Tuesday, March 7, 2017

MAHABRATA 32 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
32. Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan (lanjutan..)
Dari arah selatan, Raja Wirata diiringkan balatentaranya kembali ke ibu kota setelah mengalahkan Raja Susarma dari Negeri Trigata. Rakyat mengelu-elukannya. Tetapi, sesampainya di istana, Wirata tak menemukan Uttara. Permaisuri dan para putri memberi tahu bahwa Uttara pergi ke utara menggempur Kaurawa yang menduduki sebagian wilayah Kerajaan Matsya. Mereka berharap semoga Uttara dapat menaklukkan musuhnya. Setelah tahu bahwa putranya hanya ditemani oleh Brihannala, guru tari yang banci, Raja Wirata pasrah. Ia yakin, putranya pasti kalah dan terbunuh dalam pertempuran.
“Anakku tercinta sekarang pasti sudah tewas,” katanya sedih. Ia lalu memerintahkan menterinya untuk mengirimkan pasukan terkuat ke utara guna membantu Putra Mahkota Uttara. Jika pangeran itu masih hidup, pasukan itu harus membawanya pulang. Pasukan rahasia dan pencari jejak dikirim ke segala penjuru untuk mengetahui ke mana Uttara pergi dan bagaimana nasibnya. Kangka mencoba menghibur Wirata dengan mengata- kan bahwa Putra Mahkota pasti selamat dan dapat memenangkan pertempuran karena ia didampingi Brihannala sebagai sais kereta.
“Kekalahan Susarma di selatan pasti sudah diketahui Kaurawa. Mereka pasti gentar dan memilih mundur,” kata Kangka hati-hati. Sementara itu, utusan Uttara tiba, mengabarkan berita kemenangan. Ternak dan harta benda yang dirampas sudah kembali ke tangan rakyat. Wirata tak percaya. Menurutnya, berita itu terlalu dibesar-besarkan. Kangka terus berusaha meyakinkan Wirata bahwa berita itu memang benar. Bagi Wirata, kemenangan putranya merupakan suatu keajaiban. Karena gembiranya, ia berikan hadiah besar kepada pembawa berita itu. Kemudian ia memerintahkan para menteri, pimpinan pasukan dan seluruh penduduk ibu kota untuk menyambut kembalinya Putra Mahkota Uttara dari medan perang. Berkatalah Wirata, “Kemenanganku melawan Susarma tidak berarti apa-apa. Kemenangan yang sebenarnya adalah kemenangan Putra Mahkota. Siapkan upacara kemenangan dan persembahyangan syukur di seluruh negeri. Pasang umbul-umbul aneka warna dan hiasi jalan-jalan agar semarak. Kerahkan penduduk untuk mengadakan arak-arakan gamelan, genderang, dan tetabuhan. Siapkan upacara penyambutan paling meriah untuk Putra Mahkota yang berhati singa!”
Setelah memberi perintah, Wirata pergi ke beranda untuk berstirahat. Ia memanggil Sairandri dan Kangka. Mereka disuruhnya mempersiapkan permainan dadu. Sambil bermain dadu, Wirata berkata, “Aku sangat baha- gia. Lihatlah, betapa perkasanya anakku Uttara! Ia telah menaklukkan kesatria-kesatria Kaurawa.”
“Benar demikian. Putra Mahkota Uttara beruntung didampingi sais kereta seperti Brihannala yang tangkas dan tahu bagaimana mengemudikan kereta perang.” Wirata merasa tersindir dan tidak suka mendengar
kata-kata Kangka. Ia marah dan berkata lantang, “Kenapa engkau berulang-ulang menyebut nama si banci, padahal aku sedang bahagia karena putraku memenangkan pertempuran? Bukankah sudah sepantasnya aku memuji putraku yang gagah perkasa? Kenapa engkau justru menekankan ketangkasan si banci sebagai sais kereta?”
“Aku tahu Brihannala bukan orang biasa. Kereta yang dikemudikannya pasti takkan salah arah dan ia pasti pantang menyerah. Brihannala selalu yakin akan bisa memetik kemenangan gemilang siapa pun musuhnya,” jawab Kangka tenang. Wirata tidak dapat menahan amarahnya. Ia menganggap kata-kata Kangka sebagai penghinaan terhadap anak dan dirinya sendiri. Ia naik pitam. Dilemparkannya dadu ke wajah Kangga, melukai pipinya hingga berdarah. Sairandri, yang kebetulan lewat, melihat darah di pipi Kangka. Dengan cepat disekanya wajah Kangka dengan sari-nya. Darah Kangka yang titik ditampungnya dalam cawan emas.
Melihat itu Wirata semakin marah. Apalagi karena Sairandri melakukannya di hadapannya, penguasa tertinggi Negeri Matsya. Wirata menghardik, “Kurang ajar! Kenapa engkau menadahi darah Kangka dengan cawan emas?” “Tuanku Raja, darah seorang sanyasin tidak boleh jatuh
ke bumi,” jawab Sairandri tenang. “Kalau sampai darahnya menetes ke bumi, hujan tidak akan turun di negeri ini selama beberapa tahun, tanah akan retak kekeringan dan rakyat akan mati kelaparan. Karena itu, darahnya kutampung dalam cawan emas. Aku khawatir, Tuanku Raja belum mengenal kebesaran Kangka,” Sairandri menambahkan. Sementara percakapan itu berlangsung, seorang pengawal mengabarkan kedatangan Uttara, diiringkan Brihannala, yang ingin segera menghadap Baginda Raja.
“Persilakan mereka menghadapku,” kata Wirata kepada pengawal itu.
Kesempatan itu dipergunakan Kangka untuk membisiki si pengawal agar Uttara datang menghadap sendirian, jangan sampai Brihannala ikut. Kangka berbuat demikian karena Raja sedang marah. Ia tahu, Brihannala alias Arju- na pasti marah jika melihat pipi Kangka alias Yudhistira berdarah karena dia sangat menyayangi saudaranya. Uttara masuk dan menyembah Raja Wirata. Waktu menoleh ke arah Kangka, hendak mengucapkan salam hormat, ia terkejut melihat darah kering di wajah lelaki itu. Sekarang Uttara sadar, Kangka tiada lain adalah Yudhistira yang agung.
“Tuanku Raja, siapa yang telah melukai dia, Yang Agung?” Uttara bertanya dengan cemas. Wirata memandang putranya, lalu berkata, “Kenapa? Aku melempar mukanya dengan dadu karena kelancangan dan kesombongannya. Waktu aku sedang senang dan bangga karena kemenanganmu, dia justru memperkecil arti kemenanganmu. Setiap kali aku memuji kesaktian dan keperkasaanmu, ia justru menyebut-nyebut kemahiran si banci. Aku memang telah melukainya, kuakui itu; tapi hal ini tak usah kita bicarakan lagi. Ceritakanlah bagaimana engkau bertempur sampai menang.” Uttara merasa takut. Ia berkata, “Ya, Dewata, Ayah telah berbuat kesalahan besar. Berlututlah di hadapannya, sekarang juga, Ayah. Mintalah maaf. Kalau tidak, kita akan musnah dari akar sampai ke daun.”
Wirata tidak mengerti maksud anaknya. Ia hanya duduk diam kebingungan. Tanpa menunggu lagi, Uttara segera berlutut di depan Yudhistira dan meminta maaf yang sebesar-besarnya. Melihat itu, Wirata memeluk anaknya dan berkata, “Anakku, engkau benar-benar seorang kesatria! Aku tak sabar lagi menunggu ceritamu. Bagaimana engkau menak- lukkan balatentara Kaurawa? Bagaimana engkau merebut kembali ternak dan harta benda kita?”
Sambil menundukkan kepala karena sangat malu, Uttara berkata, “Bukan aku yang menaklukkan musuh. Bukan aku yang mengambil ternak itu kembali. Semua itu dilakukan oleh seorang Putra Mahkota yang sangat sakti dan perkasa. Dia yang memukul mundur pasukan Kaurawa dan merebut kembali semua ternak dan kekayaan kita. Aku tidak berbuat apa-apa.”
Wirata tidak percaya akan apa yang didengarnya. Ia bertanya lagi, “Di manakah Putra Mahkota itu sekarang? Aku harus berterima kasih kepadanya karena ia telah menolong engkau dan mengusir musuh. Akan kuberikan anakku, Dewi Uttari untuk dipersunting. Panggillah Uttari sekarang juga.”
“Dia telah pergi. Mungkin besok atau lusa dia akan datang kemari,” jawab Uttara.
***
Atas perintah Wirata, balairung dan ruang-ruang persidangan besar di ibu kota Negeri Matsya dihiasi sangat megah untuk merayakan kemenangan Raja dan Putra Mahkota. Undangan dikirimkan kepada raja-raja sahabat, tamu- tamu agung, dan orang-orang penting lainnya. Pesta besar akan dilangsungkan di ibu kota Negeri Matsya. Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, Brihannala si guru tari, Dharmagranti si tukang kuda, dan Tantripala si penggembala, hadir di pesta. Sebenarnya mereka tidak diundang, karena yang diundang hanya tamu-tamu agung dan orang-orang penting. Dalam pesta itu juga tampak Sairandri, pelayan permaisuri. Hadirin berbisik-bisik, membicarakan kehadiran mereka. Ada yang berkata bahwa mereka pantas diundang karena jasa mereka dalam peperangan yang baru lalu. Ada yang menyesalkan, kenapa orang- orang seperti mereka diperbolehkan hadir dalam perjamuan besar itu. “Bukankah mereka hanya sanyasin, juru masak, guru tari, tukang kuda, gembala, dan pelayan?”
Ketika masuk ke dalam ruangan, Wirata melihat Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, dan yang lain duduk berjajar bersama para tamu. Raja sangat marah dan dengan kata-kata kasar menghina mereka. Karena sikap Wirata yang keterlaluan, maka tanpa ragu Pandawa menyatakan siapa diri mereka sebenarnya. Penyamaran telah dibuka. Para tamu bersorak sorai dan menyambut mereka dengan tepuk tangan meriah. Wirata sungguh tidak menyangka bahwa orang-orang yang selama ini telah bekerja keras mengabdi kepadanya tiada lain adalah Pandawa. Wirata segera meminta maaf dan di hadapan para tamu, ia memeluk Kangka. Kemudian, secara resmi ia mengumumkan bahwa ia menyerahkan Negeri Matsya kepada Pandawa karena jasa-jasa mereka. Wirata juga menyerahkan putrinya, Dewi Uttari, kepada Arjuna untuk diperistri. Pandawa mengucapkan terima kasih kepada Raja Wirata dan rakyat Negeri Matsya yang telah melindungi dan membantu mereka dalam keadaan sangat sulit selama satu tahun. Pandawa menerima penyerahan Negeri Matsya secara simbolik dan saat itu juga menyerahkannya kembali kepada Raja Wirata. Kemudian semua yang hadir mempersembahkan doa syukur bagi kemakmuran dan kesejahteraan Raja dan rakyat Negeri Matsya. Arjuna menyela, “Tidak, ini tidak pantas karena Dewi Uttari belajar musik dan tari dari aku. Aku adalah gurunya dan aku lebih pantas menjadi ayahnya. Jika tidak ada yang berkeberatan, aku usulkan agar ia dinikahkan dengan putraku, Abhimanyu.”
Sementara semua orang sedang berpesta, datang utusan Duryodhana membawa pesan khusus untuk Yudhistira. Setelah diperkenankan menghadap, utusan itu berkata, “Wahai Putra Dewi Kunti, Duryodhana sangat menyayangkan tindakan Dananjaya yang ceroboh. Dananjaya membiarkan dirinya dikenali orang sebelum tahun ketiga belas habis. Engkau harus kembali ke hutan lagi. Sesuai sumpahmu, engkau harus mengembara dua belas tahun lagi di dalam hutan.” Dharmaputra tersenyum dan berkata, “Utusan yang terhormat, kembalilah segera kepada Duryodhana dan katakan kepadanya bahwa aku menyuruhnya bertanya kepada para tetua yang bijak dan cendekia tentang cara menghitung waktu. Kakek Bhisma yang kita muliakan dan para mahaguru lainnya pasti tahu peredaran bintang di langit. Mereka pasti akan menegaskan bahwa tiga belas tahun penuh telah kami lewatkan tepat sehari sebelum Kaurawa mendengar desing Gandiwa dan deru Dewadatta milik Dananjaya yang membuat kalian lari tunggang langgang.”
Bersambung....

Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment