Sunday, March 5, 2017

MAHABRATA 31 bagian 3




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
31. Hidup dalam Penyamaran 3
Sesungguhnya, sejak tahun ketiga belas tiba, Duryodhana telah menyebar mata-matanya ke mana-mana. Mereka berusaha melacak dan memasang perangkap rahasia untuk menangkap Pandawa dalam penyamaran mereka. Enam bulan berlalu... tujuh bulan, delapan bulan, sembilan bulan, sepuluh bulan ... hingga bulan kesebelas mereka terus berusaha, tetapi sia-sia. Para mata-mata itu terpaksa kembali ke Hastinapura dan melaporkan bahwa mereka tidak bisa menemukan jejak Pandawa. Mungkin Pandawa tersesat di rimba raya lalu mati dimakan binatang buas atau mati kelaparan, mereka menyimpulkan. Pada suatu hari, tersiar kabar sampai ke Hastinapura bahwa Kicaka, Mahasenapati Negeri Matsya, tewas dalam perkelahian melawan raksasa... gara-gara seorang perempuan. Semua orang tahu, Kicaka panglima yang gagah perkasa dan hanya ada dua orang yang mungkin bisa menandinginya. Salah satunya adalah Bhima dari Pandawa. Siapa tahu pembunuh Kicaka ternyata adalah Bhima yang dikira raksasa. Duryodhana menebak-nebak, perempuan yang menjadi gara-gara itu pasti Draupadi. Kemudian Duryodhana mengundang raja-raja sahabatnya untuk membicarakan Pandawa yang hidup menyamar di persembunyian.
Dalam pertemuan itu Duryodhana berkata, “Menurutku sekarang Pandawa tinggal di ibukota Negeri Matsya. Kalian tahu, Wirata tidak sudi bersahabat dengan kita. Jadi, baik kalau kita serang negerinya dan kita rampas ternaknya. Jika benar Pandawa ada di sana, mereka pasti akan muncul membantu pasukan Wirata karena merasa berhutang budi. Dengan begitu, mungkin kita bisa membongkar penyamaran Pandawa sebelum tahun ketiga belas habis dan memaksa mereka hidup di pengasingan selama dua belas tahun lagi. Tetapi, seandainya Pandawa tidak ada di sana, tak apa-apa.”
Susarma, raja Negeri Trigata, yang hadir di pertemuan itu menyetujui usul Duryodhana dengan sepenuh hati. Katanya, “Raja Negeri Matsya adalah musuhku. Kicaka, mahasenapati negeri itu, selalu mengganggu dan mengo- brak-abrik kerajaanku dengan sombong. Kematiannya pasti melumpuhkan kekuatan Wirata. Sekarang juga kita serang dia,” katanya.
Karna mendukung usul Susarma. Demikianlah, pertemuan itu menyetujui rencana penyerbuan ke Negeri Matsya.
“Susarma menyerang Wirata dari selatan. Jadi, prajurit
Negeri Matsya pasti akan dikerahkan ke selatan untuk menghadapi balatentara Susarma. Kemudian, jika pertempuran di selatan semakin menghebat, Duryodhana dan pasukan Kaurawa akan melancarkan serangan tiba-tiba dari utara. Wilayah utara pasti kurang dijaga karena perhatian terpusat pada pasukan Matsya yang sedang bertempur di selatan,” demikian kesepakatan mereka.
Demikianlah, Susarma dan balatentaranya menyerang Negeri Matsya dari selatan. Mereka merampas ternak, merusak dan menghancurkan tanaman di sawah dan ladang penduduk. Para gembala dan petani lari tunggang langgang mencari perlindungan. Laporan disampaikan kepada Wirata bahwa wilayah selatan kerajaan telah diduduki balatentara Susarma. Wirata bingung karena Kicaka sudah mati. Jika Kicaka masih hidup, Susarma pasti tak berani menyerang Negeri Matsya.
Mengetahui situasi buruk itu, Kangka, sanyasin, yang sehari-hari melayani Wirata, berkata kepada raja, “Tuanku tak perlu khawatir. Walaupun aku ini pertapa atau sanyasin, sesungguhnya aku juga ahli pertempuran. Aku akan bertempur untuk Tuanku. Aku akan mengendarai kereta bersenjata lengkap dan mengusir musuh-musuh Tuanku. Sudilah Tuanku memerintahkan Walala, juru masak istana, Dharmagranti, si tukang kuda, dan Tantripala, si gembala sapi, untuk membantu menghadapi musuh. Kudengar mereka pernah menjadi kesatria perang. Kalau mereka bisa dikumpulkan dan dipersenjatai, musuh- musuh Tuanku pasti akan hancur.”
Raja Wirata menyetujui usul Kangka dan memerintahkan orang-orang itu dipanggil dan dipersenjatai. Demikianlah, Kangka, Walala, Dharmagranti, dan Tantripala yang tiada lain adalah Yudhistira, Bhima, Nakula dan Sahadewa masuk ke barisan tentara Negeri Matsya untuk bertempur menghadapi pasukan Susarma.
Pertempuran hebat tak terhindarkan. Korban berjatuhan di kedua pihak. Susarma mencari sasarannya, yaitu Wirata. Ia mengepung kereta Wirata, memaksanya turun dan menangkapnya. Balatentara Negeri Matsya mundur, kucar-kacir, dan takut bertempur karena raja mereka ditawan musuh. Tetapi Kangka memerintahkan Walala untuk langsung menggempur Susarma, membebaskan Wirata, dan mengumpulkan kembali balatentaranya.
Mendengar perintah itu, Walala segera bersiap hendak mencabut sebatang pohon besar untuk dijadikan senjata.
Begitulah memang kebiasaan Bhima jika bertempur. Tetapi Kangka melarangnya, “Jangan berbuat demikian! Ingat, kau jangan berteriak-teriak dalam pertempuran ini! Penyamaranmu akan terbongkar jika orang mengenalimu dari kebiasaan-kebiasaanmu. Bertempurlah sebagai orang biasa, sebagai prajurit biasa yang naik kereta dan bersenjata panah dan tombak.”
Patuh akan perintah kakaknya, Walala naik kereta dan maju bertempur. Ia berhasil membebaskan Wirata, menangkap Susarma dan menyatukan kembali pasukan Matsya. Pertempuran di daerah selatan makan waktu berhari-hari, membuat penduduk ibu kota Negeri Matsya prihatin. Begitu berita kemenangan sampai ke ibu kota, rakyat lega dan gembira. Mereka turun ke jalan-jalan, bergembira dan menghias ibu kota seindah-indahnya.
Ketika penduduk ibu kota Negeri Matsya sedang sibuk mempersiapkan penyambutan untuk Raja Wirata yang kembali dari medan pertempuran di daerah selatan, datang berita bahwa dari utara mereka diserang oleh Duryodhana dan pasukannya. Mereka menyerang, merampas harta benda, ternak, dan mengobrak-abrik beberapa desa di perbatasan. Akhirnya mereka menduduki wilayah kerajaan di utara!
Para gembala dan petani berlarian ke ibu kota. Mereka melaporkan kepada Pangeran Uttara, putra mahkota Negeri Matsya, bahwa balatentara Kaurawa menyerbu dari utara. Mereka memohon, “Wahai Pangeran Uttara, balaten-ara Kaurawa menyerbu dari utara, merampas sapi, biri- biri, kambing dan harta-benda kami, sementara Paduka Raja Wirata bertempur di selatan, mengusir balatentara Negeri Trigata. Kami tak punya tempat mengadu kecuali Pangeran. Kami mohon, lindungilah kami dan usirlah mereka! Pulihkan kedaulatan Negeri Matsya demi kehormatan keluarga Tuanku!”
Mendengar itu, Pangeran Uttara berkata dengan sombong di depan permaisuri dan putri-putri istana, “Kalau saja aku bisa mendapat seorang sais handal, aku akan usir semua musuh itu sendirian. Akan aku kembalikan semua ternak dan harta-benda yang mereka rampas. Kalian harus tahu, aku ahli menggunakan senjata. Di dunia ini, hanya Arjuna yang mungkin dapat menandingi aku, Uttara. Sayangnya, aku tidak punya sais kereta.”
Waktu itu Sairandri sedang berada di kamar Ratu Sudesha. Mendengar Pangeran Uttara berkata demikian, ia keluar menemui Uttari dan berkata, “Tuanku Putri Uttari, negeri kita ditimpa malapetaka besar. Jika saudaramu tidak bisa mendapat sais kereta, panggil saja Brihannala si guru tari. Aku dengar, ia pernah menjadi pengemudi kereta di Negeri Indraprastha dan pernah melayani Arjuna. Ia banyak belajar dari Arjuna tentang siasat perang dan pertarungan.”
Uttari menemui saudaranya dan berkata, “Aku dengar dari Sairandri bahwa dulu Brihannala adalah sais kereta yang cekatan. Ia bahkan pernah menjadi sais kereta Arjuna di Indraprastha. Panggillah dia dan majulah bersama dia. Usir musuh kita! Kalau tidak, Negeri Matsya akan punah.”
Pangeran Uttara menyetujui usul Uttari. Ia segera menyuruh orang memanggil Brihannala. Uttari berkata kepada guru tari itu, “Pasukan Kaurawa memasuki wilayah negeri kita dari utara, merampas kekayaan dan harta benda milik rakyat di perbatasan. Kata Sairandri engkau pernah menjadi sais kereta Arjuna. Pergilah bersama saudaraku untuk mengusir musuh. Uttara akan melindungimu dari hantaman musuh.”
Brihannala pura-pura lupa bagaimana caranya menggunakan senjata dan memegang kendali kuda. Tetapi ia berkata bahwa dirinya akan senang jika diijinkan ikut berperang. Sambil mengemudikan kereta, ia berkata kepada para wanita yang mengantar Pangeran Uttara berangkat ke medan perang, “Putra Mahkota pasti menang. Kami akan hancurkan musuh. Jubah mereka yang bersulam benang emas akan kami rampas dan kami persembahkan kepada kalian.” Setelah berkata demikian, ia melecut kudanya dan melarikan kereta dengan kencang. Para wanita itu terheran-heran. Siapa sebenarnya guru tari yang menjadi sais kereta itu?
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment