Thursday, March 9, 2017

MAHABRATA 34




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
34. Di Antara Dua Pilihan
Raja Drupada memanggil pendita Negeri Pancala dan berkata kepadanya, “Engkau mengetahui jalan pikiran Duryodhana dan sikap Pandawa. Pergilah, menghadap Duryodhana sebagai utusan Pandawa. Kaurawa telah menipu Pandawa dengan sepengetahuan ayah mereka, Raja Dritarastra yang tidak mau mengindahkan nasihat Resi Widura. Tunjukkan kepada raja tua yang lemah itu, bahwa ia telah diseret anak-anaknya ke jalan yang salah, jalan yang menjauhi kebajikan dan dharma.
“Engkau bisa bekerja sama dengan Resi Widura. Mungkin dalam tugasmu engkau akan berbeda pandangan dengan para tetua di sana, yaitu Bhisma, Drona dan Kripa; begitu pula dengan para panglima perang mereka. Andaikata itu yang terjadi, maka dibutuhkan waktu lama untuk mempertemukan berbagai pendapat yang berbeda. Dengan demikian, Pandawa mendapat kesempatan baik untuk mempersiapkan diri.
“Sementara engkau berada di Hastinapura untuk merundingkan perdamaian, persiapan Kaurawa akan tertunda. Syukur, kalau Pendita bisa kembali dengan penyelesaian yang memuaskan kedua pihak. Itu penyelesaian yang paling mulia! Tetapi, menurutku Duryodhana tidak dapat diharapkan akan mau menyetujui penyelesaian seperti itu. Namun demikian, mengirim utusan merupakan suatu keharusan yang menguntungkan dan mempertinggi martabat kita.”
Sementara Drupada mengirim Pendita Negeri Pancala ke Hastinapura, Pandawa mengirim utusan ke Dwaraka. Arjuna sendiri berangkat untuk menemui Krishna. Dari mata- matanya, Duryodhana tahu bahwa Arjuna hendak menemui Krishna. Karena itu ia tidak tinggal diam. Ia segera memutuskan untuk berangkat ke Dwaraka, dengan kereta kudanya yang paling cepat, untuk menemui Wasudewa. Kebetulan, Duryodhana dan Arjuna sampai di Dwaraka pada saat yang sama. Mereka langsung menemui Krishna. Karena mereka adalah kerabat Krishna, tanpa kesulitan
mereka segera dipersilakan masuk ke istana dan menunggu. Waktu itu Krishna sedang tidur. Dengan sabar mereka menunggu. Duryodhana yang masuk lebih dulu ke kamar tidur Krishna lalu duduk di kursi empuk dekat kepala tempat tidur. Arjuna, yang masuk kemudian, berdiri tegak dengan tangan memegangi kaki tempat tidur. Mereka diam, masing-masing tak berniat mendahului bicara. Setelah lama menunggu, akhirnya Krishna bangun. Begitu Madawa alias Krishna terjaga, matanya langsung melihat Arjuna, yang berdiri memberi hormat. Krishna membalasnya dengan memberi salam hangat dan mengucapkan selamat datang. Kemudian ia menoleh dan memberi salam selamat datang kepada Duryodhana. Kemudian Krishna menanyakan maksud kedatangan mereka. Duryodhana yang pertama bicara, “Agaknya, perang akan pecah di antara kita. Kalau ini tidak bisa dihindari dan memang harus terjadi, engkau harus membantu aku. Arjuna dan aku sama-sama kaukasihi. Kami berdua adalah keluarga dekatmu. Engkau tidak dapat mengatakan salah satu di antara kami lebih dekat denganmu. Tidak mungkin! Aku lebih dulu sampai di sini daripada Arjuna. Sesuai tradisi dan kesopanan, yang datang lebih dulu harus diberi pilihan pertama. Janardana, engkaulah yang termulia di antara orang-orang mulia. Menjadi tugasmulah untuk memberi contoh mulia bagi orang-orang lain. Bertindaklah tegas sesuai dengan kedudukanmu, tradisi, kesopanan, dan dharma! Akulah yang lebih dulu masuk ke kamar ini.”
Purushottama alias Krishna menjawab, “Wahai putra
Dritarastra, boleh jadi engkau tiba lebih dulu, tetapi yang pertama kulihat ketika terjaga dari tidurku adalah putra Dewi Kunti. Memang engkau datang lebih dulu, tetapi Arjuna yang lebih dulu kulihat. Namun demikian, tuntutan kalian berdua adalah sama bagiku dan aku harus memberikan bantuan kepada kalian. Dalam menjatuhkan pilihan, menurut tradisi kesempatan sebaiknya diberikan kepada yang lebih muda. Karena itu, aku akan memberikan kesempatan pertama kepada Arjuna.
“Aku berasal dari bangsa Narayana yang tak mudah ditaklukkan. Menurut kami, dalam hal kekuatan ragawi, mereka semua dan seluruhnya sama dengan aku yang seorang diri. Karena itu, dalam membagi bantuan ini, mereka merupakan satu bagian dan aku merupakan bagian lain yang tersendiri. Dalam pertempuran nanti, aku tidak akan menggunakan senjata dan tidak akan ikut ber- tempur. Aku takkan melepaskan anak panahku atau menggunakan senjata apa pun.”
Sesaat kemudian, sambil memandang Arjuna, ia berkata, “Wahai Partha, pikirkan masak-masak. Apakah engkau menghendaki aku yang sendirian tanpa senjata atau seluruh balatentara Narayana yang gagah perkasa? Gunakan hak untuk lebih dulu memilih yang oleh tradisi diberikan kepadamu sebagai orang yang lebih muda.”
Tanpa berpikir lama dan tanpa ragu, Arjuna menjawab,
“Aku akan lega jika engkau ada di pihak kami, walaupun tanpa senjata.”
Duryodhana tidak dapat menahan kegembiraannya. Dia menganggap pilihan Arjuna bodoh. Dengan senang hati ia memilih balatentara Wasudewa. Dengan kegembiraan yang meluap-luap ia pergi menemui Balarama, kakak Krishna. Kepada pangeran itu ia menceritakan apa yang telah diperolehnya dari Wasudewa dan mengatakan bahwa ia mengharapkan bantuan yang sama.
Balarama berkata kepada Duryodhana, “Wahai Duryodhana, mereka pasti sudah menyampaikan kepadamu apa yang kukatakan dalam perjamuan agung perkawinan putri Wirata dan dalam pertemuan para penasihat agung di ibukota Negeri Matsya. Aku ungkapkan semua masalah ini dan sedapatku aku membela kalian. Aku sering mengatakan pada Krishna bahwa kita punya hubungan sama dengan Kaurawa dan Pandawa. Tetapi kata-kataku tidak berhasil meyakinkan dia. Aku tak berdaya. Tidak mungkin bagiku memihak seseorang atau sesuatu yang bertentangan dengan Krishna. Aku tidak akan membantu Partha dan tidak akan mendukungmu melawan Krishna.
“Duryodhana, engkau adalah keturunan dan ahli waris suatu bangsa kesatria yang perwira dan disegani semua orang di seluruh muka bumi. Seandainya perang harus terjadi, bertindaklah sesuai dengan watak seorang kesatria.”
Setelah menerima doa restu dari Balarama, Duryodhana kembali ke Hastinapura dengan semangat tinggi. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Arjuna telah membodohi dirinya sendiri. Balatentara Dwaraka yang terkenal perkasa akan bertempur di pihakku. Balarama telah memberikan restunya kepadaku. Sementara Krishna telah berjanji takkan ikut berperang atau menggunakan senjata. Ah, rupa-rupanya Arjuna sudah gila.”
Setelah Duryodhana pergi, Krishna bertanya kepada Arjuna, “Dhananjaya, kenapa engkau memilih aku yang sendirian tanpa senjata, tanpa pasukan, dan membiarkan balatentara Dwaraka bertempur di pihak Duryodhana?”
Arjuna menjawab, “Keinginanku adalah mencapai kebesaran seperti keagunganmu. Engkau memiliki kekuatan dan kesaktian untuk menghadapi semua kesatria di bumi ini. Kelak, aku ingin agar aku juga bisa. Sebab itu, aku ingin memenangkan semua pertempuran dengan engkau sebagai sais keretaku yang tidak memegang senjata. Kesempatan seperti itu sudah kuimpi-impikan sejak dulu. Kini engkau memenuhi impianku dan berada di pihak kami. Alangkah bahagianya hatiku.”
Sambil tersenyum Krishna berkata, “O, jadi engkau hendak bertempur dengan aku sebagai sais keretamu? Baiklah, semoga engkau berhasil. Terimalah restuku.”
Berbeda dengan Krishna, Balarama yang termasyhur sebagai kesatria besar pergi mengunjungi Pandawa untuk menyatakan ketetapan hatinya mengenai perselisihan antara Kaurawa dan Pandawa. Ia mengenakan pakaian kebesaran berwarna biru. Yudhistira, Krishna dan para Pandawa menyambutnya dengan hangat. Balarama yang tampak perkasa dengan bahu lebar dan dada bidang itu memberi hormat kepada Drupada dan Wirata, kemudian duduk di samping Dharmaputra.
Setelah cukup berbasa-basi, Balarama menyatakan isi
hatinya kepada Dharmaputra.
“Aku datang kemari”, katanya memulai, “setelah mendengar bahwa keturunan bangsa Bharata telah membiarkan diri mereka diseret oleh rasa loba, angkara murka dan kebencian. Aku juga telah mendengar tentang gagalnya usaha merundingkan perdamaian. Aku mendengar bahwa akhirnya perang akan diumumkan.”
Ia berhenti sesaat, sebab dadanya sesak oleh perasaan
sedih dan kecewa terhadap keadaan yang membuat perang saudara tak terhindarkan. Kemudian ia meneruskan ucapannya, kali ini ditujukan kepada Yudhistira, “Dharmaputra, kemusnahan yang mengerikan akan terjadi. Tanah akan dibanjiri darah, mayat manusia akan bergelimpangan. Ini adalah perbuatan setan yang membuat para kesatria menjadi gila harta dan haus perang. Dengarlah, perang hanya akan membuahkan kehancuran.
“Sering kukatakan kepada Krishna bahwa Duryodhana
dan Pandawa bagi kami adalah sama. Kami tidak boleh memihak salah satu dari mereka jika mereka bertikai. Tetapi Krishna tidak mau mendengarkan. Rasa sayangnya kepada Dhananjaya sangat besar dan itu membuatnya tak mampu bertindak adil. Dalam perang nanti, aku tahu Krishna telah memutuskan untuk berada di pihakmu. Bagaimana aku bisa berhadapan dengan Krishna, adikku sendiri, di pihak yang berlawanan?
“Duryodhana dan Bhima pernah menjadi muridku. Aku menyayangi dan menghormati mereka, tanpa membeda- bedakan atau berat sebelah. Bagaimana mungkin aku membantu yang satu dan melawan yang lain? Aku tidak ingin melihat salah satu dari kalian musnah dalam peperangan nanti. Karena itu, aku tidak akan turut campur dalam peperangan yang akan memusnahkan segalanya. Keputusan yang menyedihkan ini membuatku tak percaya lagi pada dunia ini. Aku akan pergi bertapa, mengasingkan diri dan berziarah ke tempat-tempat suci.”
Setelah berkata demikian, Balarama pergi. Ia sedih dan muak terhadap keburukan dan kejahatan di dunia. Ia bingung menghadapi kenyataan pahit itu. Begitulah, di dunia ini sesungguhnya banyak orang baik dan jujur yang tidak mampu menentukan pilihan dalam keadaan seperti itu. Apa pun yang dipilih, serba salah dan terlalu berat untuk dihadapi. Sebagai pribadi, mereka merana, putus asa, dan terjerumus dalam dilema yang dapat mematikan semangat, cita-cita, dan gairah hidup.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment