketika Krishna bertanya mengapa ia diam saja dan tak membalas kata-kata Balarama, ia menjawab, “Duryodhana sudah kita taklukkan. Apa gunanya memperdebatkan aturan atau undang-undang? Apakah pekerjaan kita hanya menilai kesalahan orang lain yang dilakukan karena dendam kesumat yang tak mengenal batas?”
Arjuna yang sangat cerdas dan memiliki pandangan jauh ke depan tidak berkata-kata. Baginya tidak ada lagi yang harus dikatakan. Membenarkan perbuatan Bhimasena atau mengutuk Duryodhana tak ada gunanya, walaupun mereka yang ada di situ menyumpahi perbuatan-perbuatan Duryodhana di masa lampau.
Krishna berkata lagi, “Wahai kaum kesatria, tidak pantas kita merendahkan martabat musuh yang sudah kalah dan sedang menunggu ajalnya. Ia orang bodoh yang memetik buah perbuatannya sendiri. Ia terjerumus karena bergaul dengan manusia-manusia terkutuk dan terseret menuju keruntuhannya sendiri. Mari kita pergi dari sini!”
Sebelum Pandawa meninggalkan tempat itu, Duryodhana yang terbaring tak berdaya masih sempat menyumpahi Krishna yang ia anggap sebagai sumber kejahatan Pandawa. Ia menyumpahi Krishna yang memberi isyarat kepada Bhimasena agar meremukkan pahanya dengan pura- pura bercakap-cakap dengan Arjuna.
Duryodhana juga menuduh Krishna telah menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma. Krishna juga menyebabkan kematian Mahaguru Drona dengan menyuruh Dharmaputra berbohong. Krishna pula yang menyuruh Arjuna membunuh Karna ketika kesatria itu sedang berjongkok memperbaiki keretanya yang rusak. Krishna juga yang menyebabkan kematian Raja Sindhu dengan menciptakan malam di medan Kurukshetra dan membiarkan Dristadyumna membunuh Drona yang sedang beryoga.
Duryodhana berteriak menyumpahi Krishna, “Bedebah! Dasar anak budak! Bukankah ayahmu budak Kangsa? Engkau tidak pantas berkawan dengan kesatria. Dasar manusia penuh dosa.”
“Wahai Putra Dewi Gandhari, jangan biarkan amarahmu menyakiti saat-saat terakhirmu. Kejahatan dan kesalahanmulah yang membuatmu menghadapi maut saat ini. Jangan melemparkan dosamu ke orang lain. Engkaulah biang keladi perang ini. Kematian mereka yang kau sebut - sebut itu adalah karena perbuatanmu juga. Mereka menjadi alat untuk menebus dosamu. Engkau telah membayar semua itu dengan jiwa ragamu. Berbahagialah engkau nanti di surga yang disediakan bagi mereka yang gugur di medan perang,” demikian kata Krishna.
“Krishna, aku akan pergi ke surga menemui saudara-saudaraku dan teman-temanku. Tetapi engkau dan Pandawa akan tetap tinggal di dunia untuk mengalami penderitaan. Siapa yang lebih baik, engkau atau aku? Engkau masih hidup dan harus berbela sungkawa atas kematian kawan-kawanmu. Kemenangan yang engkau cari di medan pertempuran tiada lain hanyalah timbunan abu yang menutupi mulutmu. Selamat tinggal!”
Demikianlah Duryodhana menghembuskan napasnya yang terakhir setelah sempat memaki-maki dan menyumpah-nyumpah.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau