Wednesday, March 29, 2017

MAHABHARATA 48 bagian 2

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
48. Abhimanyu Gugur II
Berita kematian Abhimanyu sampai ke telinga Yudhistira. Alangkah sedih hatinya menerima berita itu, lebih-lebih ketika ia tahu bahwa kemenakannya itu gugur karena diperlakukan secara teramat kejam. Penyesalannya semakin memuncak karena dialah yang menyuruh Abhimanyu menggantikan ayahnya.
“Abhimanyu telah tiada. Dalam pertempuran ia dapat mengalahkan Drona, Aswatthama, Duryodhana dan lainnya. Serangannya bagaikan api yang berkobar membakar hutan kering.
“Oh, kesatria muda, engkau yang membuat Duhsasana lari seperti pengecut kini telah tiada. Apa gunanya aku berperang? Menang pun takkan membuatku senang. Apa gunanya aku menginginkan kerajaan? Kata-kata apakah yang bisa kusampaikan kepada ayahmu untuk mengabarkan kematianmu? Apa pula yang harus kukatakan kepada Dewi Subadra? Dia pasti akan sedih, seperti induk lembu kehilangan anaknya. Bagaimana aku dapat mengucapkan kata-kata penghiburan untuk menghapus duka mereka?
“Benarlah nafsu serakah dapat menghancurkan iktikad baik manusia. Seperti si pandir hendak mencari madu dan jatuh ke dalam jurang. Aku memimpikan kemenangan dengan menyuruh kemenakanku maju ke medan pertempuran. Padahal, masa depan terbentang luas baginya. Tak ada orang setolol aku di dunia ini. Aku telah menyebabkan terbunuhnya putra kesayangan Arjuna, yang semestinya aku lindungi selama ayahnya tidak ada.” Demikian Dharmaputra berucap sambil berurai air mata. Ia dikelilingi para penasihat dan sahabatnya yang tunduk terdiam diliputi rasa duka.
Dalam situasi demikian, datang Bagawan Wyasa. Kedatangannya sungguh sangat diharapkan. Setelah mempersilakan resi agung itu duduk, Yudhistira mengungkapkan perasaannya, “Bapa Resi yang kuhormati, aku telah berusaha keras untuk memperoleh ketenangan jiwa, tetapi aku tidak sanggup mencapainya.”
“Engkau orang bijaksana. Sebenarnya engkau tahu cara
memperolehnya. Tidak pantas engkau biarkan dirimu dirundung duka terus-menerus. Engkau tahu apa artinya kematian.
“Dengar, ketika Brahma menciptakan makhluk hidup, Dia diliputi rasa cemas. Jiwa makhluk ini berkembang dengan pesat dan pada suatu ketika jumlah mereka menjadi terlalu banyak untuk dipikul dunia ini. Agaknya tidak ada jalan lain untuk mengatasi kesulitan ini. Pikiran Brahma yang diliputi rasa cemas menjelma menjadi nyala api, makin lama makin besar, menjadi api raksasa yang memusnahkan segala makhluk ciptaanNya. Tetapi syukurlah, Rudra segera datang dan memohon kepada Brahma agar menenangkan api yang membawa kemusnahan itu. Brahma memperhatikan permohonan Rudra, lalu mengendalikan api yang mengerikan itu dan menggantinya dengan suatu hukum yang kemudian dikenal sebagai “kematian”. Hukum Brahma, Pencipta Alam Semesta, dijelmakan olehNya dalam berbagai bentuk, misalnya perang, wabah, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya, demi menjaga keseimbangan antara kelahiran dan kematian. Kematian adalah hukum yang tidak bisa dihindari dan merupakan bagian dari hidup. Keduanya harus berimbang, seperti dititahkan demi kebaikan dunia.
“Tak pantaslah bersedih hati berlebihan, menangisi mereka yang sudah mati. Tidak ada alasan untuk menyayangkan mereka yang berpulang ke rahmat Hyang Tunggal. Ada lebih banyak alasan untuk bersedih bagi mereka yang masih hidup.” Demikian Bagawan Wyasa dengan penuh kasih seorang resi yang agung menenangkan hati dan pikiran Yudhistira.
Sementara itu, Arjuna dan Krishna sedang dalam perjalanan kembali dari pertempuran di selatan.
Arjuna berkata, “Krishna, aku tidak tahu kenapa pikiranku kacau. Mulutku terasa kering dan hatiku berdebardebar. Aku merasa sesuatu yang buruk telah terjadi. Aku mencemaskan keselamatan Yudhistira,” kata Arjuna memecah kesunyian.
“Janganlah engkau risaukan keselamatan Yudhistira. Dia dan saudara-saudaramu pasti selamat,” jawab Krishna.
Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk melakukan puja sandikala, berdoa di saat pergantian siang menjadi malam. Kemudian meneruskan perjalanan mereka. Setelah dekat ke perkemahan, mereka turun dari kereta lalu berjalan kaki. Arjuna semakin gundah. Lebih-lebih karena ia tidak mendengar bunyi alat musik ditabuh dan suara orang menyanyi.
“Janardana, kenapa kita tidak mendengar bunyi alat musik dan suara orang-orang menyanyi seperti biasa? Lihat, lihat ... para prajurit itu menundukkan kepala. Mengapa mereka menyambut kedatangan kita dengan cara seperti itu? Ini aneh sekali.
“Wahai Krishna, aku cemas. Apakah engkau masih berpikir saudara-saudaraku semua selamat? Aku bingung. Abhimanyu dan anak-anakku yang lain tidak menyambutku seperti biasa,” kata Arjuna makin cemas.
Ketika masuk ke dalam kemah Yudhistira, mereka melihat wajah-wajah tertunduk muram. Arjuna tidak dapat lagi menahan diri untuk tidak bertanya. Katanya, “Kenapa kalian semua berwajah muram? Aku tidak melihat Abhimanyu. Kenapa aku tidak melihat wajah-wajah riang menyambut kemenanganku? Aku dengar Drona menyerang kita dengan pasukan yang ditata dalam formasi kembang teratai. Tidak seorang pun di antara kalian yang dapat menembus formasi seperti itu. Apakah Abhimanyu memaksa diri untuk maju ke depan? Kalau begitu, ia pasti tewas, sebab aku belum pernah mengajarkan padanya bagaimana caranya keluar dari formasi seperti itu. Oh, ia pasti tewas terbunuh!”
Karena mereka tidak ada yang menjawab dan semua semakin tunduk tak berani menatap matanya, maka yakinlah Arjuna bahwa Abhimanyu telah tewas. Hatinya serasa dihantam godam, remuk redam. Air matanya bercucuran. Dengan terputus-putus ia berkata, “Ya Hyang Widhi, anakku tercinta telah menjadi tamu Batara Yama. Yudhistira, Bhimasena, Dristadyumna dan Satyaki, apakah kalian biarkan anak Subadra tewas di tangan musuh? Ya Hyang Tunggal, apa yang harus kukatakan kepada Subadra untuk menghibur hatinya? Apa yang harus kukatakan kepada Draupadi? Apa yang harus kusampaikan kepada Uttari untuk menghibur hatinya? Siapakah yang sanggup menyampaikan kabar ini kepada mereka?”
“Arjuna yang kucintai,” kata Krishna dengan penuh iba. “Jangan biarkan hatimu lama berduka. Terlahir sebagai kesatria, pantaslah kita mati di ujung senjata. Kematian adalah teman bagi kita yang telah bertekad mengangkat senjata dan pergi berperang. Dengan penuh keyakinan, kita takkan mundur setapak pun. Kesatria sejati harus bersedia mati muda!
“Abhimanyu, sebagai kesatria muda, telah mencapai tempat yang layak di hadapan Hyang Tunggal. Ia telah mencapai apa yang selalu diidam-idamkan para kesatria tua di medan perang: gugur sebagai pahlawan. Dan memang demikianlah kematian yang layak baginya, seperti tertulis dalam kitab-kitab suci.
“Kalau kaubiarkan hatimu terus berduka berlebihan,
saudara-saudara dan sekutu-sekutumu akan ikut sedih. Mereka bisa patah semangat dan kehilangan pegangan. Singkirkan dukamu dan coba tanamkan kepercayaan dan keberanian lagi di hati mereka.”
Arjuna yang masih berduka hanya ingin mendengarkan kisah kematian anaknya. Akhirnya Yudhistira menceritakan peristiwa itu, mulai dari saat Abhimanyu menerima perintahnya untuk menembus formasi pasukan Kaurawa hingga gugurnya kesatria muda itu karena dikeroyok oleh musuh dan diperlakukan dengan kekejaman di luar batas.
“Memang aku yang menyuruhnya maju menembus formasi pasukan musuh. Kami berharap bisa menyusulnya dari belakang. Aku yakin, kecuali kau, hanya Abhimanyu, dialah satu-satunya yang bisa melakukannya. Ia memang berhasil menembus formasi pasukan musuh dan kami menyusulnya seperti rencana semula. Tetapi tiba-tiba Jayadrata dan ribuan pasukannya datang. Mereka menutup jalan yang sudah dibuka oleh Abhimanyu. Kami gugup, tak siap, dan kalah dalam jumlah. Sungguh memalukan, kami tidak bisa menolong Abhimanyu hingga putramu itu tewas dibunuh secara keji.”
Setelah mendengar kisah kematian anaknya, Arjuna bersumpah, “Besok, sebelum matahari terbenam, aku akan bunuh Jayadrata yang menyebabkan kematian anakku. Jika Drona dan Kripa menghalangiku, akan kubunuh kedua Mahaguru itu.”
Setelah mengucapkan sumpahnya, Arjuna melepaskan anak panah Gandiwa. Segera setelah itu, Krishna meniup trompet kerang Panchajaya dan Bhimasena berkata, “Lepasnya anak panah dari Gandiwa Arjuna dan tiupan trompet Panchajaya Krishna berarti kematian bagi semua anak Dritarastra.”
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment