Tuesday, February 28, 2017

MAHABRATA 28

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
28. Pertemuan Dua Kesatria Perkasa
Ketidakhadiran Arjuna di samping mereka, menyebabkan Draupadi, Bhima dan Sahadewa sering mengeluh. Draupadi merasa bahwa hutan Kamyaka tidak menarik lagi tanpa kehadiran Arjuna, Bhima merasa tidak tenang dan Sahadewa mengusulkan agar mereka pindah ke hutan lain karena di hutan itu terlalu banyak kenangan akan Arjuna yang saat itu pergi jauh.
Yudhistira berkata kepada Dhaumnya, pendita dan penasihatnya, “Aku utus Arjuna mendaki Gunung Himalaya, mencari senjata pamungkas yang sakti untuk menaklukkan Bhisma, Drona, Kripa dan Aswatthama. Kita tahu, para mahaguru itu pasti memihak putra-putra Dritarastra. Karna tahu rahasia semua senjata sakti dan keinginannya yang terutama adalah bertanding melawan Arjuna dan mengalahkannya. Karena itu, aku utus Arjuna menghadap Batara Indra untuk memohon senjata pamungkas darinya. Kita tahu, kesatria-kesatria Kaurawa tidak bisa ditundukkan dengan senjata biasa.
“Arjuna telah lama pergi dan kini hutan ini terasa menjemukan. Kami ingin pergi ke hutan lain untuk menenangkan pikiran dan meredakan kegelisahan kami karena Arjuna tak kunjung pulang. Apakah Pendita dapat menyaran- kan, ke mana sebaiknya kita pergi?”
Resi Dhaumnya memberi gambaran tentang hutan- hutan dan tempat-tempat suci lainnya. Setelah mempersiapkan diri, Pandawa pergi ke hutan lain untuk melewatkan hari-hari yang harus mereka jalani selama masa pengasingan. Mereka mengembara, keluar-masuk hutan, menjelajahi padang-padang rumput, dan akhirnya sampai ke kaki Gunung Himalaya yang tertutup hutan lebat dengan jurang-jurang dalam dan lembah-lembah sempit.
Pada suatu hari, Draupadi terlalu letih setelah berjalan berhari-hari. Ia tak sanggup melangkahkan kaki lagi. Yudhistira yang melihatnya menyuruh Bhima, Sahadewa dan Gatotkaca, putra Bhima, untuk menemani Draupadi beristirahat di Ganggadwara. Dia sendiri akan meneruskan perjalanan bersama Resi Lomasa dan Nakula. Bhima tidak setuju dengan usul itu karena ia sangat merindukan Arjuna. Kecuali itu, tidak dapat membiarkan Yudhistira pergi hanya bertiga, menembus hutan lebat yang dihuni raksasa, binatang buas dan makhluk-makhluk jahat lainnya. Meskipun perjalanan mereka akan semakin berat, Bhima berkata bahwa ia dan Gatotkaca masih sanggup memikul Draupadi, Nakula dan Sahadewa. Akhirnya diputuskan untuk menjelajahi hutan itu bersama-sama, apa pun yang terjadi.
Demikianlah Pandawa meneruskan perjalanan menembus hutan sampai tiba di Kulinda, di wilayah Kerajaan Subahu, di kaki Gunung Himalaya. Pandawa disambut dengan penuh penghormatan oleh Raja Subahu dan beristirahat beberapa hari di negeri itu. Kemudian mereka meneruskan perjalanan masuk ke hutan Narayansrama. Di dalam hutan itu mereka berhenti untuk beristirahat beberapa hari.
Pada suatu hari, angin bertiup kencang dari timur laut, membawa bunga-bunga, daun-daunan dan ranting-ranting kering. Tiba-tiba sekuntum kembang yang terbawa angin jatuh di pangkuan Draupadi. Bunga itu menebarkan keharuman yang lembut menawan hati. Draupadi memanggil Bhima dan berkata, “Kemarilah, mendekatlah padaku dan lihatlah! Alangkah harumnya bunga ini! Alangkah indahnya! Kelak kalau kita kembali ke Kamyaka, akan kutanam bunga ini di sana. Maukah engkau mencarikan pohonnya?”
Bhima menyanggupi lalu pergi mencari pohon yang kembangnya membuat Draupadi terpesona. Ia berjalan ke arah datangnya angin. Setelah berjalan cukup jauh, ia sampai di kaki sebuah bukit. Di hadapannya ia melihat semak-semak dan pepohonan rebah. Bhima mendekat dan melihat seekor kera besar berbulu indah bercahaya sedang berbaring tak bergerak. Demikian besarnya kera itu hingga Bhima tak bisa melangkah maju.
Ia mencoba mengusir binatang itu dengan berteriak-teriak, tetapi kera itu tetap saja berbaring. Sambil membuka sebelah mata, kera itu berkata, “Aku sedang sakit, karena itu aku berbaring di sini. Mengapa engkau memba- ngunkan aku? Engkau manusia bijaksana, aku hanya binatang. Sebagai manusia yang berakal budi, seharusnya engkau berbelaskasihan pada binatang, makhluk yang lebih rendah derajatnya daripadamu. Jangan-jangan kau tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Siapakah engkau dan hendak ke manakah engkau? Kau tak bisa meneruskan perjalanan lewat bukit ini, karena ini jalan khusus untuk para dewata. Tak ada manusia di sini. Kalau engkau memang pandai dan berakal budi, kau pasti memilih kembali.”
Bhima merasa diremehkan. Ia marah dan berteriak,
“Siapa sebenarnya engkau, hai kera?! Mengapa omong besar seperti itu? Aku ini kesatria keturunan bangsa Kuru dan anak Dewi Kunti. Ketahuilah, aku ini putra Dewa Angin. Enyahlah kau dari sini; kalau tidak, engkau akan kubinasakan.”
Mendengar bentakan Bhima, kera itu tersenyum dan
berkata, “Memang benar katamu, aku hanya seekor kera. Tetapi, percayalah, kau akan menemui kehancuran jika tetap memaksa lewat.”
Bhima menjawab, “Aku tak sudi mendengarkan kata- katamu. Apa pedulimu? Aku siap mati melawanmu. Bangun dan minggirlah. Jika kau bersikeras, aku akan memaksamu.”
Kera itu berkata lagi, “Aku tak punya kekuatan lagi untuk bangun. Aku sudah tua. Kalau kau memang mau lewat, langkahi saja aku.”
Bhima menjawab, “Tidak ada jalan yang lebih mudah dari itu. Tetapi kitab-kitab suci melarang orang berbuat demikian. Kalau tidak, pasti aku sudah loncati engkau dan bukit itu sekaligus dalam satu loncatan, seperti Hanuman melompati lautan.”
Kera itu tampak kaget, lalu bertanya, “Wahai kesatria budiman, siapakah Hanuman yang mampu melompati lautan? Ceritakan padaku!’
“Apakah engkau tak pernah mendengar bahwa Hanuman adalah kakakku yang berhasil melompati lautan dan menempuh seratus yojana untuk mencari Dewi Sita, istri Sri Rama? Aku sama dengan dia, baik dalam kekuatan maupun keperwiraan. Ah, mengapa aku jadi lama berbincang denganmu? Sekarang, bergeserlah jangan menghalangiku. Jangan membuat aku marah dan terpaksa berkelahi denganmu,” kata Bhima.
“Sabarlah, hai kesatria perkasa! Lembut hatilah sedikit. Tak ada salahnya bersikap lembut meskipun engkau kuat dan perkasa. Kasihanilah yang lemah dan yang tua. Aku sungguh tak mampu bangun sebab badanku telah tua dan rapuh. Kalau engkau tidak mau meloncati aku, tolong singkirkan ekorku ke samping dan carilah jalan untuk lewat,” kata kera itu dengan tenang.
Bangga akan kekuatannya sendiri, Bhima bermaksud menarik ekor kera itu keras-keras dan menyingkirkannya. Tetapi, sungguh ia tak mengira. Walaupun telah mengerahkan seluruh tenaganya, sampai otot-ototnya terasa ngilu, sedikit pun ia tak mampu menggeser ekor kera itu. Bhima menjadi sadar. Ia merasa malu. Sambil menundukkan kepala ia memberi hormat dan bertanya, “Siapakah engkau? Apakah engkau ini siddha, dewa, atau raksasa?”
Kera itu menjawab, “Wahai Pandawa perkasa, ketahuilah aku ini saudaramu, Hanuman, anak Batara Bayu, sang Dewa Angin. Jika tidak kuhalangi, engkau pasti telah meneruskan perjalanan dan sampai ke dunia gaib yang dihuni raksasa dan yaksha. Engkau pasti menemui mala- petaka di sana. Karena itulah aku menghalangimu. Tak ada manusia yang bisa selamat melewati batas ini. Sekarang, pergilah ke lembah di bawah sana. Di tepi sungai yang membelah lembah itu tumbuh pohon Saugandhika yang kaucari.”
Mendengar itu, Bhima sangat bahagia. Jantungnya berdegup kencang, sekujur tubuhnya terasa hangat. Hanuman bangkit lalu menarik napas panjang. Tiba-tiba, badannya membesar bagaikan gunung, seakan-akan memenuhi hutan itu. Bhima silau memandang Hanuman yang menjadi luar biasa besar dan bulunya bercahaya gemilang.
Hanuman berkata, “Bhima, di hadapan musuh badanku bisa bertambah besar lagi.”
Kemudian ia mengembuskan napas dan berdiri di depan Bhima. Badannya kembali mengecil, kembali ke ukuran biasa. Hanuman kemudian memeluk Bhimasena. Ketika berpelukan, dua bersaudara itu masing-masing merasa mendapat kekuatan berlipat ganda.
Hanuman berkata, “Wahai kesatria, kembalilah kepada keluargamu. Pikirkan aku jika kau memerlukan pertolonganku. Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu, Saudaraku. Aku merasa seperti bertemu Sri Rama yang suci raganya.”
Bhima menjawab, “Berbahagialah Pandawa sebab aku telah mendapat kesempatan untuk bertemu denganmu. Berkat pengaruh kekuatanmu, aku yakin kami pasti bisa mengalahkan musuh-musuh kami.”
“Kelak dalam pertempuran besar, jika kau meraung seperti singa jantan, suaraku akan berpadu dengan suaramu, menggelegar di angkasa dan menyebabkan musuh- musuhmu gemetar ketakutan. Aku akan hadir di dekat bendera kereta Arjuna. Engkau pasti menang!” kata Hanuman seraya menunjukkan jalan ke tempat tumbuhnya pohon kembang Saugandhika.
Setelah berpamitan, Bhima melanjutkan perjalanan mencari pohon Saugandhika yang diinginkan Draupadi.
Sementara Bhima pergi mencari pohon kembang yang diinginkan Draupadi, Pandawa dikunjungi Resi Markandeya. Resi itu bertemu dan bercakap-cakap dengan Yudhistira. Hal yang mereka bicarakan adalah wanita.
“Adakah yang lebih mengagumkan daripada kesabaran dan kesucian hati wanita? Ia yang melahirkan anak, sete- lah sembilan bulan menunggu dengan penuh kasih sayang dan kecemasan. Sebagai ibu, ia mengasuh dan membesarkan anaknya dengan cinta yang melebihi cintanya pada hidupnya sendiri? Ia serahkan anaknya kepada dunia dengan penuh penderitaan dan kecemasan. Ia selalu memikirkan dan berusaha menjaga kesehatan serta kebahagiaan anaknya. Dengan jiwa besar dan penuh pengampunan wanita tetap mencintai suaminya, meskipun suaminya jahat, menyia-nyiakannya, memarahinya dan menyiksanya. Alangkah anehnya dunia ini!”
Demikianlah percakapan itu dimulai. Kemudian Resi Markandeya bercerita.
“Ada seorang brahmana bernama Kausika. Ia sangat taat pada sumpahnya sebagai brahmacharin. Setiap hari ia tekun bekerja, belajar, dan menyiapkan upacara persembahyangan.
“Pada suatu hari, ketika ia sedang membaca Weda di bawah sebatang pohon, seekor burung hinggap di dahan pohon itu. Burung itu membuang kotoran, jatuh tepat di kepala Kausika. Brahmana itu marah karena kepalanya kena kotoran burung. Dengan kekuatan sorot matanya yang merah didorong amarah, ia memandang burung itu hingga burung itu jatuh dan mati. Kausika menyesal. Hatinya sedih karena terlanjur membunuh burung yang tidak berdosa itu dengan melampiaskan pikiran jahat dan kemarahannya.
“Sesuai tradisi, sebagai brahmacharin, Kausika harus hidup dari meminta-minta. Pada suatu hari ia pergi meminta-minta ke sebuah rumah. Dia duduk di ambang pintu rumah itu, menunggu diberi sedekah. Lelaki kepala keluarga itu sedang bepergian dan istrinya sedang sibuk membersihkan perabot dan alat-alat dapur. Ia meminta sang brahmana menunggu sebentar. Ketika itu tahu-tahu suaminya datang. Karena lelah dan lapar, ia langsung minta makan kepada istrinya. Sudah sewajarnya, perempuan itu melayani suaminya yang baru pulang. Karena kesibukannya, ia seperti lupa pada sang brahmana. Tetapi rupanya tidak demikian. Setelah suaminya selesai makan, ia menemui Kausika yang sudah lama menunggu. Ia meminta maaf karena kesibukannya tadi dan kini siap melayani brahmana itu.
“Kausika marah karena dibiarkan menunggu lama. Ia berkata, ‘Ibu, engkau telah membiarkan aku menunggu terlalu lama. Sikapmu itu tidak adil.’
“Sekali lagi perempuan itu minta maaf, tetapi rupanya Kausika belum puas marah-marah. Katanya menyindir,
‘Benar, tugas seorang istri adalah melayani suaminya. Tetapi, tidak berarti ia boleh menyia-nyiakan seorang brahmana. Dasar perempuan sombong!’
“‘Jangan marah-marah, wahai Bapa Brahmana. Aku sudah meminta Bapa menunggu karena aku sedang menyelesaikan tugas utamaku, yaitu mengurus rumahku dan melayani suamiku. Aku bukan burung yang dapat dibunuh dengan sorot mata penuh amarah. Kemarahan seorang brahmana tidak akan mengakibatkan apa-apa bagi perempuan yang mengabdi dan melayani suaminya dengan baik,’ kata perempuan itu.
“Kausika terdiam. Ia berkata dalam hati, ‘Bagaimana mungkin perempuan ini bisa tahu tentang burung yang tak sengaja kubunuh itu?’
“Perempuan itu meneruskan kata-katanya, ‘Wahai Brahmana terhormat, engkau tidak memahami rahasia kewajiban. Engkau juga tidak sadar bahwa amarah adalah musuh terbesar yang bersarang di dalam diri manusia. Maafkan keterlambatanku dalam memberimu sedekah. Sekarang pergilah ke Mithila untuk mendapatkan petunjuk tentang hidup baik dari Dharmawyadha yang tinggal di sana.’
“Kausika pergi ke Mithila dan berusaha mencari orang yang bernama Dharmawyadha. Ia mengira orang yang dicarinya itu tinggal di pondok yang sunyi, bebas dari kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Ia berjalan menyusuri jalanan yang ramai, sambil bertanya kepada orang-orang apakah mereka tahu tempat tinggal orang yang sedang dicarinya. Atas petunjuk orang-orang itu, akhirnya Kausika sampai ke sebuah kedai yang menjual daging. Ia melihat penjual daging itu sibuk melayani pelanggannya. Setelah pertanyaannya dijawab, Kausika kaget sekali. Ia tidak mengira bahwa orang yang sedang dicarinya ternyata seorang jagal dan penjual daging. Ia marah dan muak melihat keadaan di warung itu.
“Melihat Kausika datang, penjual daging itu berdiri dan memberi hormat sambil berkata, “Wahai Brahmana yang kuhormati, bagaimana kabarmu? Sehat-sehat sajakah? Apakah engkau disuruh istri yang bijak itu datang ke tempatku?’
“Kausika terdiam karena heran. Dharmawyadha melanjutkan, ‘Aku tahu ada seorang brahmana yang akan datang menemuiku. Datanglah ke rumahku untuk beristirahat, sebab perjalananmu masih jauh.’
“Kausika sadar setelah melihat ketekunan Dharmawyadha mengerjakan tugasnya sehari-hari; dari melayani para pembeli daging di kedainya hingga melayani orangtua dan anggota keluarganya di rumah. Semua itu ia lakukan dengan baik, hingga ia merasakan hidup yang tenang dan bahagia di tengah keluarga dan lingkungannya.”
Setelah mengakhiri ceritanya, Resi Markandeya berkata, “Inti kisah ini adalah bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaan jika ia selalu tekun dan ikhlas mengerjakan setiap tugas yang dipikulkan kepadanya. Itulah inti sujud kita kepada Yang Maha Kuasa. Pekerjaan seseorang mungkin telah digariskan sejak ia dilahirkan, atau mungkin dipengaruhi oleh lingkungannya, atau mungkin karena pilihannya sendiri. Apa pun pekerjaan seseorang, yang penting ia menjalankannya dengan semangat ketaatan dan kejujuran. Inilah dharma yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya, Kausika telah belajar tetang hidup sederhana, jujur, setia, tekun dan taat pada pengabdian dari Dharmawyadha, si penjual daging.”
Bersambung..
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

MAHABARATA 27 (lanjutan 3)




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
27. Pengembaraan di Rimba Raya (lanjutan...)
Dalam pengembaraannya, Pandawa sampai ke pertapaan Resi Raibhya di tepi Sungai Gangga. Mereka berhenti, membersihkan diri dan melakukan upacara pemujaan, lalu beristirahat. Resi Lomasa bercerita tentang riwayat pertapaan itu.
“Yawakrida, anak seorang resi, menemui ajalnya di sini. Beginilah kisah hidupnya....
“Resi Raibhya dan Resi Bharadwaja adalah dua brahmana yang bersahabat dan pertapaannya berdampingan.
“Raibhya punya dua anak laki-laki, namanya Parawasu dan Arwawasu, sedangkan Bharadwaja punya satu anak laki-laki, namanya Yawakrida.
“Kedua anak Raibhya mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-sungguh hingga mereka menjadi orang suci yang termasyhur. Melihat itu, Yawakrida iri dan benci kepada mereka. Ia tidak mematuhi nasihat ayahnya. Untuk melampiaskan rasa iri dan kebencian hatinya, ia menyiksa diri dengan bersamadi dan bertapa berbulan- bulan, tanpa makan tanpa minum. Ia ingin mendapat karunia kesaktian. Mengetahui itu, Batara Indra merasa iba. Ia mendatangi Yawakrida. Batara Indra menasihati Yawakrida agar tidak menyiksa diri seperti itu.
“Yawakrida menjawab, ‘Aku ingin menguasai kitab-kitab suci Weda, melebihi mereka yang telah mempelajarinya. Aku ingin menjadi mahaguru tentang kitab-kitab suci itu. Sebab itu, aku lakukan semua ini agar cita-citaku lekas tercapai. Bagiku, belajar dari seorang guru membutuhkan waktu lama. Aku rajin berpuasa dan bersamadi, agar pengetahuan itu langsung kuterima, tanpa perlu berguru. Restuilah aku!’
“Batara Indra tersenyum seraya berkata, ‘Wahai Brahmana, engkau berada di jalan yang salah. Pulanglah engkau! Carilah seorang guru yang baik dan pelajarilah kitab- kitab Weda darinya. Menyiksa diri bukan cara benar untuk belajar. Cara belajar yang benar adalah dengan bertekun mempelajari sesuatu.’ Setelah berkata demikian, Batara Indra menghilang.
“Yawakrida tidak mengindahkan nasihat itu. Ia terus menyiksa diri. Batara Indra muncul lagi, memberinya peringatan. ‘Engkau memilih jalan salah untuk memperoleh ilmu. Untuk memperoleh ilmu, satu-satunya jalan adalah belajar. Ayahmu mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sabar dan berhasil. Yakinlah, kau pun pasti bisa. Berhentilah menyiksa dirimu.’
“Yawakrida tetap tidak mengindahkan nasihat Batara Indra. Malahan ia berkata, jika puasa dan semadinya tidak dikabulkan, ia akan memotong kaki dan tangannya untuk dijadikan sesaji dalam upacara persembahyangan.
“Pada suatu hari, ketika hendak menyucikan diri di Sungai Gangga sebelum mulai bersemadi, ia melihat seorang lelaki tua sedang bekerja keras melemparkan pasir ke dalam sungai dengan kedua tangannya. Yawakrida bertanya, ‘Wahai Pak Tua, apa yang sedang kaukerjakan?’ Lelaki tua itu menjawab, ‘Aku hendak membendung sungai ini. Jika aku bisa membangun bendungan dengan cara ini, orang akan bisa menyeberangi sungai ini dengan mudah. Tahukah engkau bahwa tidak mudah menyeberangi Sungai Gangga. Bukankah membuat bendungan suatu pekerjaan yang mulia?’
“Yawakrida tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ia berkata, ‘Rupanya engkau sudah gila! Engkau pikir, dengan melempar-lemparkan pasir —dengan kedua tanganmu yang rapuh— engkau akan bisa membendung arus sungai yang perkasa ini? Bangkitlah dan carilah pekerjaan yang lebih berguna!’
“Orang tua itu menjawab, ‘Apakah pekerjaanku ini lebih gila daripada perbuatanmu menyiksa diri karena ingin menguasai kitab-kitab suci Weda tanpa berguru? Bukankah engkau enggan belajar dengan sabar dan tekun?’
“Maka, tahulah Yawakrida bahwa orang tua itu tak lain adalah Batara Indra. Ia segera menjatuhkan diri, bersujud dan memohon agar Batara Indra berkenan menganugerahkan pastu kepadanya. Batara Indra mengabulkan permintaannya dengan syarat Yawakrida harus mempelajari kitab-kitab suci Weda sebagaimana mestinya.
“Sejak itu, Yawakrida mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-sungguh dan berhasil menguasainya dalam waktu singkat. Sayangnya, ia berjiwa lemah. Ia mengira, kemampuannya mempelajari kitab-kitab Weda dengan cepat itu bukan karena pertolongan gurunya, melainkan karena anugerah pastu Batara Indra. Ia menjadi sombong.
“Resi Bharadwaja, ayahnya, yang mengetahui hal itu segera menasihatinya, ‘Jangan biarkan dirimu terjebak dalam perangkap iri dan tinggi hati. Usahakan membatasi diri, jangan melampaui batas-batas kesopanan. Jangan bersikap congkak terhadap orang yang lebih tua seperti Resi Raibhya.’
“Musim semi tiba. Pohon-pohon bertunas, bunga-bunga mekar semerbak mewangi, hamparan padang rumput terlihat hijau segar. Ke mana mata memandang, yang tampak adalah keindahan. Binatang-binatang di hutan, burung- burung di angkasa, ikan di sungai dan telaga, semua gembira menyambut datangnya musim semi yang gemilang.
“Dalam suasana yang indah itu, istri Parawasu yang cantik dan muda belia berjalan-jalan di luar pertapaan sambil memetik bunga-bunga dan bersenandung merdu. Di tengah keindahan alam, kecantikannya semakin tampak cemerlang. Yawakrida yang kebetulan lewat di situ, melihatnya dan terpikat oleh kecantikannya. Ia berhenti dan memandangi wanita itu dengan penuh gairah. Lama- lama ia tak dapat menahan gejolak berahinya. Disambarnya putri itu lalu diseretnya ke balik semak-semak. Di sana, dengan kasar ia melampiaskan nafsunya sepuas- puasnya.
“Resi Raibhya yang baru kembali ke pertapaan melihat menantunya menangis tersedu-sedu. Setelah mengetahui apa yang terjadi, resi tua itu marah. Dicabutnya sehelai rambut dari kepalanya lalu dibakarnya dalam api pemujaan sambil mengucapkan mantra. Seketika itu juga, dari rambut yang terbakar itu muncul makhluk halus berwujud seorang gadis cantik. Kemudian ia mencabut dan membakar sehelai rambut lagi. Setelah mengucapkan mantra, muncullah makhluk halus berwujud raksasa perkasa bersenjata lembing. Resi Raibhya memerintahkan kedua makhluk halus itu untuk membunuh Yawakrida.
“Keesokan paginya, ketika sedang mengisi kendinya dengan air, Yawakrida melihat seorang gadis cantik tiba- tiba muncul di hadapannya. Gerak-geriknya sungguh menawan hati. Ia terlengah sesaat dan secepat kilat makhluk cantik itu merampas kendinya yang sudah diisi air untuk menyucikan diri. Yawakrida beranjak, hendak mengejarnya, tetapi dihalangi oleh raksasa perkasa bersenjata lembing. Yawakrida sangat ketakutan. Sadar bahwa ia tak bisa mengucapkan mantra sebelum menyucikan diri, Yawakrida lari ke tepi telaga. Tetapi telaga itu kering. Ia lari ke tepi sungai, tetapi sungai itu juga kering. Ia terus berlari mencari air. Ke mana pun ia lari, raksasa itu terus mengejarnya. Akhirnya ia tidak bisa berlari lagi. Tubuhnya yang letih jatuh terguling di tanah. Raksasa itu mendekat dan menancapkan lembingnya. Tamatlah riwayat Yawakrida.
“Bharadwaja mengetahui hal itu. Ia sedih dan marah karena kematian putranya. Dalam keadaan marah, ia melancarkan kutuk-pastu ke arah Resi Raibhya: kelak resi itu akan mati di tangan salah satu anaknya. Tetapi setelah mengucapkannya, Resi Bharadwaja menyesal. Ia sadar, putranya memang bersalah. Akhirnya, dalam upacara pembakaran mayat putranya, Bharadwaja terjun ke dalam api dan musnah bersama anaknya. Demikianlah, roh Yawakrida dan Bharadwaja bersama-sama kembali ke alam baka yang tenang dan damai.”
Resi Lomasa berkata, “Inilah bekas pertapaan Resi Raibhya yang kuceritakan tadi. Wahai Yudhistira, dari sini naiklah ke gunung. Bila engkau telah sampai ke puncaknya, segala mendung yang menutupi hidupmu akan lenyap. Gunung itu adalah gunung suci! Amarah dan nafsumu akan tercuci bersih jika engkau mandi di sungai ini. Mandilah dan sucikan dirimu.”
Demikianlah Resi Lomasa menutup kisahnya tentang puasa dan samadi yang tidak berguna karena didasari niat untuk mencapai tujuan yang tidak pantas. Kemudian Resi Lomasa melanjutkan ceritanya.
“Dalam soal keagamaan, Raja Brihadyumna adalah pengikut setia Resi Raibhya. Pada suatu hari ia ingin mengadakan upacara persembahyangan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ia memin- ta Resi Raibhya agar mengirimkan Parawasu dan Arwawasu ke istana untuk memimpin upacara tersebut. Permintaan itu dikabulkan dan Resi Raibhya memberi petunjuk seperlunya kepada kedua putranya. Ketika persiapan sedang dikerjakan, malam harinya Parawasu kembali ke pertapaan hendak menemani istrinya yang menginap di rumah ayahnya.
“Saat itu tengah malam. Suasana gelap. Tiba-tiba ia melihat satu sosok berjalan membungkuk-bungkuk di tepi mata air, seakan-akan sedang mengintai mangsa. Tanpa berpikir panjang atau melihat lebih jelas, ia membidikkan lembingnya dan melemparkannya ke arah sosok itu. Crap! Tepat mengenai sasaran. Sesaat kemudian terdengar teriakan mengaduh. Ia mendekat. Dan ... alangkah terkejutnya Parawasu ketika sosok yang diserangnya ternyata ayahnya sendiri. Ketika itu ayahnya mengenakan pakaian dari kulit menjangan. Ia pergi ke mata air malam-malam untuk menimba air. Sebelum meninggal, Resi Raibhya sempat menceritakan kutuk-pastu yang dilancarkan Resi Bharadwaja kepadanya.
“Parawasu segera menemui Arwawasu dan menceritakan peristiwa sedih itu. Ia berkata, ‘Kejadian ini hendaknya jangan sampai menghalangi upacara persembahyangan. Lakukan upacara pembakaran jenazah atas namaku, sebagai pengganti dosa yang telah kuperbuat tanpa sengaja.Pengampunan bagi dosa-dosa yang dilakukan tanpa sengaja adalah dibenarkan. Sementara engkau menggantikan aku dan memohonkan ampun untuk dosaku kepada Ayah, aku akan memimpin upacara permohonan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat negeri ini tanpa perlu kau bantu. Tapi... engkau takkan bisa memimpin upacara itu sendiri tanpa bantuanku.’
“Arwawasu yang suci dan berbudi luhur menuruti kata saudaranya. Ia melakukan upacara pembakaran jenazah ayahnya, bersembahyang atas nama saudaranya dan melakukan tapa untuk menyucikan diri atas namanya sendiri dan saudaranya, Parawasu. Setelah upacara selesai, ia menyusul saudaranya ke istana Raja Brihadyumna.
“Tetapi Parawasu terkutuk oleh dosanya sendiri. Ternyata ia mempunyai maksud jahat dan pertimbangan lain. Ia lupa bahwa dosa tidak bisa ditebus orang lain. Mewakilkan penebusan dosa kepada orang lain sama dengan menyuruh orang lain memikulkan dosa kita dan itu berarti menambah dosanya sendiri. Melihat saudaranya yang lebih suci, bijaksana, dan berbudi luhur memasuki ruangan upacara, Parawasu mengucapkan penghinaan dan menuduh saudaranya telah membunuh seorang brah- mana. Katanya lantang, ‘Seorang pembunuh tidak boleh dibiarkan masuk agar tidak mengotori ruangan suci ini.’ Kepada para pengawal kerajaan Parawasu meminta agar saudaranya diusir keluar istana dengan alasan istana tak boleh dikotori oleh orang yang membawa dosa sebagai pembunuh seorang brahmana.
“Arwawasu menolak tuduhan itu dan berkata bahwa sesungguhnya Parawasu yang melakukan dosa itu tanpa sengaja. Ia juga berkata bahwa dirinya telah melakukan upacara penebusan atas nama saudaranya. Tetapi, tidak seorang pun mempercayai kata-katanya. Penyangkalannya itu justru memperburuk kesan orang akan dirinya. Atas perintah raja, ia diusir dengan kasar.
“Arwawasu yang dituduh membunuh ayahnya dan memberikan keterangan palsu, kembali ke dalam hutan dengan perasaan putus asa. Tidak adakah keadilan di dunia ini? Kemudian, dengan tekad yang bulat, ia melakukan tapa brata yang seberat-beratnya. Dalam tapa brata ia berusaha menyucikan pikirannya dari segala macam kejahatan dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar jalan ayahnya dilapangkan di alam baka, terbebas dari belenggu karma dan pada gilirannya kembali manunggal dengan Hyang Widhi Yang Maha Kuasa. Kecuali itu dia mohon agar Parawasu, saudaranya, dibebaskan dari kejahatan dan dosa yang telah dilakukannya.”
Resi Lomasa menutup kisah itu dengan berkata kepada Yudhistira, “Arwawasu dan Parawasu adalah dua brahmana muda yang pandai dan terpelajar. Tetapi, untuk bisa berbuat kebajikan dan mempunyai budi luhur, orang harus berusaha selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk. Pengetahuan tentang baik-buruk harus benar-benar meresap dalam jiwa seseorang dan tercermin dalam perbuatannya sehari-hari. Hanya dengan jalan demikian seseorang dapat disebut bijaksana dan berbudi luhur. Pengetahuan yang kita peroleh hanya merupakan keterangan yang akan menimbuni pikiran kita dan membuat kita tidak bijaksana. Semua itu ibarat pakaian luar yang diperlihatkan kepada orang lain tetapi sesung- guhnya bukan bagian dari diri kita.”
Bersambung...
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Monday, February 27, 2017

MAHABRATA 27 (lanjutan 2)

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
27. Pengembaraan di Rimba Raya (lanjutan...)
Dalam perjalanan berikutnya, Resi Lomasa bercerita tentang kisah cinta dan kesetiaan Sawitri kepada suaminya.
“Terkisahlah bahwa Raja Aswapati punya seorang putri yang cantik dan baik hati bernama Sawitri. Nama itu sesuai dengan nama satu nyanyian suci untuk upacara pemujaan. Setelah Sawitri cukup dewasa, Raja Aswapati membebaskan putrinya untuk memilih sendiri calon suaminya. Sawitri senang karena maksud baik ayahnya. Setelah mendapat restu ayahnya, ia melakukan perjalanan ke negeri-negeri jauh, naik kereta emas, didampingi seorang panasihat tua kepercayaan ayahnya dan sejumlah pengawal.
“Dalam perjalanan itu ia singgah di berbagai negeri dan kerajaan. Sayangnya, setelah melihat banyak pangeran dan pemuda bangsawan, hati Sawitri tetap dingin. Tidak seorang pun membuatnya terpikat.
“Pada suatu hari, rombongan Sawitri sampai ke sebuah pertapaan di tepi hutan. Pertapaan itu milik Raja Dyumatsena yang telah ditaklukkan musuh dan kehilangan kerajaannya. Kekalahan berat itu menyebabkan ia lekas menjadi tua dan buta. Ia mengundurkan diri dari keramaian hidup di ibukota, pergi ke hutan, lalu menjalankan tapa brata ditemani istrinya dan putranya yang bernama Satyawan. Ia sendiri yang membangun pertapaan itu.
“Sawitri bertemu dengan Satyawan di dalam hutan. Hatinya langsung terpikat melihat pemuda itu, anak raja yang menjadi pertapa. Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke istana, Sawitri menghadap ayahnya untuk menceritakan pengalamannya.
“Raja Aswapati bertanya, ‘Anakku Sawitri, ceritakanlah. Siapa pemuda yang telah menawan hatimu?’
“Sawitri menjawab dengan tersipu-sipu, ‘Baiklah, Ayahanda. Ia putra Raja Dyumatsena yang telah kehilangan kekuasaan dan kerajaannya dan kini hidup sebagai pertapa di hutan. Pemuda itu rajin membantu ayah-ibunya mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan dan buah- buahan untuk dimakan.’
“Setelah mendengar cerita putrinya, Raja Aswapati meminta nasihat kepada Resi Narada. Resi itu berkata bahwa pilihan Sawitri membawa firasat yang menyedihkan. Katanya, ‘Dua belas bulan dari sekarang anak muda itu akan meninggal dunia.’
“Mendengar firasat buruk yang disampaikan Resi Narada, Aswapati segera menemui anaknya dan berkata,
‘Anakku Sawitri, anak muda itu akan menemui ajalnya dua belas bulan dari sekarang. Jika kau menikah dengannya, engkau akan segera menjadi janda. Pikirlah masak- masak! Batalkan pilihanmu, anakku sayang. Aku tidak tega melihat engkau menjadi janda dalam waktu begitu singkat.’
“Dengan hati mantap Sawitri menjawab, ‘Jangan Ayahanda risaukan hal itu. Jangan pula Ayahanda berharap aku mau kawin dengan orang lain dan mengorbankan pengabdian serta cintaku yang telah kuserahkan kepada Satyawan. Dialah pemuda pilihanku. Dalam hidup ini, seorang perempuan hanya dipilih dan memilih sekali. Aku sudah menentukan pilihanku. Aku tidak akan mengingkarinya.’
“Melihat kemantapan putrinya, sebagai ayah Raja Aswapati tak dapat berbuat apa-apa kecuali menikahkannya dengan pemuda pilihannya. Setelah upacara perkawinan usai, Sawitri mengikuti Satyawan masuk ke hutan untuk mengabdi pada mertuanya yang buta dan sudah tua.
“Sawitri tahu bahwa malapetaka akan menimpa suaminya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa kepada Satyawan. Dengan tulus, ikhlas, dan rajin setiap hari Sawitri ikut suaminya menjelajahi hutan untuk mengumpulkan umbi- umbian, daun-daunan, dan buah-buahan untuk orangtua mereka. Demikianlah kehidupan mereka setiap hari.
“Menjelang hari yang telah diramalkan itu, Sawitri tekun berpuasa dan bersamadi. Ia melewatkan malam tanpa tidur. Sambil berurai air mata ia bersujud, memohon karunia kekuatan dari dewata. Pada hari terakhir hidup suaminya, sedikit pun Sawitri tidak bisa mengalihkan pandangannya dari suaminya.
“Hari itu, seperti biasa mereka pergi mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan, dan buah-buahan. Tiba-tiba Satyawan mengeluh dan berkata kepada Sawitri, ‘Kepalaku pening, panca indraku serasa berpusing, pandanganku kabur. Wahai Sawitri, kantuk yang luar biasa memberatkan langkahku. Biarlah aku berhenti dan beristirahat sesaat.’
“Sawitri cemas, karena tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, ia terus berusaha menenangkan suaminya. Katanya, ‘Suamiku, jantung hatiku, baringkanlah kepalamu di pangkuanku.’
“Sesaat setelah Satyawan membaringkan kepalanya di pangkuan Sawitri, ia tertidur. Mula-mula badan dan kepalanya terasa bagai terbakar api, kemudian rasa panas itu berangsur reda dan berubah menjadi dingin. Sawitri memeluk suaminya yang tak sadarkan diri sambil menangis tersedu-sedu.
“Di tengah hutan yang sunyi, Sawitri memeluk Satyawan. Roh-roh kematian berdatangan, hendak mencabut nyawa Satyawan. Tetapi, berkat lingkaran api gaib yang mengelilingi Satyawan dan Sawitri, makhluk-makhluk pen- cabut nyawa itu tidak berani mendekat. Mereka berbalik dan pergi menghadap Batara Yama, Dewa Kematian, untuk melaporkan bahwa mereka gagal mencabut nyawa Satyawan.
“Batara Yama, Dewa Kematian, datang sendiri untuk mencabut nyawa Satyawan. Kepada Sawitri ia berkata,
‘Anakku, lepaskan raga yang telah mati itu. Ketahuilah, kematian pasti dialami semua makhluk hidup. Aku ini makhluk hidup yang mati pertama kali di dunia ini. Sejak itu setiap makhluk hidup harus mati. Mati adalah batas akhir hidup makhluk hidup.’
“Mendengar sabda sang Dewa Kematian, Sawitri rela melepaskan tubuh Satyawan yang sudah tidak bernyawa. Setelah mengambil nyawa Satyawan, Batara Yama pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi setiap kali melangkah maju, ia mendengar langkah orang mengikutinya dari belakang. Ia menoleh, dilihatnya Sawitri mengikutinya. Ia berkata, ‘Wahai anakku Sawitri, kenapa engkau mengikuti aku? Sudah ditakdirkan, setiap manusia pasti mati.’
“‘Aku tidak mengikuti engkau, Dewata,’ jawab Sawitri.
“Memang sudah suratan bagi kaum wanita; ia akan ikut ke mana pun cintanya membawanya. Dan hukum alam yang abadi tidak akan memisahkan laki-laki dari istrinya yang mencintainya dengan setia.
“Batara Yama berkata lagi, ‘Anakku, mintalah anugerah apa saja, kecuali jiwa suamimu.’
“Sawitri menjawab, ‘Kalau demikian, aku mohon agar mertuaku yang buta dapat melihat lagi dan hidup bahagia.’ “‘Permohonanmu kukabulkan, Anakku yang patuh dan setia,’ kata Batara Yama lalu meneruskan perjalanan mem- bawa nyawa Satyawan. Tetapi, kembali ia mendengar langkah-langkah kaki mengikutinya. Ia menoleh dan melihat Sawitri. ‘Anakku Sawitri, mengapa engkau masih juga mengikuti aku?’ tanyanya.
“‘Ya Dewata, aku tidak bisa berbuat lain selain ini. Aku sudah mencoba untuk pulang, tetapi jiwa dan ragaku selalu mengikuti suamiku. Jiwa suamiku telah kauambil, tetapi jiwaku selalu mengikutinya. Oh, Batara Yama, cabutlah juga jiwa dari ragaku ini. Bawalah jiwaku bersama jiwa suamiku,’ demikian jawab Sawitri.
“‘Sawitri yang setia dan berbudi, peganglah kata-kataku. Mintalah anugerah lagi, tetapi jangan jiwa suamimu,’ kata Dewa Kematian.
“‘Kalau begitu, aku mohon agar kekayaan dan kerajaan mertuaku dikembalikan kepadanya,’ jawab Sawitri. “‘Anakku yang penuh kasih dan cinta, permintaanmu kukabulkan. Pulanglah, sebab manusia yang hidup tidak mungkin terus mengikuti Dewa Kematian,’ kata Batara Yama lalu meneruskan perjalanannya.
“Tetapi Sawitri yang setia tetap mengikuti suaminya yang telah mati. Batara Yama menoleh lagi, dan berkata,
‘Sawitri yang berhati luhur, jangan ikuti cintamu yang sia-sia.’
“Sawitri menjawab, ‘Aku tidak dapat memilih jalan lain kecuali mengikuti Engkau yang telah mengambil jiwa suamiku tercinta.’
“‘Baiklah, Sawitri! Andaikata suamimu orang terkutuk penuh dosa dan harus masuk neraka, apakah engkau akan mengikutinya ke neraka?’ tanya Dewa Kematian.
“‘Dengan senang hati akan kuikuti dia, hidup atau mati, ke surga atau ke neraka,’ demikian jawab Sawitri.
“‘Anakku, engkau kurestui. Peganglah kata-kataku ini. Mintalah anugerah sekali lagi, tetapi ingat, yang sudah mati tak bisa dihidupkan lagi,’ kata Batara Yama.
“‘Kalau demikian, aku mohon berilah mertuaku seorang putra yang akan meneruskan kelangsungan kerajaannya. Ijinkan kerajaannya diwarisi oleh anak Satyawan,’ kata Sawitri.
“Batara Yama tersenyum mendengar permintaan Sawitri. Ia berkata, ‘Anakku, engkau akan memperoleh segala keinginanmu. Terimalah jiwa suamimu, ia akan bidup kembali. Ia akan menjadi ayah dan anak-anakmu kelak akan memerintah kerajaan kakeknya. Telah terbukti, cinta dapat mengalahkan kematian. Tak ada perempuan yang mencintai suaminya seperti engkau mencintai suamimu. Cintamu yang tulus dan sangat besar telah mengalahkan maut. Bahkan aku, sang Dewa Kematian, tidak berdaya melawan kekuatan cinta sejati yang bertakhta dalam jiwamu.’”
Demikianlah, Resi Lomasa menceritakan riwayat Sawitri kepada Yudhistira dalam salah satu perjalanan ziarahnya di dalam hutan. Sang Resi menekankan bahwa cinta dan kesetiaan seorang istri adalah harta paling berharga yang bisa dimiliki seorang lelaki.
Bersambung....
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

MAHABRATA 27 (lanjutan 1)




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
27. Pengembaraan di Rimba Raya (lanjutan...)
Pandawa terus mengembara di dalam hutan, mengunjungi tempat-tempat suci, pertapaan dan bekas pertapaan. Pada suatu hari, mereka sampai di pertapaan Resi Uddalaka. Menurut Resi Lomasa, Resi Uddalaka adalah seorang mahaguru ahli kitab-kitab Weda dan mendalami falsafah Wedanta. Pengikut dan muridnya banyak sekali. Salah satu di antara mereka bernama Kagola. Kagola adalah orang yang suci dan teguh imannya, tetapi kurang cerdas. Ia sering ditertawakan dan dipermainkan teman-temannya. Walaupun agak bodoh, mahagurunya tidak pernah putus asa dalam mendidiknya. Resi Uddalaka tertarik pada keluhuran budi dan tabiat Kogala yang baik dan jujur. Ia berharap bisa menikahkan Sujata, putrinya, dengan Kagola jika putrinya itu sudah dewasa.
Resi Lomasa melanjutkan, “Sujata dan Kagola dianugerahi seorang anak laki-laki yang cerdas seperti kakeknya, Resi Uddalaka. Sejak kecil anak itu telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa. Sayangnya, anak itu bongkok dan badannya benjol-benjol. Ada delapan benjolan di tubuhnya.
“Konon, benjolan itu muncul karena Kagola salah mengucapkan mantra ketika anaknya masih dalam kandungan. Mendengar mantra yang salah, anak itu meronta-ronta. Kesalahan itu diulang sampai delapan kali. Akibatnya, bayi itu terlahir bongkok. Bayi itu kemudian dinamai Astawakra, artinya ‘delapan benjolan’.
“Pada suatu hari, Kagola mengikuti lomba penafsiran Wedanta. Dalam perlombaaan itu ia berhadapan dengan Wandi, seorang ahli tafsir dari Negeri Mithila. Dalam acara perdebatan, ternyata Kagola tidak dapat menandingi Wandi. Karena malu, ia bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut. Kelak, kekalahan Kagola akan ditebus oleh anaknya.
“Astawakra tumbuh makin besar. Tubuhnya cacat, tetapi pikirannya cerdas luar biasa. Dia diasuh oleh Resi Uddalaka, kakeknya. Waktu umurnya dua belas tahun, ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab suci Weda dan tafsir Wedanta. “Pada suatu hari ia mendengar berita bahwa Janaka,
raja Negeri Mithila, akan mengadakan upacara besar. Dalam rangkaian upacara itu akan diadakan acara mabebasan, yaitu lomba membaca dan menafsirkan kitab- kitab Sastra. Para mahaguru, ahli-ahli pikir, dan ahli-ahli tafsir terkenal akan datang dari mana-mana. Astawakra ingin sekali ikut berlomba. Maka pergilah ia ke Negeri Mithila diantarkan pamannya, Swetaketu, yang sedikit lebih tua darinya. “Dalam perjalanan menuju Negeri Mithila, mereka berpapasan dengan rombongan Raja. Pengawal-pengawal raja memerintahkan agar orang-orang minggir, tetapi Astawakra malah berkata dengan berani, ‘Wahai pengawal kerajaan yang budiman, seorang raja yang adil dan bijaksana akan memberi jalan kepada orang buta, orang cacat, para wanita, pembawa beban berat dan para brahmana, seperti diajarkan dalam kitab-kitab suci Weda.’
“Ketika mendengar kata-kata luhur itu, Raja menasihati para pengawalnya, ‘Apa kata brahmana itu benar. Api adalah api; kecil atau besar tetap punya kekuatan untuk membakar.’
“Tatkala Astawakra dan Swetaketu hendak memasuki ruangan upacara, mereka ditahan oleh penjaga pintu, karena anak-anak yang belum cukup umur dilarang masuk. Hanya mereka yang benar-benar ahli kitab-kitab suci Weda diperbolehkan masuk.
“Astawakra berkata, ‘Kami bukan anak-anak lagi. Kami telah bersumpah menjadi brahmana dan telah mempelajari kitab-kitab suci Weda. Mereka yang telah mendalami tafsir Wedanta tidak akan menilai seseorang dari umur dan wajahnya.’
“Penjaga pintu itu membentak karena menganggap Astawakra masih bocah dan omong besar. Tetapi si bongkok Astawakra melawan, ‘Maksudmu, badanku ini bogel seperti labu tua yang tak ada isinya? Tinggi badan bukan ukuran untuk menilai dalamnya pengetahuan seseorang, begitu pula usia. Biarkan aku masuk!’
“Tetapi penjaga pintu itu tetap melarang Astawakra untuk masuk. Mereka berbantah sengit.
“Rambut beruban bukan cerminan kematangan jiwa seseorang. Orang yang betul-betul matang jiwanya adalah orang yang telah mempelajari dan memahami Weda dan tafsir Wedanta, menguasai seluruh isinya dan meresapi inti ajarannya. Aku datang untuk menantang Wandi, sang ahli tafsir,” kata Astawakra.
“Kebetulan, saat itu Raja Janaka lewat dan mendengar perdebatan itu. Raja mengenali si bongkok dan bertanya,
‘Tahukah engkau bahwa Wandi, sang ahli pikir dan ahli tafsir, telah mengalahkan banyak ahli dan mahaguru di masa lampau. Di akhir perdebatan, mereka yang kalah menanggung malu. Ada yang menerjunkan diri ke laut karena tak tahan menanggung malu. Apakah itu tidak mengecutkan hatimu? Masih beranikah engkau mengikuti lomba ini?’
“Astawakra menjawab, ‘Wandi, si ahli tafsir, belum pernah menghadapi orang seperti aku. Ia menjadi sombong karena dapat dengan mudah mengalahkan orang-orang lain. Aku datang ke sini untuk membayar kekalahan ayahku. Riwayatnya kudengar dari ibuku. Aku yakin, Wandi pasti dapat kukalahkan. Ijinkan kami masuk dan menemuinya.’
“Kemudian Astawakra menghadapi Wandi yang menjadi kebanggaan Negeri Mithila. Perlombaan dimulai. Mereka berdebat tentang hal yang paling muskil yang sudah ditentukan sebelumnya. Perdebatan berlangsung seru, masing- masing mempertahankan pandangannya.
“Di akhir lomba, para ahli tafsir memutuskan bahwa kemenangan ada di tangan Astawakra. Wandi menderita kekalahan. Wandi menyembah Astawakra, kemudian pergi ke laut untuk menyerahkan diri kepada Baruna, sang Dewa Laut, yang menguasai seluruh perairan di dunia.”
Resi Lomasa berkata kepada Yudhistira, “Seorang anak tidak perlu sama dengan ayahnya. Seorang ayah yang lemah raganya bisa saja mempunyai anak yang kuat dan perkasa. Seorang ayah yang dungu bisa saja mempunyai anak yang sangat cerdas. Sungguh keliru menilai kebesaran seseorang dari tinggi badan dan lanjut umurnya. Kenyataan luar dapat menipu, seperti halnya Kagola dan Astawakra.”
Bersambung....
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

MAHABRATA 27

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
27. Pengembaraan di Rimba Raya
Kaum brahmana yang dulu bersama-sama Yudhistira di Indraprastha setia menyertainya dalam pengasingan di hutan. Tidak mudah mengatur dan membiayai rombongan yang sangat besar itu. Resi Lomasa menasihati Yudhistira agar memperkecil rombongannya supaya pengembaraan lebih lancar, terutama ketika berziarah ke tempat-tempat suci di hutan. Atas saran tersebut, Yudhistira memberi tahu pengikut-pengikutnya bahwa mereka yang tidak biasa menghadapi kesulitan dan mengikutinya hanya karena berbela rasa, sebaiknya kembali ke Negeri Astina yang diperintah Raja Dritarastra atau ke Negeri Panchala yang diperintah Raja Drupada. Selanjutnya, Yudhistira menyerahkan sepenuhnya kepada para pengikutnya cara apa yang mereka anggap paling baik dan sesuai dengan kesanggupan mereka. Dalam pengembaraan dari satu tempat suci ke tempat suci lainnya di dalam hutan, Pandawa mendengar, melihat, dan mengalami berbagai keadaan dan situasi yang membuat mereka yakin bahwa masa depan mereka akan baik. Sebagai suri teladan, Resi Lomasa menceritakan kisah
Resi Agastya kepada mereka, “Pada suatu hari, Agastya melihat roh manusia berdiri terbalik, kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Karena anehnya, ia bertanya kepada makhluk itu dan dijawab bahwa makhluk itu adalah nenek moyangnya sendiri yang telah meninggal dunia. Ia mengalami nasib demikian karena keturunannya tidak mau kawin dan tidak punya anak yang wajib mengadakan upacara-upacara persembahyangan untuk roh nenek moyang. Mendengar hal itu, Agastya langsung memutuskan untuk kawin.
“Terkisahlah bahwa raja Widarbha tidak punya anak. Raja itu kemudian memohon restu kepada Resi Agastya agar ia dikaruniai anak. Pada waktu memberikan restu, Agastya mengucapkan kutuk-pastu, yaitu: jika anak yang lahir perempuan, anak itu harus diserahkan kepadanya untuk dikawini.
“Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang putri jelita yang kemudian diberi nama Dewi Lopamudra. Semakin dewasa semakin sempurnalah kecantikannya. Dewi Lopamudra termasyhur di kalangan para kesatria, tapi tidak seorang pun berani mendekatinya karena takut pada Resi Agastya.
“Pada suatu hari, Resi Agastya datang ke istana Raja Widarbha untuk menagih janjinya. Tetapi Raja Widarbha keberatan. Dia tak mau menyerahkan putrinya yang cantik itu kepada resi tua yang hidup menyendiri di dalam hutan. Raja cemas kalau-kalau kutuk-pastu sang Resi akan menjadi kenyataan. Mengetahui kecemasan dan kesedihan orangtuanya, Dewi Lopamudra justru menyatakan keinginannya untuk kawin dengan resi itu. “Setelah disepakati, perkawinan dilangsungkan sebagai- mana mestinya. Sebelum memboyong istrinya ke hutan, Resi Agastya menyuruh Dewi Lopamudra melepas semua perhiasannya dan mengganti pakaiannya yang mewah dan mahal. Istrinya harus bersedia hidup sederhana sesuai kebiasaan para resi yang tinggal dalam asrama di hutan. Dewi Lopamudra membagi-bagikan semua perhiasan dan pakaiannya kepada teman-teman dan para pelayannya, kemudian mengenakan pakaian dari kulit kayu.
“Demikianlah, Resi Agastya dan Dewi Lopamudra hidup bahagia di pertapaan di hutan Ganggadwara. Mereka saling mengasihi dan selalu tampak mesra. “Pada suatu hari, karena perasaan cintanya yang melu-
ap-luap, Dewi Lopamudra tak bisa menahan perasaannya.
Ia meminta kepada Resi Agastya agar sekali-sekali mereka menikmati kemewahan.
“‘Aku ingin sekali kita tidur di tilam kerajaan yang empuk, mengenakan jubah indah dan memakai perhiasan seperti waktu aku di rumah orangtuaku.’
“Agastya menjawab, ‘Aku tidak punya kekayaan apa- apa, karena sekarang kita hidup di hutan sebagai peminta- minta.’
“Lopamudra menyarankan agar Agastya menggunakan kekuatan gaib yogi-nya untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Tetapi Agastya tidak setuju, karena kekayaan yang diperoleh dengan jalan demikian tidak akan kekal. Setelah berdebat lama, mereka sepakat untuk pergi meminta-minta kepada raja-raja kaya dengan harapan kelak mereka bisa hidup enak.
“Mereka menghadap seorang raja yang terkenal kaya raya.
“Agastya berkata, ‘Tuanku Raja, aku datang untuk memohon harta. Berilah aku yang dapat diberikan, tanpa menyebabkan kekurangan atau kehilangan bagi orang lain.’
“Raja itu memperlihatkan catatan pendapatan kerajaan kepada Agastya dan mempersilakan sang Resi mengambil apa yang diperlukannya dan kelebihan yang ada. Ternyata Resi Agastya tahu bahwa antara pendapatan dan pengeluaran kerajaan itu tidak ada sisanya. Ia kemudian pergi meminta-minta ke negeri lain. Ternyata negeri itu mengalami kekurangan karena rajanya mengeluarkan lebih banyak uang daripada jumlah pendapatan dari upeti yang dipungut atas rakyat.
“Tanpa putus harapan, Agastya pergi ke negeri-negeri lain. Di sana ia menjumpai keadaan yang tidak banyak berbeda. Ia berkata pada dirinya sendiri, ‘Untuk mendapat sedekah dari seorang raja saja aku membuat rakyat harus memikul beban berat. Karena itu, aku akan meminta di tempat lain dengan cara lain.’
“Demikianlah Agastya banyak mengetahui keadaan keuangan suatu kerajaan. Ia menyimpulkan bahwa menurut pekerti luhur, seorang raja tidak boleh menarik upeti dari rakyatnya secara sewenang-wenang, melebihi kebutuhan pengeluaran untuk kepentingan umum yang sebenarnya. Dan siapa pun yang menerima pemberian hadiah atau sebangsanya dari hasil pungutan upeti rakyat, itu berarti dia telah menambah beban rakyat. Sungguh tidak adil. Itu sebabnya Agastya memutuskan untuk menemui raksasa Ilwala yang terkenal jahat dan kaya raya, untuk mencoba meminta-minta.
“Mula-mula Ilwala dan Watapi, saudaranya, berniat membunuh Agastya karena mereka membenci kaum brahmana. Selama ini, mereka selalu membunuh setiap brahmana yang datang menemui mereka. Tetapi Agastya adalah seorang brahmana yang sakti. Ketika tahu itu, Ilwala sangat takut dan segera memenuhi permintaannya. Agastya mendapatkan apa yang diinginkan istrinya dan keduanya hidup bahagia.”
Demikianlah cerita Resi Lomasa kepada Yudhistira yang intinya merupakan pelajaran tentang bagaimana seharusnya mengurus harta kerajaan yang merupakan hasil pungutan upeti dari rakyat. Harta kerajaan harus diguna- kan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
Selanjutnya Resi Lomasa berkata, “Di lain pihak, sungguh salah jika kita berpikir bahwa seseorang dapat dengan mudah hidup suci sebagai brahmacharin jika ia dibesarkan dalam lingkungan yang sama sekali tidak mengajarkan pengetahuan akan kenikmatan duniawi dan kenikmatan olah asmara.”
Ia melanjutkan, “Kebajikan yang dituntun oleh ketidaktahuan tidaklah meyakinkan.”
Resi Lomasa lalu bercerita tentang Negeri Angga yang pernah mengalami bahaya kelaparan yang mengerikan. “Romapada, raja negeri Angga, sangat cemas karena negerinya dilanda bencana alam. Panen gagal, tumbuh- tumbuhan kering, hujan tidak turun-turun, ternak mati dan di mana-mana rakyat menderita kelaparan. Sungguh sengsara. Romapada memanggil semua brahmana di negerinya untuk dimintai nasihat tentang cara mengatasi bencana yang mengerikan itu. Para brahmana menyaran- kan agar Raja memanggil Resi Risyasringga yang masih muda, putra Resi Wibhandaka yang masyhur. Resi Risyasringga telah menjalani kehidupan yang suci sempurna dan karena tapanya yang lama tanpa putus, ia sanggup memanggil hujan yang akan menyuburkan tanah. Sepanjang hidupnya, resi muda itu selalu bertapa di samping ayahnya dan sama sekali belum pernah melihat manusia lain, laki-laki atau perempuan, selain ayahnya.
“Bersama para penasihatnya, Romapada merundingkan cara untuk memanggil Risyasringga. Atas nasihat mereka, Romapada mengumpulkan beberapa perempuan penggoda dan menugaskan mereka untuk membawa resi itu ke ibukota Angga.
“Mula-mula perempuan-perempuan penggoda itu takut kepada raja yang berkuasa itu dan kepada Resi Wibhandaka yang sakti. Tetapi setelah diberi penjelasan, mereka menerima tugas itu dengan senang hati karena keberhasilan mereka adalah demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kemudian mereka membangun taman indah yang ditanami pohon-pohon rindang dan dilengkapi dengan pertapaan di tengahnya. Taman buatan itu dibangun di tepi sebuah sungai besar yang jernih airnya, yang di hulunya mengalir melewati pertapaan Resi Wibhandaka. Sebuah perahu mereka labuhkan di tepi sungai, dekat pertapaan itu.
“Pada suatu hari, ketika Resi Wibhandaka sedang pergi, salah seorang perempuan yang cantik itu mengayuh perahu dan melabuhkannya di tepian pertapaan. Ia menemui Risyasringga sambil memberi salam sesuai adat seorang resi bila bertemu resi lainnya.
“Seumur hidup Risyasringga belum pernah melihat
perempuan cantik dan bersuara merdu. Ia mengira perempuan itu seorang brahmacharin. Ia bertanya, ‘Rupanya engkau seorang brahmacharin yang halus dan cemerlang. Siapakah engkau, di mana pertapaanmu, dan ajaran suci apa yang engkau pelajari? Aku menyembah kepadamu.’ Kemudian, sesuai adat, ia menyerahkan buah-buahan sebagai persembahan kepada seorang resi yang bertamu.
“Perempuan itu berkata bahwa pertapaannya tak jauh dari situ, di pinggir sungai yang sama. Karena kuatir kalau-kalau Resi Wibhandaka cepat kembali, perempuan itu segera mempersembahkan buah-buahan yang ranum, minum-minuman yang manis dan kalung bunga yang harum kepada Risyasringga. Sambil membelai dan memeluk resi itu, perempuan itu berkata bahwa begitulah yang ditradisikan bila seorang resi bertemu dengan resi lain yang seajaran.
“Risyasringga tidak keberatan. Ia justru berpendapat bahwa cara itu memberinya kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Kesucian pikirannya ternoda. Ia tak kuasa menahan gejolak nafsunya menghadapi perempuan itu. Tanpa berpikir panjang, ia mengundang brahmacharin cantik itu untuk datang lagi mengunjunginya.
“Ketika kembali, Resi Wibhandaka sangat kaget melihat suasana pertapaan yang tidak seperti biasanya. Rumput dan semak-semak bunga terlihat habis diinjak-injak, sisa- sisa makanan berserakan, wangi kalung bunga menyusupi hidungnya, dan wajah putranya tampak aneh. Ia bertanya, apa yang telah terjadi. Risyasringga bercerita bahwa ia dikunjungi seorang brahmacharin yang wujud tubuhnya luar biasa indah. Brahmacharin itu memberi salam dengan cara memeluk dan membelainya, membuat sekujur tubuhnya merasakan kenikmatan tak terkira. Dengan lugu Risyasringga berkata bahwa ia ingin sekali bertemu lagi dengan brahmacharin itu dan merasakan kembali kelembutan belaiannya.
“Mendengar cerita anaknya, Resi Wibhandaka langsung mengerti apa yang telah terjadi. Dalam hati ia sangat marah, tetapi kepada putranya ia berkata, ‘Anakku, yang datang mengunjungimu bukanlah brahmacharin melainkan
makhluk jahat yang sangat berbahaya. Ia sengaja menipumu dan berniat menodai pertapaan kita. Jangan biarkan ia datang lagi.’
“Tiga hari tiga malam Wibhandaka berusaha mencari perempuan yang telah menggoda anaknya, tetapi sia-sia belaka.
“Pada kesempatan lain, ketika Resi Wibhandaka sedang mengadakan perjalanan, perempuan itu datang lagi. Melihat Risyasringga hanya sendirian, ia berlari mendekati dan tanpa menunggu-nunggu lagi mengajak resi itu pergi sebelum ayahnya kembali. Inilah kesempatan yang ditunggu- tunggu oleh perempuan-perempuan penggoda yang mengemban tugas dari Raja Romapada. Segera setelah resi muda itu masuk ke dalam perahu, sauh diangkat dan perahu dikayuh ke hilir, menuju ibukota Negeri Angga. Di sana, resi itu diterima dengan upacara kehormatan oleh Raja Romapada dan dipersilakan beristirahat di tempat yang sudah disediakan di dalam lingkungan istana.
“Berkat kehadiran Risyasringga, hujan mulai turun di wilayah Kerajaan Angga. Danau dan telaga mulai berisi air, sungai mengalir deras menyuburkan tanah, binatang mendapat makanan cukup dan pepohonan mulai bersemi kembali. Sebagai ungkapan terima kasih, Raja Romapada menyerahkan Dewi Santa, putrinya, untuk diperistri oleh Risyasringga.
“Untuk menghindari kemurkaan Resi Wibhandaka, Raja Romapada mengerahkan berpuluh-puluh gembala sapi. Mereka disebar ke mana-mana, terutama di sekitar jalan- jalan yang mungkin akan dilalui Resi Wibhandaka. Jika bertemu dengan resi itu, mereka harus berkata bahwa mereka adalah gembala yang menggembalakan ratusan sapi milik Risyasringga.
“Sementara itu, dengan perasaan cemas dan geram Resi Wibhandaka meninggalkan pertapaan untuk mencari putranya. Ia menjelajahi segala penjuru hutan, tetapi tidak juga menemukan putranya. Kemudian ia keluar dari hutan, menjelajahi ladang-ladang dan pedesaan. Ia heran
melihat puluhan gembala sedang menggembalakan sapi- sapi yang tambun dan sehat. Para gembala itu berkata bahwa sapi-sapi itu milik Risyasringga. Karena berkali-kali mendengar jawaban yang sama di mana-mana, lambat laun amarah Wibhandaka berkurang.
“Akhirnya ia sampai ke ibukota Negeri Angga. Timbul rasa ingin tahunya, apakah anaknya ada di ibukota itu. Di depan istana, tanpa disangka-sangka, ia disambut dengan upacara kebesaran, bahkan Raja Romapada sendiri yang mengantarkannya ke puri tempat tinggal putranya. Akhirnya ia dapat bertemu dengan Risyasringga yang telah menyunting Dewi Santa yang cantik. Sang Resi lega dan senang setelah mengetahui bahwa putranya hidup bahagia sebagai menantu Raja dan dengan kesaktiannya telah menghindarkan rakyat Negeri Angga dari bencana kelaparan.
“Ia merestui anaknya dan berkata, ‘Teruslah berbuat kebajikan untuk menyenangkan hati Raja Romapada yang mencintai rakyatnya. Setelah engkau punya anak laki-laki, kembalilah ke dalam hutan dan temani ayahmu.’
“Resi muda itu menaati perintah ayahnya.” Resi Lomasa mengakhiri ceritanya dengan kata-kata demikian, “Seperti halnya Damayanti dan Nala, Sita dan Rama, Arundhati dan Wasistha, Lopamudra dan Agastya, Santa dan Risyasringga, engkau dan Draupadi pun ditakdirkan untuk hidup mengembara di dalam hutan selama waktu yang telah ditentukan. Hiduplah dengan penuh cinta kasih, saling menyayangi, dan selalu menjalankan dharma. Tempat ini adalah bekas pertapaan Risyasringga. Mandilah dalam kolam ini dan sucikan dirimu.”
Mengikuti anjuran Resi Lomasa, Pandawa mandi dan menyucikan diri dalam kolam itu. Setelah membersihkan dan merapikan diri, mereka bersembahyang memuja dewata.
Bersambung...
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Sunday, February 26, 2017

MAHABRATA 26




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
26. Penderitaan adalah Karunia Dharma
Balarama dan Krishna mengunjungi tempat pengasingan Pandawa di hutan rimba. Melihat penderitaan Rajadiraja Yudhistira dan saudara-saudaranya, Balarama berkata kepada Krishna, “Wahai Krishna, agaknya kebajikan dan kejahatan membuahkan hasil berlawanan dalam hidup ini. Sebab, Duryodhana yang jahat dan durhaka kini memerintah kerajaan dan selalu mengenakan pakaian kebesaran bersulam emas; sementara Yudhistira yang suci dan bijaksana mengembara di tengah hutan, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Melihat lenyapnya kekayaan dan kemakmuran seorang suci dan berbudi luhur bisa membuat manusia kehilangan kepercayaan kepada Dewata. Pujaan-pujaan di hadapan kita berasal dari kejahatan dan kebajikan di dunia.
“Bagaimana kelak Dritarastra mempertanggungjawabkan perbuatannya dan bagaimana ia bisa membela diri waktu berhadapan dengan Dewa Kematian? Padahal, seluruh lembah, gunung dan bumi menangis menyaksikan nasib Pandawa yang tidak berdosa, sementara Draupadi, dengan karunia Dewa Agni, sang Dewa Api, ditakdirkan untuk hidup terlunta-lunta di dalam hutan!” Satyaki yang ada di situ berkata, “Wahai Balarama, kini bukan saatnya untuk bersedih hati. Apa kita harus menunggu sampai Yudhistira meminta kita untuk membantu Pandawa? Semasa engkau, Krishna dan para kerabat lain, masih menikmati kejayaan seperti sekarang, kenapa kita biarkan Pandawa hidup tersia-sia di hutan? Mari kita kerahkan prajurit kita dan kita gempur Duryodhana. Dengan bantuan balatentara Wrisni, kita pasti bisa menghancurkan Kaurawa. Kalau tidak, apa gunanya ada tentara? Krishna dan engkau pasti bisa melakukan ini dengan mudah. Aku ingin sekali melumpuhkan senjata Karna dan memancung lehernya. Mari kita hancurkan Duryodhana dan sekutu-sekutunya.
“Jika Pandawa ingin memegang teguh janji mereka, kita serahkan kerajaan kepada Abhimanyu dan mereka boleh tinggal dalam hutan. Hal itu baik bagi mereka dan pantas bagi kita sebagai kaum kesatria.”
Dengan saksama Krishna mendengarkan kata-kata Satyaki. Kemudian ia berkata, “Apa yang kaukatakan itu benar. Tetapi Pandawa takkan sudi menerima uluran tangan orang lain. Mereka lebih suka berusaha sendiri. Draupadi, yang terlahir berdarah pahlawan, pasti tak mau mendengarkan ini. Yudhistira pasti takkan mau meninggalkan jalan kebenaran hanya demi rasa cinta atau takut. Setelah masa pengasingan yang ditetapkan habis, para raja dari Panchala, Kekaya, Chedi dan kita semua bisa menyatukan semua balatentara kita untuk membantu Pandawa menaklukkan musuh.”
Mendengar kata-kata Krishna, Yudhistira tersenyum tanda mengerti lalu berkata, “Krishna tahu pikiran dan perasaanku. Kebenaran lebih besar daripada kekuatan atau kemakmuran, dan harus dipertahankan dengan apa pun juga, bukan dengan harta benda atau kerajaan. Bila Krishna menghendaki kita bertempur, kita siap! Wahai para kesatria keturunan Wrisni, kiranya kalian boleh pulang dulu. Kelak, jika waktunya sudah matang, kita pasti akan bertemu lagi.” Demikianlah, mereka kemudian berpisah. Sementara itu, Arjuna belum juga kembali dari Gunung Himalaya. Dengan harap-harap cemas, Bhima menantikan kedatangan Arjuna. Ia tidak mendapat dukungan untuk menggunakan jalan kekerasan. Karena itu ia berkata kepada Yudhistira, “Engkau tahu bahwa kita tergantung kepada Arjuna. Ia telah lama pergi, dan kita tidak mendengar apa-apa tentang dia. Andaikata kita kehilangan dia, tidak seorang pun, tidak juga Raja dari Panchala, atau Satyaki atau Krishna, dapat menolong kita. Aku tak sang- gup membayangkan bagaimana kalau kita kehilangan dia. Akibat permainan dadu gila itu, kesedihan dan penderitaan menimpa kita... sebaliknya, kekuatan justru tumbuh dan berkembang subur di pihak lawan!”
Bhima melanjutkan kata-katanya, “Tinggal dan mengembara di dalam hutan seperti ini bukanlah jalan kaum kesatria. Kita harus segera memanggil Arjuna. Lalu... dengan bantuan Krishna kita umumkan perang terhadap anak-anak Dritarastra. Aku akan puas, jika Sakuni, Karna dan Duryodhana yang jahat mati. Kalau tugas ini sudah selesai dan kalau engkau memang menghendaki, engkau bisa kembali ke hutan dan hidup sebagai pertapa. Membunuh musuh dengan menggunakan siasat bukanlah dosa. Lebih-lebih jika musuh juga menggunakan siasat.
“Aku mendengar bahwa Atharwa Weda memuat mantra gaib yang dapat mengurangi dan mempersingkat waktu. Kalau bisa, dengan mantra itu kita peras tiga belas tahun menjadi tiga belas bulan. Cara ini pasti tidak dilarang dan engkau pasti mengijinkan aku membunuh Duryodhana pada bulan keempat belas.” Mendengar kata-kata Bhima, Dharmaputra memeluknya dengan kasih sayang seorang saudara. Lalu..., untuk menahan ketidaksabaran Bhima, ia berkata, “Saudaraku tercinta, segera sesudah tiga belas tahun itu terlampaui, Arjuna dengan senjata Gandiwa dan engkau dengan gadamu akan bertempur dan membunuh Duryodhana. Bersa- barlah sampai waktu itu tiba. Duryodhana dan pengikut- pengikutnya tidak mungkin akan terlepas dari semua ini, sebab mereka sudah terlanjur tenggelam dalam lumpur dosa dan khianat. Yakinlah engkau!”
Ketika mereka sedang bercakap-cakap demikian, muncullah seorang resi tua bernama Resi Brihadaswa. Sesuai tradisi, para kesatria itu menyambut sang Resi dengan penuh hormat. Setelah mempersilakan sang Resi duduk, Yudhistira bertanya, “Resi yang kuhormati, musuh kami berbuat curang dengan mengajak kami bermain dadu. Mereka membuat kami kalah dan menipu kami hingga kami kehilangan kerajaan dan kekayaan. Mereka mengusir saudara-saudaraku yang berjiwa kesatria. Panchali dan aku mengembara di hutan ini, sementara Arjuna meninggalkan kami untuk memohon karunia senjata sakti dari dewata. Tetapi, sampai kini Arjuna belum kembali dan itu membuat kami sangat khawatir. Apakah ia akan kembali dengan senjata sakti? Dan kapan kiranya saat itu tiba? Belum pernah rasanya ada kesedihan yang begitu mendalam seperti kesedihan yang menimpa kami ini.”
Resi suci itu menjawab, “Jangan biarkan pikiranmu diliputi kedukaan. Arjuna pasti kembali dengan membawa senjata sakti dan engkau akan menaklukkan musuh- musuhmu pada waktu yang tepat. Engkau pikir, di dunia ini tak ada orang yang semalang engkau. Tidak, itu tidak benar! Memang, setiap orang dengan cara dan perasaannya sendiri menganggap kesedihannya yang paling berat di dunia, sebab segala sesuatu dirasakan lebih pahit daripada apa yang didengar dan dilihat. Apakah engkau pernah mendengar kisah Raja Nala dari Kerajaan Nishada? Ia ditipu oleh Pushkara dalam permainan dadu. Ia kehilangan kerajaan, kekayaan, dan semua miliknya. Ia juga harus mengembara di hutan seperti engkau. Tetapi ia lebih menderita karena dalam pengembaraannya ia tidak disertai saudara-saudaranya. Ia bahkan tak boleh bertemu, apalagi bercakap-cakap, dengan kaum brahmana. Karena pengaruh Batari Kali, Dewi Kegelapan, pikirannya terguncang dan ia tendang istrinya, Dewi Damayanti. Kemudian, dalam keadaan setengah gila, ia mengembara di hutan.
“Dan sekarang, bandingkan dengan keadaanmu. Engkau punya saudara-saudara yang gagah berani, istri yang setia dan dukungan dari kaum brahmana yang suci. Mereka semua setia menemanimu. Pikiranmu baik dan teguh. Memang, kasihan kepada diri sendiri adalah wajar, tetapi keadaanmu tidak seburuk penderitaan orang lain.”
Resi itu bercerita panjang lebar tentang nasib Raja Nala. Sebelum pergi, ia menutup ceritanya, “Wahai Pandawa, Nala telah menjalani cobaan yang jauh lebih berat dari apa yang kalian hadapi. Tetapi, akhirnya ia berhasil mengatasi cobaan itu dan kemudian hidup bahagia.
“Engkau memiliki kecerdasan yang kuat. Engkau selalu berada di lingkungan yang baik dan penuh limpahan kasih sayang dari kawan-kawanmu. Engkau telah menggunakan waktumu dengan sebaik-baiknya, untuk mempersembahkan jiwa dan pikiranmu kepada Dharma. Jalan untuk itu adalah bercakap-cakap dan bertukar pikiran dengan kaum brahmana ahli kitab-kitab suci Weda dan Wedanta. Pikullah segala cobaan dan derita dengan sabar dan tabah, sebab itu adalah karunia bagi manusia, dan itu bukan hanya demi kami saja.”
Bersambung...
Terimakasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Saturday, February 25, 2017

MAHABARATA 25

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
25. Arjuna dan Pasupata
Di tempat pengasingan di dalam hutan, Bhima dan Draupadi sering bercakap-cakap dengan Yudhistira. Mereka berkata bahwa amarah yang didasari kebenaran adalah benar sedangkan bersikap sabar menerima penghinaan dan pasrah menerima penderitaan bukanlah sifat kesatria sejati. Mereka berdebat sengit sambil mengutip pendapat para arif bijaksana untuk membenarkan pendapat masing-masing. Tetapi, dengan mantap Yudhistira berkata bahwa seorang kesatria haruslah teguh memegang janjinya, bahwa tahan uji adalah kebajikan paling mulia dari segala sifat manusia.
Bhima sudah tidak sabar ingin segera menyerang Duryodhana dan merebut kembali kerajaan mereka. Baginya tidak ada gunanya menjadi kesatria perkasa jika harus hidup mengembara di hutan, tanpa berperang, hanya bertapa bersama para resi dan pendita. Bhima berkata kepada Yudhistira, “Engkau seperti mereka yang berulang-ulang melantunkan kidung suci Weda dengan suara merdu dan puas mendengar suaramu sendiri walaupun engkau tak mengerti artinya. Otakmu jadi kacau. Engkau dilahirkan sebagai kesatria, tetapi tidak berpikir dan bertindak seperti kesatria. Tingkah lakumu seperti brahmana. Seharusnya kau tahu, dalam kitab- kitab suci tertulis bahwa teguh dalam kemauan dan ulet berusaha adalah ciri-ciri kaum kesatria. Kita tidak boleh membiarkan anak-anak Dritarastra berbuat curang seenaknya. Sia-sialah kelahiran seseorang sebagai kesatria jika ia tak dapat menundukkan musuh yang licik. Inilah pendapatku.
“Bagiku, masuk neraka karena memusnahkan musuh yang jahat dan licik sama artinya dengan masuk surga. Hatimu yang lemah membuat kami panas hati. Aku dan Arjuna tidak terima. Hati kami bergejolak. Siang dan malam kami tak bisa tidur.”
Ia berhenti sebentar, menghela napas, lalu melanjutkan, “Mereka orang-orang laknat yang merampas kerajaan kita dengan licik. Kini mereka hidup bergelimang kekayaan dan pesta pora. Tapi... engkau? Lihatlah dirimu! Engkau tergolek pulas seperti ular kobra kekenyangan, tak bisa bergerak. Katamu, kita harus setia pada janji kita. Bagaimana mungkin Arjuna yang masyhur bisa hidup dengan menyamar? Mungkinkah Gunung Himalaya disembunyikan dalam segenggam rumput? Bagaimana bisa Arjuna, Nakula dan Sahadewa yang berhati singa hidup dengan sembunyi- sembunyi? Apa mungkin Draupadi yang termasyhur lewat tanpa dikenali orang? Apa pun usaha kita untuk menyamar, Kaurawa pasti bisa menemukan kita melalui mata- mata mereka. Jadi, tidak mungkin kita bisa memenuhi janji ini. Semua ini hanya alasan untuk mengusir kita selama tiga belas tahun. Kitab suci Sastra membenarkan kata- kataku, yaitu: janji berdasarkan kecurangan bukanlah janji. Engkau harus putuskan untuk menggempur musuh- musuh kita sekarang juga! Bagi kesatria, tak ada kewa- jiban yang lebih mulia daripada itu.”
Tak jemu-jemunya Bhima mendesak-desakkan pendapatnya. Draupadi juga sering mengingatkan Yudhistira betapa ia telah dijamah oleh tangan-tangan kotor Duryodhana, Karna dan Duhsasana. Ia juga sering mencoba memanas-manasi Yudhistira dengan mengutip nukilan- nukilan kitab-kitab suci. Yudhistira menjawab dengan sabar bahwa ia harus
memperhitungkan semua kekuatan lawan dengan cermat. Ia menambahkan, “Musuh-musuh kita mempunyai sekutu terpercaya seperti Bhurisrawa, Bhisma, Drona, Karna dan Aswatthama. Mereka semua ahli perang dan olah senjata. Banyak raja yang kuat, besar atau kecil, kini ada di pihak mereka. Memang Bhisma dan Drona tidak senang pada watak Duryodhana, tetapi mereka tidak akan meninggalkan dia. Mereka bersedia mengorbankan jiwa raga demi kemenangan Kaurawa.
“Perang tak dapat diramalkan, kemenangan tak dapat ditentukan. Tak ada gunanya tergesa-gesa!” Demikianlah, Yudhistira terus-menerus berusaha menenangkan saudara-saudaranya yang lebih muda. Atas nasihat Bhagawan Wyasa, Arjuna pergi ke Gunung Himalaya untuk bertapa, memohon agar dikaruniai senjata-senjata baru oleh para dewata. Ia minta diri kepada saudara-saudaranya dan Panchali. Panchali berkata, “Wahai Dananjaya, semoga engkau berhasil menjalankan tugasmu. Semoga Dewata memberimu semua yang diidam-idamkan ibumu, Dewi Kunti, sejak dulu. Hidup, kebahagiaan, kehormatan dan kemakmuran kami semua tergantung padamu. Kembalilah engkau setelah memperoleh senjata-senjata baru.”
Setelah mendapat restu dari saudara-saudaranya, Arjuna memulai perjalanannya. Ia menuruni jurang yang dalam, menembus hutan belantara, mendaki tebing-tebing terjal, hingga sampai di puncak Gunung Indrakila.
Di sana ia bersua dengan seorang brahmana tua. Brahmana itu tersenyum dan berkata kepadanya, “Wahai anakku, engkau mengenakan pakaian prajurit dan membawa senjata. Siapakah engkau? Di sini, senjata tidak pernah digunakan. Sebagai kesatria, apa yang kaucari di tempat ini, tempat pertapaan orang-orang suci dan para pendita yang telah menaklukkan amarah dan nafsu?” Sesungguhnya brahmana tua itu adalah Batara Indra, raja semua dewata dan ayah Arjuna sendiri, yang sedang menyamar. Lega menemukan putranya dalam keadaan baik, ia melepaskan samarannya dan menjelma kembali menjadi Batara Indra.
Arjuna menjawab, “Aku datang dengan maksud mencari senjata. Berilah aku senjata.”
Batara Indra berkata, “Oh, Dananjaya, apa gunanya senjata? Mintalah kesenangan atau carilah tempat yang lebih tinggi di dunia ini untuk bersenang-senang.”
Arjuna menjawab, “Wahai Raja segala dewata, aku tidak menginginkan kesenangan, atau dunia yang lebih tinggi. Aku datang ke sini meninggalkan Panchali dan saudara- saudaraku di hutan. Aku hanya menginginkan senjata.”
Kemudian Batara Indra menyarankan, “Pergilah bertapa, memohon karunia Batara Shiwa, sang Dewata Bermata Tiga. Semoga engkau dikaruniai senjata mahasakti.” Setelah berkata demikian, Batara Indra menghilang dan
Arjuna meneruskan perjalanannya ke Gunung Himalaya. Ia bertapa di punggung gunung itu, memohon anugerah senjata sakti dari Batara Shiwa.
Ketika Arjuna sedang bertapa, datanglah Batara Shiwa dan Dewi Uma, sakti-nya, ke dalam hutan itu dengan menyamar sebagai pemburu. Mereka berburu dengan ribut. Seekor babi hutan lari kalang kabut menuju tempat Arjuna bertapa. Melihat babi liar itu lari mendekat, Arjuna mengangkat busurnya, membidikkan anak panahnya. Bersamaan dengan lepasnya anak panah dari busur Arjuna, meluncur pulalah panah Pinaka milik Batara Shiwa. Dua-duanya tepat mengenai sasaran.
Arjuna berteriak lantang, “Siapakah engkau? Mengapa engkau pergi berburu bersama istrimu? Kenapa engkau lancang memanah babi hutan yang kupanah?”
Pemburu itu menjawab dengan tenang, “Hutan ini kepunyaan kami yang hidup di sini dan sejak dulu ini memang hutan perburuan. Engkau kelihatan tak sesigap pemburu pada umumnya. Keseluruhan dirimu menunjukkan bahwa engkau biasa hidup nyaman di kota. Sesungguhnya, akulah yang lebih pantas bertanya, apa yang kaucari di sini. Lagi pula, akulah yang membunuh babi hutan itu.”
Mendengar itu Arjuna tersinggung. Ia menantang pemburu itu untuk bertarung. Si pemburu menerima tantangannya.
Dengan tangkas Arjuna melompat, mengangkat busur lalu melepaskan anak-anak panah dengan cepat, susul- menyusul seperti ular menjulur mematuk pemburu itu. Tetapi alangkah kagetnya Arjuna, pemburu itu bisa mengelak dengan mudah. Ibarat air hujan jatuh di pasir, semua anak panahnya lenyap tak berbekas. Ketika anak panahnya habis, Arjuna menggunakan busurnya untuk menyerang, tetapi pemburu itu menepisnya sambil tertawa. Kini Arjuna tak punya panah dan busur lagi. Ia heran melihat pemburu sederhana yang sakti luar biasa itu. Arjuna menghunus pedangnya lalu menikam pemburu itu beberapa kali. Bukannya pemburu itu terluka, malahan pedang Arjuna yang patah berkeping-keping. Arjuna tak punya senjata lagi. Tetapi ia terus melawan. Tiba-tiba pemburu itu menyambarnya, memegangnya erat-erat dan mengikatnya dengan rantai besi hingga Arjuna lemas tak bisa berkutik lagi.
Dalam keadaan tak berdaya, Arjuna mengheningkan cipta dan memohon kepada Batara Shiwa. Seketika itu, muncul seleret cahaya berkilat dalam jiwanya dan ... tampak olehnya sosok Batara Shiwa. Arjuna tersadar, pemburu itu adalah Batara Shiwa yang menyamar. Maka ia segera bersimpuh dan menyembahnya, memohon ampun atas kesalahannya yang tak disengaja. Batara Shiwa mengampuninya dan mengembalikan Gandiwa dan pedang Arjuna.
Dalam perkelahian dengan Batara Shiwa, badan Arjuna berulang-ulang bersentuhan dengan Batara mahasakti bermata tiga itu. Karena itu, tanpa setahunya, ia menjadi lebih kuat dan cekatan seratus kali lipat.
Sebelum kembali ke kahyangan, Batara Shiwa menghadiahkan Pasupata, senjata yang sangat ampuh, sambil berkata, “Pergilah ke kahyangan dan temui ayahmu, Batara Indra, untuk menyampaikan hormat dan baktimu kepa-danya.”
Setelah berkata demikian Batara Shiwa pun lenyap dari pandangan. Sesaat kemudian Matali, pengemudi kereta Batara Indra, menjemput Arjuna untuk dibawa ke kerajaan para dewata.
Bersambung...
Terimakasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Friday, February 24, 2017

MAHABARATA 24




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
24. Sumpah Setia Krishna
Salwa sangat marah ketika mendengar berita terbunuhnya Sisupala oleh Krishna pada waktu upacara besar rajasuya yang diadakan Yudhistira di Indraprastha. Salwa, sahabat Sisupala, tahu benar bahwa Krishna dan Sisupala memang bermusuhan walaupun mereka saudara sepupu karena Basudewa, ayah Krishna, kakak-beradik dengan Srutadewi, ibu Sisupala. Pangkal permusuhan itu adalah Dewi Rukmini, kekasih Sisupala yang dilarikan dan diperistri oleh Krishna. Sebagai teman sejati yang ingin membalas dendam atas kematian Sisupala, Salwa dan pasukannya menyerang Dwaraka, ibukota kerajaan Krishna. Ketika itu Krishna masih berada di Indraprastha dan semua urusan sehari-hari kerajaan dilaksanakan oleh Ugrasena. Walaupun sudah lanjut usia, dengan sekuat tenaga Ugrasena mempertahankan ibukota Dwaraka dari serangan Salwa.
Ibukota Dwaraka dikelilingi benteng yang sangat kuat dan didirikan di sebuah pulau yang dilengkapi persenjataan luar biasa. Di dalam benteng didirikan kemah-kemah untuk menyimpan persenjataan dan persediaan makanan dalam jumlah sangat besar. Balatentara Dwaraka yang sangat banyak jumlahnya dipimpin oleh perwira-perwira yang cakap. Ugrasena mengumumkan keadaan perang. Pada malam hari rakyat dianjurkan untuk tidak pergi ke tempat-tempat hiburan. Semua jembatan dan pantai dijaga ketat. Kapal-kapal dilarang berlabuh. Semua jalan keluar masuk ibukota dipasangi rintangan berupa batang-batang pohon berduri. Penjagaan diperketat. Setiap orang yang keluar atau masuk ibukota diperiksa, tanpa kecuali. Singkatnya, segala sesuatu diterapkan dengan keras dan tegas agar ibukota bisa dipertahankan. Balatentara Dwaraka diperbanyak dengan memanggil pemuda-pemuda yang sudah teruji kebugaran dan ketangkasannya berolah senjata. Tetapi... pertahanan sekokoh itu tak mampu menahan serangan balatentara Salwa yang perkasa dan bersenjata lengkap. Serangan mereka begitu hebat sehingga ibukota Dwaraka rusak berat. Ketika kembali, Krishna sangat kaget dan marah melihat ibukota Dwaraka telah dihancurkan balatentara Salwa. Ia lalu mengerahkan kekuatan yang ada untuk membalas serangan Salwa. Setelah bertempur dengan sengit, balatentara Dwaraka berhasil mengalahkan balatentara Salwa. Ketika itulah Krishna mendengar berita tentang kekalahan Pandawa dalam permainan dadu di Hastinapura. Segera ia bersiap untuk menemui Pandawa di hutan tempat pengasingan mereka. Banyak yang ikut bersamanya, antara lain orang- orang terkemuka dari Bhoja, Wrishni dan Kekaya, dan Raja Dristaketu dari Kerajaan Chedi. Dristaketu adalah anak Sisupala, tetapi ia sangat kecewa mendengar tentang kebusukan hati Duryodhana. Ia meramalkan bahwa bumi ini akan menghisap darah manusia-manusia jahat seperti putra Dritarastra itu. Draupadi mendekati Krishna dan menceritakan penghinaan yang dialaminya dengan suara terputus-putus dan air mata berlinang-linang. “Aku diseret ke depan persidangan. Anak-anak Dritarastra menghinaku dengan sangat keji. Mereka menelanjangi aku dan mengira aku akan sudi menjadi budak mereka. Mereka perlakukan aku seperti perlakuan mereka terhadap dayang-dayang di Hastinapura. Lebih menyakitkan hati adalah sikap Bhisma dan Dritarastra yang seolah-olah lupa akan asal kelahiranku dan hubunganku dengan mereka.
“Wahai, Janardana*, suami-suamiku pun tidak melindungi aku dari penghinaan manusia-manusia bejat itu. Kekuatan raga Bhima yang perkasa dan senjata Gandiwa Arjuna yang sakti tak ada artinya. Orang yang paling lemah sekali pun, jika mendapat penghinaan sekeji itu pasti akan bangkit melawan. Tetapi ... Pandawa yang terkenal sebagai pahlawan-pahlawan masyhur malah tidak melakukan apa- apa. Aku, putri raja dan menantu Raja Pandu, diseret ke depan persidangan dengan rambut dicengkeram. Aku, istri lima pahlawan besar merasa terhina sehina-hinanya. Wahai Madhusudana*, engkau pun telah meninggalkan aku.” Sambil berkata-kata demikian, sekujur tubuh Draupadi bergetar karena marah dan sakit hati yang tak tertanggungkan.
Krishna sangat terharu dan mencoba menghibur Draupadi yang menangis tersedu-sedu. Katanya, “Mereka yang telah menghinamu kelak akan binasa dalam perang besar yang penuh pertumpahan darah. Hapuslah air matamu! Aku berjanji, segala penghinaan yang menimpamu akan dibalas setimpal. Aku akan menolong Pandawa dalam segala hal. Engkau pasti akan menjadi permaisuri Raja- diraja Yang Agung. Langit boleh runtuh, Gunung Himalaya boleh terbelah, bumi boleh retak, lautan boleh kering, tetapi kata-kataku ini akan kupegang teguh! Aku bersumpah di hadapanmu.”
Demikianlah Krishna bersumpah di hadapan Draupadi, seperti dinyatakan dalam kitab-kitab suci, “Demi melindungi kebenaran, dimusnahkanlah kejahatan. Demi memegang teguh dharma, aku dilahirkan ke dunia dari abad ke abad.”
Dristadyumna menghibur Draupadi dengan berkata, “Hapuslah air matamu, adikku. Aku akan membunuh Drona, Srikandi akan menewaskan Bhisma, Bhima akan melenyapkan nyawa Duryodhana dan saudara-saudaranya, sedangkan Arjuna akan menamatkan Karna, anak sais kereta kuda itu.”
Krishna berkata lagi, “Ketika peristiwa sedih itu menimpa dirimu, aku sedang berada di Dwaraka. Andaikata aku ada di Hastinapura, aku pasti takkan membiarkan kecurangan itu terjadi. Walaupun tidak diundang, kalau tahu aku pasti akan datang untuk mengingatkan Drona, Kripa, dan para kesatria tua lainnya akan tugas kewajiban mereka yang suci. Aku pasti akan mencegah permainan curang itu dengan jalan apa pun. Ketika Sakuni menipumu, aku sedang bertempur melawan Raja Salwa yang menyerang Dwaraka. Aku baru mendengar tentang ini setelah mengalahkannya. Aku sangat sedih mendengarnya, lebih-lebih karena aku tak kuasa segera menghapus dukamu. Ibarat membetulkan bendungan rusak, tidak bisa langsung selesai dan untuk sementara air tetap merembes.” Setelah ber- kata demikian, Krishna minta diri untuk kembali ke Dwaraka bersama Subadra, adiknya yang diperistri Arjuna dan Abimanyu, keponakannya.
Dristadyumna kembali ke Panchala, membawa anak- anak Draupadi dari kelima suaminya, yaitu: Pratiwindhya anak Yudhistira, Srutasoma anak Bhima, Srutakritti anak Arjuna, Satanika anak Nakula, dan Srutakarman anak Sahadewa.
Bersambung....
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Thursday, February 23, 2017

MAHABARATA 23




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
23. Dritarastra Selalu Cemas
Melihat Pandawa berangkat meninggalkan kerajaan menuju hutan tempat mereka dibuang, rakyat merasa sedih. Mereka keluar rumah berjajar di pinggir jalan, naik ke pohon-pohon dan atap rumah-rumah, hendak mengu- capkan selamat jalan kepada Pandawa. Para pedagang dan putra-putra bangsawan yang sedang melintas dengan menunggang gajah atau kuda segera berhenti dan menepi, memberi jalan kepada Pandawa. Mereka memberi salam hormat dan simpati. Pandawa yang biasanya keluar istana menunggang kuda gagah atau naik kereta megah, kini berjalan dengan kaki telanjang dan pakaian kumal menuju hutan belantara.
Raja Dritarastra memanggil Widura dan memintanya menceritakan suasana keberangkatan Pandawa ke tempat pengasingan mereka. Berkatalah Widura, “Yudhistira berjalan dengan wajah ditutupi sehelai kain. Bhima berjalan di sebelahnya dengan wajah tertunduk. Arjuna berjalan paling depan sambil menaburkan pasir sepanjang jalan. Nakula dan Sahadewa berjalan di belakang Yudhistira. Badan mereka penuh debu. Draupadi berjalan di samping Dharmaputra. Rambutnya yang indah panjang terurai menutupi wajahnya yang basah karena air mata. Resi Dhaumya mengiringkan mereka sambil mengidungkan madah suci Sama yang ditujukan kepada Batara Yama, Dewa Kematian.”
Mendengar cerita Widura, Dritarastra semakin sedih dan cemas. Ia bertanya lagi, “Bagaimana reaksi rakyat?” Widura menjawab, “Tuanku Raja, aku akan ulangi kata-kata yang mereka ucapkan. Mereka berasal dari semua lapisan dan golongan masyarakat: ‘Pemimpin kita telah meninggalkan kita. Celakalah bangsa Kuru yang membiarkan ini terjadi! Anak-anak Dritarastra, terkutuklah kalian karena telah mengusir putra-putra Pandu ke hutan.’
“Sementara rakyat menuduh dan menyalahkan kita, dunia menjadi gelap, langit diliputi mendung tebal, guruh menggelegar, halilintar menyambar-nyambar, dan bumi bergoncang. Semua itu pertanda buruk yang mengusik ketenangan hati rakyat.”
Ketika Dritarastra dan Widura sedang bercakap-cakap, tiba-tiba Bhagawan Narada muncul di hadapan mereka dan bersabda, “Empat belas tahun yang akan datang, terhitung dari hari ini, Kaurawa akan punah, terkikis habis dari dunia akibat perbuatan jahat Duryodhana.” Setelah bersabda begitu, Bhagawan Narada lenyap dari pandangan.
Duryodhana dan saudara-saudaranya menjadi cemas. Mereka buru-buru menemui Drona, memohon padanya agar jangan meninggalkan mereka apa pun yang akan terjadi.
Dengan sedih Drona menjawab, “Aku percaya pada mereka yang bijaksana, yang mengatakan bahwa Pandawa berasal dari keturunan suci dan tidak mungkin dikalahkan. Tetapi, kewajibanku adalah bertempur di pihak putra- putra Dritarastra yang telah mengangkatku sebagai mahaguru mereka. Jiwa dan ragaku kupersembahkan bagi tanah ini karena hasil buminya telah menghidupiku selama ini. Aku akan berjuang untuk kalian, tapi ajalku ada di tangan Yang Kuasa. Kelak, Pandawa pasti akan kembali dari pembuangan dengan amarah dan dendam yang tak terlukiskan.
“Aku tahu apa artinya perasaan itu, sebab aku telah menggulingkan dan menghina Raja Drupada karena kemarahan dan dendamku kepadanya. Dengan dendam membara yang tak dapat diredakan lagi, Drupada melakukan upacara korban agar dianugerahi anak laki-laki yang kelak akan membunuhku. Kabarnya anak itu diberi nama Dristadyumna. Seperti telah ditakdirkan, ia menjadi ipar Pandawa dan sekutu tepercaya mereka. Segala sesuatu bergerak sesuai garis takdir. Demikianlah, semua perbuatanmu menuju ke arah itu dan hari-harimu dapat dihitung. Sebab itu, jangan buang-buang waktu untuk berbuat kebajikan karena engkau mampu melakukannya. Lakukan upacara-upacara korban besar. Bersenang-senanglah kalian dengan segala macam kesenangan yang tak tercela dan tak terkutuk. Berikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Segala kutuk dan laknat akan mengepung kalian di tahun keempat belas.
“Wahai Duryodhana, berdamailah engkau dengan Yudhistira. Ingat baik-baik nasihatku ini. Tapi, sudah tentu engkau dapat melakukan apa pun yang kauinginkan.”
Duryodhana sangat kecewa mendengar kata-kata Drona.
Sementara itu, Sanjaya, sais kereta pribadi Raja Dritarastra bertanya kepada tuannya, “Tuanku Raja, kenapa Tuanku kelihataan bersusah hati?”
Dritarastra menjawab, “Bagaimana aku tidak sedih mengetahui Pandawa dihina dan dilukai hatinya?”
Sanjaya bertanya, “Apa yang Tuanku katakan itu benar. Orang yang menyimpang dari jalan kebenaran berarti lupa daratan, tidak tahu mana yang buruk dan mana yang baik. Waktu memusnahkan segalanya, tanpa menggunakan gada atau menghantam kepala orang sampai pecah. Tetapi, dengan menghancurkan pertimbangan baiknya, orang menjadi gila dan mengundang kehancurannya sendiri. Secara keterlaluan putra-putra Tuanku telah menghina Panchali, putri dari Kerajaaan Panchala, alias Draupadi. Mereka telah menyediakan jalan mereka sendiri menuju kemusnahan.”
Dritarastra berkata, “Aku tidak mengikuti jalan menuju kebajikan dharma dan pemerintahan yang baik, tetapi membiarkan diriku dibawa ke jalan salah oleh anakku yang gila harta dan kuasa. Seperti katamu, kita telah mempercayakan diri kita diseret waktu menuju jurang keruntuhan.”
Biasanya Widura memberi nasihat kepada Dritarastra
secara jujur. Ia sering berkata bahwa Duryodhana telah melakukan kesalahan-kesalahan besar dan baru-baru ini telah menipu Dharmaputra. Widura juga berkata bahwa adalah kewajiban Drona untuk membawa Kaurawa ke jalan benar dan menjauhkan mereka dari jalan kejahatan. Selanjutnya ia menyarankan agar Yudhistira dan saudara- saudaranya dipanggil dari hutan pengasingan untuk berdamai dengan dia. Tegasnya, harus ada yang menghentikan Duryodhana untuk berbuat yang bukan-bukan dan, bila perlu, sekali-sekali dengan kekerasan. Pada mulanya Dritarastra diam saja dan menyimak kata-kata Widura. Meski demikian, dengan hati sedih ia mengakui bahwa sesungguhnya Widura lebih bijaksana daripada dirinya. Widura selalu mengharapkan hal-hal yang baik bagi Dritarastra. Ia senantiasa berdoa untuk kesehatan dan keselamatan rajanya. Tetapi lama-lama kesabaran Dritarastra hilang karena bosan mendengar khotbah-khotbah tentang pekerti luhur. Pada suatu hari, ketika kesabarannya sudah habis dan dia bosan mendengar nasihat-nasihat Widura, Dritarastra berkata lantang, “Hai Widura, diamlah! Engkau selalu bicara dengan nada memihak Pandawa dan menjelek-jelekkan anak-anakku. Engkau tidak pernah menghargai kebaikan kami. Ketahuilah, Duryodhana terlahir dari darah dagingku. Bagaimana mungkin aku mengenyahkan dia? Apa perlunya engkau menasihatiku tentang pekerti-pekerti luhur? Aku tidak percaya lagi padamu dan aku tidak membutuhkan engkau lagi. Kalau kau mau, kau bebas mengikuti Pandawa ke mana pun.” Sambil berkata demikian ia bangkit membelakangi Widura, lalu masuk ke balai peristirahatannya.
Widura, putra Bhagawan Wyasa, terkenal sebagai orang paling bijaksana di antara kaum cendekiawan. Ia juga menjadi penasihat Kaurawa dan Pandawa. Dengan sedih ia membayangkan kehancuran bangsa Kuru yang tak terhindarkan. Mendengar kata-kata Dritarastra, ia bergegas keluar istana, mengambil keretanya, lalu melecut kudanya agar berlari sekencang-kencangnya. Demikianlah, ia melesat cepat bagaikan menunggang angin, menyusupi hutan rimba untuk menemui Pandawa dalam pembuangan.
Sepeninggal Widura, hati Dritarastra semakin gundah. Ia sangat menyesal karena tidak menghalang-halangi putranya. Dengan penyesalan yang amat dalam, ia berkata pada dirinya sendiri, “Apa yang telah aku perbuat? Aku malah menambah kekuatan Pandawa dengan mengusir Widura yang bijaksana dan membuatnya memihak mereka.”
Pikirannya semakin kalut dan sedih hatinya tak tertahankan lagi. Akhirnya ia mengutus Sanjaya, menteri kepercayaannya, untuk menemui Widura dan menyam paikan penyesalannya. Sanjaya juga harus berkata bahwa Dritarastra mengharapkan mereka kembali ke Hastinapura.
Sanjaya, utusan istimewa itu, segera berangkat ke hutan. Di dalam hutan, di sebuah pertapaan, ia bertemu dengan Pandawa. Saat itu Pandawa mengenakan pakaian dari kulit kijang dan dikelilingi banyak resi dan pendita. Ia juga bertemu Widura di sana. Setelah dipersilakan duduk, Sanjaya menyampaikan pesan Dritarastra dan menambahkan bahwa raja buta itu akan mangkat dengan perasaan putus asa jika Widura tidak bersedia kembali ke Hastinapura. Widura yang berhati seputih kapas dan selalu memegang teguh dharma, merasa terharu. Ia menyatakan bersedia kembali ke Hastinapura. Demikianlah, Widura kembali ke Hastinapura bersama
Sanjaya. Sampai di istana, ia langsung dipeluk oleh Dritarastra dengan air mata berlinang-linang. Mereka berjanji untuk melupakan perseteruan mereka dan menghapus semua kenangan buruk dari ingatan masing-masing.
***
Pada suatu hari Resi Maitreya datang ke istana Raja Dritarastra dan diterima dengan penuh kehormatan. Dritarastra sangat mengharapkan restu resi itu. Katanya, “Wahai Resi yang kuhormati, aku yakin, Resi pasti bersua dengan anak-anak Pandawa yang kucintai di rimba Kurujanggala. Apakah mereka sehat-sehat? Apakah rasa saling mengasihi dalam keluarga kami takkan pernah berkurang sedikit pun?”
Resi Maitreya menjawab, “Kebetulan aku bertemu dengan Yudhistira di hutan Kamyaka. Para resi di hutan itu berdatangan menemui dia. Dari sana aku tahu apa yang telah terjadi di Hastinapura. Aku sangat terkejut karena peristiwa itu bisa terjadi dan dibiarkan terjadi ketika Tuanku Raja dan Bhisma masih ada.”
Kemudian Resi Maitreya menemui Duryodhana. Ia menasihati Duryodhana demi kebaikan pangeran itu sendiri. Dinasihatinya Duryodhana untuk tidak bermusuhan dengan Pandawa karena kecuali sakti dan perkasa, Pandawa juga bersekutu dengan Drupada dan Krishna. Tetapi Duryodhana yang keras kepala, gila harta dan gila kuasa itu hanya tertawa, menepuk-nepuk pahanya dan meludah dengan congkak. Ia tidak menyahut apa-apa dan pergi begitu saja.
Resi Maitreya menjadi berang. Sambil memandang Duryodhana, ia berkata, “Dasar sombong! Kau menyombongkan diri, menepuk pahamu dan meludah sembarangan untuk menghina orang yang mendoakan segala kebaikan dan keselamatan untukmu. Ingatlah, pahamu yang engkau tepuk itu akan belah menjadi dua ditusuk tombak Bhimasena dan engkau sendiri akan mati dalam pertempuran.”
Mendengar kutuk-pastu Resi Maitreya itu, Dritarastra melompat berdiri lalu menyembah Resi itu, memintakan maaf untuk anaknya. Tetapi Resi Maitreya yang sakti itu berkata, “Kutuk pastuku tidak akan mempan jika putramu mau berdamai dengan Pandawa. Tetapi kalau tidak, beranikah engkau menghadapi akibatnya?!” Setelah berkata demikian, Resi Maitreya meninggalkan istana dengan perasaan kecewa.
Bersambung....
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau