Tuesday, March 21, 2017

MAHABHARATA 44 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
44. Pahlawan-Pahlawan Muda Berguguran II
Pada hari kelima pertempuran dimulai pagi-pagi sekali. Bhisma mengatur pasukan Kaurawa dalam formasi yang kokoh. Sebaliknya, Pandawa mengatur pasukan mereka dengan cara lain. Bhima dan pasukannya ditugaskan untuk siaga di ujung depan formasi mereka, disusul berturut-turut pasukan Srikandi, Satyaki, dan Dristadyumna yang dipilih menduduki pusat formasi atau pusat kekuatan. Ujung belakang formasi dijaga oleh Dharmaputra dan saudara kembarnya, Nakula dan Sahadewa.
Hari belum lagi terang ketika Bhisma mengerahkan pasukan Kaurawa dalam jumlah sangat besar untuk menggempur pasukan Pandawa yang belum siap benar. Tak bisa dihindarkan, prajurit yang dipimpin Bhima banyak yang tewas. Pandawa menderita kekalahan. Dhananjaya segera membantu Bhima. Musuh dapat dipukul mundur dan Bhisma dibuat kewalahan.
Duryodhana kecewa dan mengeluh kepada Drona, “Engkau tidak bertindak dengan sepenuh hatimu. Apa artinya semua ini? Katakan terus terang!”
Dengan pedas Drona menjawab, “Putra Mahkota yang berhati keras, engkau berbicara tanpa menunjukkan pengertianmu. Selama ini kau meremehkan kekuatan Pandawa. Kami telah melaksanakan kewajiban kami dengan sebaik-baiknya.”
Menjelang tengah hari, Drona berhadapan dengan Satyaki. Drona melancarkan serangan bertubi-tubi terhadap Satyaki, tetapi kesatria itu belum terkalahkan juga. Justru Drona yang membutuhkan bantuan. Maka datanglah Salya dan Bhisma untuk membantunya.
Pertempuran dan pertarungan kesatria-kesatria perkasa itu berlangsung sangat dahsyat! Dari pihak Pandawa tampil Srikandi, seorang laki-laki yang terlahir dengan raga perempuan.
Melihat Srikandi mendekatinya, Bhisma menghindar.
Pantang baginya untuk bertarung melawan perempuan karena begitulah dulu ia bersumpah. Drona menggantikan Bhisma dan langsung menghadapi Srikandi. Serangan Drona yang bertubi-tubi membuat Srikandi kewalahan. Demikianlah, pertempuran di hari kelima itu berlangsung tanpa mengindahkan aturan perang. Pembunuhan kejam terjadi di seluruh medan perang. Menjelang sore Duryodhana mengirimkan pasukan besar untuk melawan Satyaki. Tetapi, dengan mudah Satyaki menghancurkan mereka semua. Berikutnya Bhurisrawa maju menghadapi Satyaki dan menyerangnya dengan membabi buta. Putra- putra Satyaki yang berjumlah sepuluh orang tidak membiarkan ayah mereka dikeroyok. Serentak mereka maju dan melancarkan serangan balasan. Serangan putra-putra Satyaki itu dihadapi Bhurisrawa dengan garang. Dengan seluruh kekuatannya ia meremukkan sepuluh kesatria itu hingga tewas semuanya. Satyaki sangat sedih dan marah melihat putra-putranya gugur. Dengan nekat ia menumbukkan keretanya ke kereta Bhurisrawa hingga kedua kereta itu hancur. Kemudian, sambil berdiri dengan gagah ia menghunus pedang dan bertarung satu lawan satu dengan Bhurisrawa. Melihat itu, Bhima memacu keretanya mendekat. Begitu sampai ke dekat kedua orang itu, ia mengayunkan gadanya, memukul bahu Bhurisrawa. Lalu, dengan tangkas ia menyambar Satyaki, menaikkannya ke kereta dan membawanya menjauh. Bhima tahu, Bhurisrawa sangat tangkas berolah pedang. Kepandaiannya itu tak tertandingi. Ia tidak rela Satyaki tewas karena kalah adu ketangkasan memainkan pedang.
Sementara itu, Arjuna telah membabat habis ratusan prajurit Kaurawa, seperti peladang yang dengan kesal menerabas semak belukar. Setiap bala bantuan yang dikirim Duryodhana langsung dihabisi Arjuna. Hari sudah sore.Sebentar lagi gelap turun. Bhisma memerintahkan agar pertempuran dihentikan. Kedua belah pihak kembali ke perkemahan masing-masing untuk beristirahat dan memulihkan kekuatan untuk menghadapi perang esok hari.
Di perkemahan Pandawa, Arjuna yang telah menewaskan ratusan musuh disambut dengan sorak sorai yang meriah.
***
Sementara itu, suasana di perkemahan Kaurawa tampak muram. Hari itu mereka menderita kekalahan luar biasa, kekalahan yang jauh lebih berat dan memalukan daripada yang pernah mereka alami. Duryodhana termenung-menung. Hatinya gundah memikirkan kekalahannya. Hatinya mulai bimbang. Keyakinannya mulai goyah. Apakah Kaurawa bisa menang jika pertempuran terus berlanjut?
Akhirnya dia menghadap Bhisma dan berkata, “Kakek yang kuhormati, di mata dunia engkau adalah kesatria agung yang tidak mengenal takut. Demikian pula Drona, Kripa, Kritawarma, Aswatthama, Sudakshin, Bhurisrawa, Wikarna dan Bhagadatta. Bagi para kesatria agung itu, kematian bukan apa-apa. Keberanian dan kebesaranmu, seperti mereka, juga tidak mengenal batas. Tak ada yang mampu mengalahkan engkau, biarpun kelima Pandawa maju serentak melawanmu. Tetapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Setiap hari anak-anak Kunti selalu berhasil mengalahkan pasukan kita. Apakah rahasia mereka?” Menilik kata-katanya, jelas Duryodhana mencurigai Bhisma.
“Putra Mahkota, dengar kata-kataku. Dalam setiap kesempatan, aku selalu menasihatimu demi kebaikanmu sendiri. Tetapi, engkau selalu menolak pertimbangan kami yang lebih tua. Berulang-ulang kukatakan kepadamu, jalan yang terbaik adalah berdamai dengan putra-putra Pandu. Kalian berasal dari satu keturunan bangsawan agung. Demi kebaikanmu dan kebaikan jagat ini, perdamaian adalah satu-satunya jalan. Apalagi kerajaan yang amat luas ini akan tetap menjadi milik kalian. Kunasihatkan hal ini berulang-ulang, tetapi engkau tetap menyalahkan Pandawa.
“Ingat, Pandawa dilindungi Krishna. Adakah yang bisa mengalahkan Krishna? Apa pun yang telah terjadi, sekarang masih ada waktu untuk berdamai. Percayalah, jalan damai adalah jalan yang paling terhormat. Jadikan sepupu kalian itu teman baik, bukan musuh. Kalian akan hancur musnah kalau terus menghina Dhananjaya dan Narayana*,” jawab Bhisma.
Duryodhana tidak menyahut dan tidak marah-marah lagi. Ia segera kembali ke kemahnya lalu merebahkan diri untuk beristirahat. Tetapi, sepanjang malam ia tidak bisa tidur. Hatinya kesal dan tidak bisa menerima nasihat Bhisma. Dasar keras kepala!
***
Di istana Hastinapura, dengan setia Sanjaya melaporkan jalannya pertempuran. Semua diceritakannya dengan terperinci karena ia dikaruniai kesaktian untuk melihat sesuatu yang jauh.
Dan ... setiap kali mendengar laporannya, Raja Dritarastra selalu mengeluh berkepanjangan, “Aku ini seperti pelaut yang terkatung-katung di samudera luas setelah kapalnya tenggelam. Aku pasti tenggelam dalam lautan kedukaan ini. Bhima pasti bisa membunuh semua anakku. Aku tidak tahu, adakah kesatria mahasakti yang sanggup melindungi anak-anakku dari kemusnahan? Apakah Bhisma, Kripa, Drona dan Aswatthama hanya berpangku tangan melihat kehancuran yang dialami anak-anakku? Apa sebenarnya rencana mereka? Bagaimana dan kapan mereka mau membantu Duryodhana dengan sungguh- sungguh?” Dritarastra menangis, dari matanya yang buta mengalir air mata kesedihan.
Sanjaya mencoba menyabarkan raja yang sudah tua itu,
“Bersabarlah Tuanku Raja. Ingatlah! Pandawa melandaskan kekuatan mereka pada kebenaran dan keadilan. Itu sebabnya mereka menang. Putra-putramu memang pemberani, tetapi mereka berhati busuk dan tak segan berbuat curang. Keberuntungan takkan memihak putra-putramu. Mereka telah menghina Pandawa dan memperdaya mereka. Kini putra-putramu memetik buah perbuatan mereka.
“Pandawa menang bukan karena memiliki ilmu gaib.
Mereka menang karena menjalankan dharma sebagai kesatria. Mereka menempuh jalan benar dan karena itu mereka dikaruniai kekuatan.
“Sahabat-sahabat Tuanku, yaitu Widura, Drona, Bhisma dan aku telah berulang kali memberi saran, tetapi Tuanku selalu menuruti keinginan putra-putra Tuanku. Ibarat orang yang sakit keras, Tuanku telah menolak obat pahit yang harus Tuanku minum agar bisa sembuh.”
***
Di kemahnya, Duryodhana juga mengeluhkan hal itu.
Bhisma menasihatinya, “Yang dapat kukatakan kepadamu sekarang adalah: berdamailah dengan Pandawa.”
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment