Friday, March 3, 2017

MAHABRATA 31 bagian 1




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
31. Hidup dalam Penyamaran 1
Wahai Brahmana yang budiman, tahun ketiga belas masa pengasingan kami telah tiba. Kini tiba waktunya untuk berpisah. Selama dua belas bulan mendatang kami harus hidup tanpa diketahui dan dikenali oleh mata- mata Duryodhana. Kami tidak tahu, kapan kita bisa bertemu lagi tanpa sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan bebas dan damai. Sekarang, sebelum berpisah, kami mohon restumu. Doakan kami, semoga kami terhindar dari pengkhianatan orang-orang pengecut yang menginginkan hadiah dari Duryodhana,” kata Yudhistira kepada Resi Dhaumya yang setia menyertai Pandawa dalam pengasingan. Pangeran itu tak dapat menahan rasa harunya. Suaranya bergetar dan wajahnya sedih.Resi Dhaumya menghibur, “Berpisah memang berat. Bahaya dan malapetaka akan bertambah banyak dan bertambah besar. Tetapi, engkau orang yang bijaksana dan terlatih, tak dapat digoyahkan atau digertak musuh. Menyamarlah! Setelah dikalahkan raksasa, Batara Indra hidup menyamar sebagai brahmana dan tinggal di Negeri Nishada tanpa diketahui atau dikenali oleh siapa pun. Setelah menjalani penyamaran dengan baik, Batara Indra dikaruniai kemampuan untuk menghancurkan musuh- musuhnya. Demikian pula Batara Wishnu yang menyamar menjadi bayi Aditi untuk merampas kembali kerajaannya dari Maharaja Bali. Batara Narayana menyamar masuk ke dalam senjata Indra untuk menghancurkan Writa, raja raksasa yang kejam. Batara Wishnu pernah menyamar menjadi anak Dasaratha agar dapat memusnahkan Rahwana. “Demikianlah, banyak dewa dan kesatria agung di jaman dulu yang menyamar demi tujuan yang baik dan luhur. Engkau pun hendaknya demikian, menyamar, menghancurkan musuh-musuhmu dan memenangkan kemakmuran bagi saudara-saudara dan rakyatmu.”
Akhirnya Yudhistira berpisah dengan Resi Dhaumya. Semua pengikut Pandawa diminta kembali ke negeri masing-masing. Kemudian ia mengumpulkan saudara-saudaranya di suatu tempat tersembunyi untuk membicarakan langkah-langkah yang akan mereka tempuh. Pertemuan itu sangat rahasia, sebab jika sampai ketahuan oleh Kaurawa, mereka harus menjalani pengasingan selama dua belas tahun lagi. Yudhistira berkata kepada Arjuna, “Dua belas tahun sudah kita jalani dengan selamat. Di tahun ketiga belas ini, kita harus hidup menyamar. Di antara kita, engkau yang punya pengalaman paling banyak dan engkau pula yang mengetahui keadaan dunia. Menurut pendapatmu, negeri manakah yang paling cocok untuk tempat tinggal kita?”
“Kakanda Raja, engkau telah direstui Batara Yama. Menurutku, tak sulit bagi kita untuk mencari tempat persembunyian. Banyak negeri yang baik untuk tempat bersembunyi, misalnya Panchala, Matsya, Salwa, Wideha, Bhalika, Dashrana, Surasena, Kalingga dan Magadha. Terserah padamu, mana yang akan dipilih. Tetapi, jika kau minta pendapatku, Matsya, negeri Raja Wirata, adalah pilihanku,” jawab Arjuna.
“Wirata adalah raja yang berpendirian kuat dan bersimpati kepada kita. Ia berpandangan luas, ahli tata kerajaan, taat kepada dharma dan selalu melaksanakan kebajikan dalam perbuatan nyata. Ia tidak akan dapat dipengaruhi atau ditakut-takuti dengan gertakan Duryodhana. Ya, aku setuju kita hidup menyamar di negeri itu,” Yudhistira menanggapi.
“Jika demikian, pekerjaan apakah yang akan engkau pilih dalam penyamaran ini?” tanya Arjuna.
Yudhistira tampak sedih karena kini ia harus bekerja untuk orang lain. Katanya, “Aku akan memohon kepada Raja Wirata untuk menjadi pelayan pribadinya. Aku bersedia menjadi temannya bercakap-cakap, misalnya ketika ia punya waktu senggang. Aku akan menyamar sebagai sanyasin dan menghiburnya dengan membacakan ramalan, membicarakan wasiat, membacakan tafsir Weda dan Wedanga, atau menemaninya mendalami falsafah, budi pekerti, ilmu tata kerajaan dan hal-hal lain. Tentu aku harus hati-hati, tetapi jangan kuatirkan diriku. Dalam suatu kesempatan akan kuceritakan kepadanya bahwa aku kenal Yudhistira dan pernah belajar banyak darinya sewaktu mendapat kesempatan melayaninya.
“Hai, Bhima, pekerjaan apakah yang akan kaucari di negeri Raja Wirata? Carilah pekerjaan yang seimbang dengan kekuatanmu. Kau telah membunuh naga Antaboga dan Nawatnawa, memusnahkan Rukmukha, Rukmakhala, Bakasura, Hidimba dan Jatasura—semua raksasa perkasa yang kejam. Engkau begitu hebat dan mudah dikenali. Bagaimana engkau bisa menyamar untuk menyembunyikan badanmu yang begitu besar?” kata Yudhistira dengan murung dan tak dapat menahan air matanya.
Bhima menjawab tanpa ragu dan dengan wajah berseriseri, “Aku akan menyamar menjadi juru masak di istana. Kalian tahu, aku doyan makan dan pandai memasak. Aku terampil memasak untuk orang banyak, misalnya untuk pesta-pesta. Aku bisa mencari kayu api dan kuat memikulnya sendiri dari hutan. Jika ada acara adu kekuatan otot, aku akan ikut bertarung. Kemenangan pasti ada di tangan wakil Negeri Matsya dan Raja Wirata pasti akan senang.”
Meskipun Bhima menjawab dengan riang dan mantap, Yudhistira tetap kuatir. Jangan-jangan, jika Bhimasena ikut adu kekuatan otot, lawannya akan mati dia banting. Jika itu terjadi, penyamaran mereka bisa terbongkar. Mengetahui kekhawatiran Yudhistira, Bhima berjanji akan berhati-hati jika ikut adu kekuatan otot.
“Aku juga bisa menolong rakyat yang hidup di pinggir hutan jika mereka diserang binatang buas,” sambung Bhima.
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Arjuna, “Pekerjaan apa yang hendak kauambil, hai kesatria sakti?”
“Kakanda yang kuhormati, aku akan menyamar menjadi perempuan pelayan dan guru tari. Bekas-bekas tali busur di tanganku akan kututupi dengan baju wanita lengan panjang. Dulu waktu aku menolak tawaran asmara Urwasi dengan alasan dia kuanggap sebagai ibuku, ia mengutuk pastu aku menjadi banci. Untunglah, berkat restu Batara Indra dan karena kutuk-pastu itu, kapan saja aku mau, aku bisa bertingkah laku seperti perempuan. Aku akan mengenakan gelang, kalung, dan anting-anting. Aku akan merias wajahku seperti perempuan. Selain mengajar menari, aku juga akan mengajar menyanyi,” jawab Arjuna.
Terbayang oleh Yudhistira, betapa merosotnya keadaan mereka sekarang. Padahal, mereka adalah keturunan Bharata yang seharusnya tak terkalahkan oleh siapa pun. Keturunan Bharata seharusnya perkasa seperti Gunung Mahameru yang kokoh tinggi menjulang. Tetapi nyatanya, mereka terpaksa hidup di pengasingan dan kini harus menyamar seperti penjahat yang dikejar-kejar. Kemudian Yudhistira bertanya kepada Sahadewa, “Eng- kau ahli kitab-kitab suci dan ilmu pendidikan, apa yang akan engkau kerjakan di Negeri Matsya?”
Sahadewa menjawab singkat, “Biarlah Nakula menjadi tukang kuda dan aku menjadi gembala sapi. Aku gemar dan punya pengalaman memelihara ternak.” Memandang Draupadi, Yudhistira tak mampu bertanya.
Ia tertunduk. Ia tak sanggup membayangkan permaisurinya hidup menyamar. Ia malu dan putus asa karena tidak mampu menempatkan Draupadi pada kedudukannya sebagai ratu. Tetapi Draupadi yang bijaksana berkata tanpa ditanya, “Wahai Rajaku, janganlah sedih dan mencemaskan aku. Aku akan menyamar menjadi Sairandri, pelayan permaisuri Raja Wirata. Kalau ditanya, akan kukatakan bahwa aku pernah menjadi juru rias dan pelayan permaisuri di Kerajaan Indraprastha.”
Sesuai nasihat Resi Dhaumya, Pandawa membuat pedoman tentang apa saja yang harus mereka pegang teguh selama dalam penyamaran.
Yudhistira berkata, “Kita harus selalu waspada dan bekerja tanpa banyak cakap; hanya memberi pandangan atau pendapat jika diminta, tidak boleh memaksakan pendapat kita sendiri, dan harus bisa memuji raja di saat-saat yang tepat. Segala sesuatu, sekecil apa pun, hanya boleh dilakukan setelah disetujui raja, karena kita ini ibarat api yang mudah terbakar. Api tidak boleh terlalu dekat dengan raja, tetapi tidak boleh terkesan menjauhi atau menghindarinya. Betapapun besarnya kepercayaan yang diberikan raja, kita harus pandai menjaga diri karena sewaktu-waktu raja bisa memecat kita.
“Sungguh bodoh jika kita terlalu bergantung pada kepercayaan raja. Jangan gegabah jika duduk di dekat raja dan beranggapan bahwa raja sangat senang dan sayang kepada kita. Kita tidak boleh sedih atau kesal jika dimarahi dan tidak boleh terlalu senang atau takabur jika dipuji.
“Kita harus pandai menjaga rahasia. Jangan mau disuap oleh siapa pun. Kita tak boleh iri pada pekerja lain, karena raja mungkin menempatkan orang tolol sebagai orang kepercayaannya dan menggeser orang-orang yang pandai dan berbudi baik. Hal-hal semacam itu tak perlu kita hiraukan. Kita tidak boleh terlalu dekat dengan wanita-wanita yang ada hubungannya dengan raja. Sikap kita terhadap wanita-wanita istana harus samar dan bebas dari segala keruwetan.
“Kita harus bisa bertahan hidup menyamar selama satu tahun. Segala kesulitan akan teratasi dengan kerendahan hati dan kebesaran jiwa.”
Demikian petunjuk yang digariskan Yudhistira untuk dirinya sendiri dan saudara-saudaranya, termasuk untuk Dewi Draupadi.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment