Friday, March 31, 2017

MAHABHARATA 49 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
49. Jayadrata Harus Ditumpas II
Bagaikan ular kobra raksasa, Mahaguru Drona menyerang Satyaki yang menantangnya dengan berkata, “Engkau brahmana yang meninggalkan kewajibanmu sebagai pendita dan memilih berlaga di medan perang. Engkau membuat Pandawa terpaksa bertempur mati-matian. Engkau membuat Duryodhana semakin sombong. Engkau harus menerima buah perbuatanmu.”
Sungguh sengit pertarungan Satyaki dengan Drona. Pasukan kedua pihak sampai berhenti berperang. Para penonton kagum melihat pertarungan dua senapati sakti itu. Berkali-kali kereta mereka bertumbukan. Panji-panji mereka sudah jatuh. Meskipun masing-masing luka parah, mereka tetap bertempur dengan gagah berani. Setiap anak panah yang dilepaskan Drona selalu berhasil dipatahkan oleh Satyaki dengan menghantam busur Drona. Tidak kurang dari seratus busur Drona telah dipatahkan Satyaki.
Drona berkata dalam hati, “Kesatria ini pantas disejajarkan dengan Sri Rama, Kartawirya, Arjuna, atau Bhisma.” Ia menyerang Satyaki dengan senjata penyembur api. Serangan itu dibalas Satyaki dengan senjata penyembur air.
Akhirnya, betapa pun kuatnya Satyaki, ia lemas dan kehilangan banyak tenaga karena luka-lukanya. Mengetahui itu, Drona bersiap untuk menyerang, seperti seekor kucing hendak menerkam anak burung. Melihat itu, Yudhistira segera memerintahkan para perwira yang ada di dekatnya untuk menyelamatkan Satyaki. Untunglah mereka berhasil.
Baru saja Satyaki berhasil diselamatkan, Yudhistira mendengar bunyi trompet kerang Krishna melengking nyaring. Tetapi, ia tidak mendengar bunyi desing anak panah yang dilepaskan dari Gandiwa Arjuna. Yudhistira cemas, tidak mungkin terompet kerang Krishna dibunyikan tanpa dibarengi ledakan Gandiwa Arjuna. Pasti Arjuna terkena malapetaka, pikir Yudhistira. Pasti Arjuna dikepung musuh. Mungkin malah sudah dibunuh dan Krishna terpaksa mengangkat senjata dan melawan Kaurawa.
Ia memanggil Satyaki dan berkata kepadanya, “Satyaki, engkau sahabat Arjuna yang terdekat. Tak ada yang tak dapat kaulakukan untuk menolong Arjuna. Aku yakin, Arjuna pasti sudah dikepung musuh. Jayadrata adalah kesatria sakti yang didukung berpuluh-puluh kesatria terbaik Kaurawa. Waktu kami hidup dalam pengasingan, Arjuna pernah berkata bahwa tak ada prajurit yang sebaik Satyaki. Pergilah engkau segera, bantulah Arjuna!”
Dalam keadaan masih lemas, Satyaki menjawab, “Wahai Raja yang tak pernah berbuat dosa, aku akan lakukan perintahmu. Apa yang tidak kulakukan demi Arjuna? Nyawaku bagaikan setitik embun dalam samudera, tak ada artinya. Demikianlah pengabdianku kepada Pandawa. Tetapi ijinkan aku mengatakan bahwa Krishna dan Arjuna telah berpesan: sesaat pun aku tidak boleh meninggalkanmu sebelum mereka kembali dari menghabisi Jayadrata. Kata mereka, ‘Waspadalah dalam menjaga Yudhistira. Kami percayakan keselamatannya padamu. Drona berniat menculiknya.’
“Demikian pesan mereka. Sekarang kauperintahkan aku menolong Arjuna. Sesungguhnya kesaktian Arjuna tidak perlu disangsikan. Kekuatan Jayadrata dan para kesatria yang mengelilinginya tidak lebih dari seperenambelas kekuatan Arjuna. Kalau aku pergi, kepada siapa aku dapat mempercayakan keselamatanmu, Dharmaputra? Tak seorang pun di sini yang dapat menahan serangan Drona kalau ia datang menculikmu. Pikirkanlah masak-masak!”
“Satyaki, aku telah pikirkan masak-masak. Pergilah engkau dengan ijinku. Jangan khawatir, di sini ada Bhima, Dristadyumna dan yang lain. Jangan khawatirkan diriku,” kata Yudhistira yang lalu menyuruh orang menyiapkan senjata dan kereta untuk Satyaki.
“Bhimasena, jagalah Dharmaputra. Hati-hatilah engkau,” kata Satyaki kepada Bhima sesaat sebelum ia melecut kudanya menuju ke tempat Arjuna bertempur melawan Jayadrata.
Mengetahui Satyaki pergi, Drona kembali menyerang Yudhistira dengan serangan yang lebih hebat dan pasukan lebih kuat.
Sudah lewat tengah hari, tetapi Arjuna belum juga kembali. Demikian pula Satyaki. Yudhistira cemas dan bingung, lebih-lebih karena pasukan Kaurawa yang dipimpin Drona semakin dekat.
“Bhima, aku makin cemas. Matahari telah condong ke barat, tetapi tidak ada tanda-tanda mereka akan kembali,” kata Yudhistira kepada Bhimasena.
“Aku belum pernah melihat engkau bingung seperti sekarang,” jawab Bhima. “Katakan apa yang harus kulakukan. Jangan biarkan pikiranmu terbenam dalam rasa cemas.”
“Bhimasena, aku khawatir saudaramu telah tewas dibunuh musuh. Bunyi trompet Krishna tanpa dibarengi ledakan Gandiwa Arjuna membuatku bingung. Mungkin Krishna sudah mengangkat senjata, padahal ia telah bersumpah tidak akan mengangkat senjata. Pergilah engkau, bergabunglah dengan mereka dan Satyaki. Lakukan apa yang harus kaulakukan dan kembalilah segera. Jika bertemu mereka dalam keadaaan hidup, mengaumlah seperti singa — auman yang biasa engkau perdengarkan,” perintah Yudhistira kepada Bhimasena.
“Raja yang kuhormati, jangan engkau bingung. Aku akan pergi menuruti perintahmu,” jawab Bhima. Ia menoleh kepada Dristadyumna dan berkata kepadanya, “Panchala, kau tahu secara terperinci niat Drona menangkap Dharmaputra hidup-hidup untuk diserahkan kepada Duryodhana. Tugas kita yang utama adalah menyelamatkan dia. Tetapi aku harus taat pada perintahnya. Aku percayakan dia kepadamu. Jagalah dia baik-baik!”
Dalam perjalanan menuju tempat Arjuna, Bhima harus bertempur melawan pasukan Kaurawa yang dipimpin Drona. Bagaikan seekor singa menerjang gerombolan rusa, Bhima membunuh sebelas putra Maharaja Dritarastra hingga ia berada dekat sekali dengan Drona. Gurunya itu berkata bahwa Bhima tidak bisa lewat begitu saja tanpa lebih dulu mengalahkannya. Drona mengira Bhima akan berbuat seperti Arjuna ketika menerobos pasukan Kaurawa untuk mencapai tempat Jayadrata, yaitu dengan penuh hormat menghindari gurunya.
Tetapi Bhimasena lain. Dengan tegas ia membalas tantangan Drona. Katanya, “Wahai Brahmana, bukan karena ijinmu Arjuna dapat menerobos pasukan Kaurawa. Yang benar, itu terjadi karena engkau memang setengah hati melawan Arjuna. Arjuna selalu sangat menghormatimu. Dengan aku urusannya lain! Dulu engkau memang guruku, sekaligus ayah bagi kami. Tetapi sekarang engkau musuhku. Dulu kami menghormatimu. Tetapi sekarang engkau sendiri telah memutuskan untuk menjadi musuh kami. Baiklah, kau menentukan pilihan dengan sadar. Bagi kami, tidak ada pilihan lain.”
Sambil berkata demikian, Bhima melemparkan gada ke
kereta Drona. Kereta itu hancur! Drona mengganti keretanya dengan yang baru. Tetapi begitu diganti, ia digempur lagi oleh Bhimasena. Delapan kereta Drona diremukkan. Selanjutnya Drona dibantu pasukan Negeri Bhoja, tetapi pasukan itu juga dilumpuhkan Bhimasena. Kesatria Pandawa itu maju sampai ke dekat tempat Arjuna bertarung melawan Jayadrata.
Segera setelah melihat Arjuna, Bhimasena mengaum bagai singa lapar. Suaranya berkumandang di udara. Krishna dan Arjuna mendengar Bhima mengaum, lalu membalas dengan isyarat penuh kegembiraan. Sayup- sayup Dharmaputra mendengar auman Bhima. Maka hilanglah segala kecemasan dan keraguannya. Serta merta ia memanjatkan doa dan mengucapkan mantra demi keselamatan Arjuna.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Thursday, March 30, 2017

MAHABHARATA 49




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
49. Jayadrata Harus Ditumpas I
Sumpah Arjuna bahwa ia akan membunuh Jayadrata, putra Raja Wridaksatra, sebelum matahari terbenam terdengar oleh pihak Kaurawa lewat mata-mata mereka. Pada waktu Jayadrata lahir, ayahnya mendengar suara gaib yang berkata, “Kelak bayi ini akan mencapai kemasyhuran dan kebesaran, dan akan tewas di tangan musuhnya dalam suatu pertempuran besar. Dengan demikian, ia akan mencapai tempat yang layak bagi seorang kesatria di alam baka. Ia akan menemui ajalnya dengan kepala terpisah dari tubuhnya.”
Raja Wridaksatra sedih mendengar suara gaib yang meramalkan kematian anaknya kelak. Dengan hati kusut dan pikiran kacau ia mengucapkan kutuk-pastu, “Siapa yang kelak menyebabkan kepala anakku terguling-guling di tanah, kepalanya akan pecah berantakan.”
Ketika Jayadrata telah dewasa, Raja Wridaksatra menyerahkan Kerajaan Sindhu kepadanya. Kemudian ia menyepi ke hutan untuk bertapa. Hutan tempatnya bertapa kebetulan dekat dengan padang Kurukshetra, tempat berlangsungnya perang besar Bharatayuda.
“Aku tidak ingin terlibat lagi dalam peperangan ini. Aku akan kembali ke negeriku,” kata Jayadrata kepada Duryodhana setelah mendengar berita tentang sumpah Arjuna.
“Jangan khawatir, Saudaraku. Semua kesatria perkasa ada di pihak kita. Kami senantiasa siap melindungimu jika keselamatanmu terancam. Karna, Citrasena, Bhurisrawa, Salya, Drona, Sakuni, Purumitra, Satyawrata, Duhsasana, Wikarna, Durmukha, Subahu, Awanti, dan aku sendiri siap membelamu. Hari ini aku akan mengerahkan seluruh balatentara Kaurawa untuk melindungimu dari serangan Arjuna. Jangan khawatir, engkau tidak perlu pergi hari ini,” kata Duryodhana membujuk Jayadrata agar tidak meninggalkan perkemahan Kaurawa.
Untuk meyakinkan diri, Jayadrata pergi menemui Mahaguru Drona. Ia berkata, “Mahaguruku, engkau telah mengajar kami, aku dan Arjuna. Engkau sangat mengenal kami berdua. Bagaimana penilaianmu terhadap kami berdua?”
Drona menjawab demikian, “Anakku, aku telah selesaikan tugasku sebagai guru, mengajar engkau berdua tanpa pilih kasih. Ajaran yang kuberikan kepadamu dan kepada Arjuna sama. Tetapi, rupanya Arjuna lebih maju karena usahanya sendiri. Ia rajin menempuh berbagai bahaya, mencari pengalaman dan berlatih dengan tekun. Tapi, engkau tidak perlu cemas karena pasukan yang amat kuat akan ditempatkan di depanmu. Arjuna pasti sulit menembusnya.
“Bertempurlah sesuai tradisi para pendahulumu yang gagah berani. Kematian akan menjumpai kita semua, tanpa kecuali. Kesatria yang mati di medan pertempuran akan mencapai surga dengan mudah. Hilangkan kecemasanmu dan berjuanglah!”
Setelah berkata demikian, Mahaguru Drona mengatur balatentara Kaurawa dalam formasi bunga teratai. Di pusat bunga itu, Jayadrata aman terlindung dan berada kira-kira 180 pal di belakang barisan paling luar. Ia didamping pasukan yang dipimpin Bhurisrawa, Karna, Aswatthama, Salya, Wrishasena dan Kripa.
Lingkaran pasukan paling dalam diatur dalam formasi bunga teratai, langsung dipimpin Drona. Di depannya, berjajar pasukan dalam formasi pakis sebagai pasukan tempur. Mahasenapati Drona naik kereta kebesaran yang ditarik empat ekor kuda berbulu cokelat abu-abu, dihiasi panji-panji lambangnya sebagai mahasenapati. Ia berdiri di kereta, mengenakan mahkota mahasenapati dan membawa busur panah putih cemerlang dan senjata-senjata sakti lainnya. Keperkasaan mahasenapati itu membuat Duryodhana yakin bahwa hari itu Kaurawa pasti menang.
Demikianlah, di hari keempat belas, dengan kekuatan seribu kereta perang, seratus barisan gajah, tiga ribu barisan pasukan berkuda, sepuluh ribu prajurit peretas jalan, dan seribu lima ratus prajurit penyergap, Kaurawa maju ke medan perang. Di ujung depan berdiri Durmashana, salah satu putra Dritarastra. Ia ditugaskan untuk meniup terompet dan meneriakkan tantangan kepada Arjuna. Tantangan itu diterima Arjuna, yang telah maju sampai sejauh selemparan anak panah dari Durmashana.
Pasukan penyergap yang dipimpin Durmashana kocar- kacir karena mendadak diserang oleh Arjuna. Duhsasana mencoba menolong saudaranya, tetapi dikalahkan Arjuna dan terpaksa melarikan diri, berlindung pada Drona. Arjuna lalu berhadapan dengan Drona. Setelah menyembah gurunya, ia berkata bahwa kedatangannya adalah untuk membalas kematian Abhimanyu dan melaksanakan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata. Kata-katanya dijawab Drona dengan ucapan bahwa Arjuna takkan bisa maju sebelum berhasil menaklukkan dirinya.
Maka kedua kesatria itu saling membidikkan anak panah. Drona menggunakan panah api, Arjuna membalas dengan panah air. Perang panah itu berlangsung cukup lama. Masing-masing sama saktinya dan sama-sama memiliki panah sakti. Suatu kali, kedua panah mereka berbenturan, menimbulkan ledakan dan membuat langit tiba- tiba menjadi gelap.
Pada kesempatan itulah Krishna menasihati Arjuna agar menyelinap, menghindari Drona, lalu menembus pasukan Kaurawa dari samping sambil maju sampai ke tempat Jayadrata.
Arjuna berhasil menembus pertahanan Kaurawa lalu berhadapan dengan pasukan Negeri Bhoja. Di bawah pimpinan Kritawarma dan Sudakshina, dalam sekejap mata pasukan itu dapat dikalahkan oleh Arjuna. Putra Pandu itu kemudian berhadapan dengan Srutayudha, putra Dewi Parnasa, yang telah bertapa dan memperoleh senjata sakti dari Batara Baruna.
Senjata sakti itu diberikan kepada Srutayudha dengan pesan bahwa tak ada musuh yang akan dapat menaklukkannya. Tetapi, senjata itu tidak boleh digunakan untuk melawan orang yang tidak bertempur, sebab ia akan berbalik menyerang pemiliknya. Dalam pergulatan melawan Arjuna, Srutayudha menggunakan senjata itu untuk menggempur Krishna, sais kereta Arjuna. Ia tidak tahu, Krishna telah bersumpah tidak akan mengangkat senjata dalam pertempuran Bharatayuda. Sewaktu ia membidikkan senjatanya ke arah Krishna untuk melumpuhkan kereta Arjuna, senjata tersebut berbalik ke arahnya dan menembus dadanya sendiri. Tewaslah Srutayudha. Raja Negeri Kamboja, saudara Srutayudha, bersama
kedua putranya, menggantikannya menghadapi Arjuna. Mereka bertiga gugur di tangan Arjuna yang sedang mengamuk.
Duryodhana cemas melihat cepatnya Arjuna menembus pertahanan Kaurawa. Ia segera menemui Drona dan memprotes sikap mahaguru itu, “Arjuna menyebabkan pasukan kita kocar-kacir. Mereka yang mengelilingi Jayadrata yakin, tidak akan semudah itu Arjuna menerobos pasukan kita. Buktinya, sekarang ia sudah hampir mendekati Raja Sindhu. Para prajuritku sudah kehilangan keberanian. Arjuna dapat melewatimu tanpa perlawanan. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres. Rupanya engkau memihak Pandawa dan membiarkan anak Pandu itu menghabisi para prajuritku tanpa perlawanan berarti.
“Ketahuilah, aku telah menahan Jayadrata agar jangan kembali ke negerinya. Sekarang Arjuna akan menggempurnya. Jayadrata pasti akan menemui ajalnya. Aku merasa berdosa. Pergilah engkau dan selamatkanlah nyawa Raja Sindhu.”
Mendengar kata-kata Duryodhana, Drona menjawab, “Tuanku Raja, tak ada gunanya aku menanggapi kata- katamu yang kauucapkan tanpa dipikirkan lebih dahulu.
“Wahai muridku, bagiku engkau tak beda dengan anakku sendiri. Ambil senjata ini dan hadang Arjuna. Aku tidak bisa meninggalkan medan ini, sebab Yudhistira akan segera sampai di sini bersama pasukannya yang paling kuat.
“Lihatlah asap dan debu yang menandakan gerakan pasukan Pandawa. Yudhistira maju tanpa didampingi Arjuna. Ini kesempatan bagi kita untuk menculik dia. Kita tidak boleh membatalkan rencana kita untuk menangkap dia hidup-hidup. Kalau aku pergi menggempur Arjuna, pasukan kita akan berantakan. Pergilah engkau berbekal senjata yang dapat memusnahkan musuh. Kenakan jubah yang tidak bisa ditembus senjata apa pun. Semoga engkau berhasil dan menang!” kata Drona dengan sabar.
Setelah menerima senjata sakti dari Drona dan mengenakan jubah gaib, dengan diiringkan pasukan amat besar Duryodhana menyerang Arjuna dengan hati mantap. Sementara itu, Arjuna sudah jauh menembus formasi pasukan Kaurawa. Waktu Krishna hendak menghentikan keretanya dan membiarkan kuda-kudanya beristirahat sebentar, tiba-tiba dua bersaudara, Winda dan Anuwinda, menyerangnya. Tetapi, seperti para kesatria sebelumnya, dengan mudah Arjuna menewaskan mereka.
Ketika Arjuna dan Krishna sedang duduk-duduk beristirahat dan kuda mereka sedang makan rumput, dari kejauhan Duryodhana datang mendekat sambil berteriak lantang, “Kata orang engkau gagah berani dan pandai bertempur. Aku belum pernah melihat kehebatanmu dengan mataku sendiri. Sekarang aku ingin menyaksikan kemahiranmu berperang. Hai Arjuna, bangkitlah!”
Arjuna dan Duryodhana bertempur dengan hebat. Krishna heran sebab setiap anak panah yang dilepaskan dari Gandiwanya mental, tak bisa melukai Duryodhana. Ia lalu berkata, “Aneh! Apakah Gandiwamu sudah kehilangan kesaktiannya? Tak satu pun anak panahmu bisa melukai Duryodhana. Seperti batang ilalang, anak panahmu berjatuhan setelah menyentuh tubuhnya. Aku bingung.”
Arjuna tersenyum sambil berkata, “Ya, aku tahu. Duryodhana pasti mendapat pinjaman senjata dari Drona. Mahaguru pernah mengajarkan padaku, bagaimana caranya melumpuhkan kekebalan dan kesaktian senjata itu. Engkau akan melihat kejadian lucu nanti.”
Sambil berkata demikian, Arjuna terus melepaskan anak panahnya untuk melumpuhkan kuda, kereta, dan sais Duryodhana. Pikirnya, pasukan Kaurawa akan mudah dilucuti. Kemudian Arjuna melepaskan sebatang anak panah kecil yang mengandung racun penyengat ke arah tubuh Duryodhana yang tidak tertutup jubah. Bagaikan disengat lebah besar beracun, Duryodhana lari sambil berteriak-teriak kesakitan. Anak panah kecil itu tepat mengenai tubuhnya. Kemudian Krishna meniup trompet kerangnya. Bunyinya menggema sampai terdengar oleh pasukan yang mengawal Jayadrata. Mereka kaget sekali. Para senapati mereka, yaitu Karna, Salya, Bhurisrawa, Aswatthama, Wisbasena, Chala dan Jayadrata lalu menyiagakan pasukan mereka masing-masing.
Sementara itu, Dristadyumna, yang dengan mahir mengemudikan keretanya yang ditarik empat kuda berbulu putih seputih bulu merpati. Ia menyerang Drona, menebas tali kekang kuda-kuda penarik keretanya dan menyusulnya dengan serangan dari tangga dan dari samping kereta. Alangkah perkasanya kedua kesatria itu. Sebentar mendekat, kemudian menjauh, lalu mendekat lagi. Masing- masing dengan kereta dan kuda yang tegap dan kokoh.
Pertarungan itu berlangsung lama. Drona tidak mudah
ditaklukkan. Nyawa Dristadyumna nyaris melayang kalau tidak diselamatkan oleh Satyaki. Pada saat yang genting, kesatria itu datang mendekat sambil merentangkan busurnya dan membidik busur Drona. Kena! Dristadyumna dapat diselamatkan, sementara para kesatria yang terluka dilarikan ke tempat yang aman.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Wednesday, March 29, 2017

MAHABHARATA 48 bagian 2

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
48. Abhimanyu Gugur II
Berita kematian Abhimanyu sampai ke telinga Yudhistira. Alangkah sedih hatinya menerima berita itu, lebih-lebih ketika ia tahu bahwa kemenakannya itu gugur karena diperlakukan secara teramat kejam. Penyesalannya semakin memuncak karena dialah yang menyuruh Abhimanyu menggantikan ayahnya.
“Abhimanyu telah tiada. Dalam pertempuran ia dapat mengalahkan Drona, Aswatthama, Duryodhana dan lainnya. Serangannya bagaikan api yang berkobar membakar hutan kering.
“Oh, kesatria muda, engkau yang membuat Duhsasana lari seperti pengecut kini telah tiada. Apa gunanya aku berperang? Menang pun takkan membuatku senang. Apa gunanya aku menginginkan kerajaan? Kata-kata apakah yang bisa kusampaikan kepada ayahmu untuk mengabarkan kematianmu? Apa pula yang harus kukatakan kepada Dewi Subadra? Dia pasti akan sedih, seperti induk lembu kehilangan anaknya. Bagaimana aku dapat mengucapkan kata-kata penghiburan untuk menghapus duka mereka?
“Benarlah nafsu serakah dapat menghancurkan iktikad baik manusia. Seperti si pandir hendak mencari madu dan jatuh ke dalam jurang. Aku memimpikan kemenangan dengan menyuruh kemenakanku maju ke medan pertempuran. Padahal, masa depan terbentang luas baginya. Tak ada orang setolol aku di dunia ini. Aku telah menyebabkan terbunuhnya putra kesayangan Arjuna, yang semestinya aku lindungi selama ayahnya tidak ada.” Demikian Dharmaputra berucap sambil berurai air mata. Ia dikelilingi para penasihat dan sahabatnya yang tunduk terdiam diliputi rasa duka.
Dalam situasi demikian, datang Bagawan Wyasa. Kedatangannya sungguh sangat diharapkan. Setelah mempersilakan resi agung itu duduk, Yudhistira mengungkapkan perasaannya, “Bapa Resi yang kuhormati, aku telah berusaha keras untuk memperoleh ketenangan jiwa, tetapi aku tidak sanggup mencapainya.”
“Engkau orang bijaksana. Sebenarnya engkau tahu cara
memperolehnya. Tidak pantas engkau biarkan dirimu dirundung duka terus-menerus. Engkau tahu apa artinya kematian.
“Dengar, ketika Brahma menciptakan makhluk hidup, Dia diliputi rasa cemas. Jiwa makhluk ini berkembang dengan pesat dan pada suatu ketika jumlah mereka menjadi terlalu banyak untuk dipikul dunia ini. Agaknya tidak ada jalan lain untuk mengatasi kesulitan ini. Pikiran Brahma yang diliputi rasa cemas menjelma menjadi nyala api, makin lama makin besar, menjadi api raksasa yang memusnahkan segala makhluk ciptaanNya. Tetapi syukurlah, Rudra segera datang dan memohon kepada Brahma agar menenangkan api yang membawa kemusnahan itu. Brahma memperhatikan permohonan Rudra, lalu mengendalikan api yang mengerikan itu dan menggantinya dengan suatu hukum yang kemudian dikenal sebagai “kematian”. Hukum Brahma, Pencipta Alam Semesta, dijelmakan olehNya dalam berbagai bentuk, misalnya perang, wabah, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya, demi menjaga keseimbangan antara kelahiran dan kematian. Kematian adalah hukum yang tidak bisa dihindari dan merupakan bagian dari hidup. Keduanya harus berimbang, seperti dititahkan demi kebaikan dunia.
“Tak pantaslah bersedih hati berlebihan, menangisi mereka yang sudah mati. Tidak ada alasan untuk menyayangkan mereka yang berpulang ke rahmat Hyang Tunggal. Ada lebih banyak alasan untuk bersedih bagi mereka yang masih hidup.” Demikian Bagawan Wyasa dengan penuh kasih seorang resi yang agung menenangkan hati dan pikiran Yudhistira.
Sementara itu, Arjuna dan Krishna sedang dalam perjalanan kembali dari pertempuran di selatan.
Arjuna berkata, “Krishna, aku tidak tahu kenapa pikiranku kacau. Mulutku terasa kering dan hatiku berdebardebar. Aku merasa sesuatu yang buruk telah terjadi. Aku mencemaskan keselamatan Yudhistira,” kata Arjuna memecah kesunyian.
“Janganlah engkau risaukan keselamatan Yudhistira. Dia dan saudara-saudaramu pasti selamat,” jawab Krishna.
Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk melakukan puja sandikala, berdoa di saat pergantian siang menjadi malam. Kemudian meneruskan perjalanan mereka. Setelah dekat ke perkemahan, mereka turun dari kereta lalu berjalan kaki. Arjuna semakin gundah. Lebih-lebih karena ia tidak mendengar bunyi alat musik ditabuh dan suara orang menyanyi.
“Janardana, kenapa kita tidak mendengar bunyi alat musik dan suara orang-orang menyanyi seperti biasa? Lihat, lihat ... para prajurit itu menundukkan kepala. Mengapa mereka menyambut kedatangan kita dengan cara seperti itu? Ini aneh sekali.
“Wahai Krishna, aku cemas. Apakah engkau masih berpikir saudara-saudaraku semua selamat? Aku bingung. Abhimanyu dan anak-anakku yang lain tidak menyambutku seperti biasa,” kata Arjuna makin cemas.
Ketika masuk ke dalam kemah Yudhistira, mereka melihat wajah-wajah tertunduk muram. Arjuna tidak dapat lagi menahan diri untuk tidak bertanya. Katanya, “Kenapa kalian semua berwajah muram? Aku tidak melihat Abhimanyu. Kenapa aku tidak melihat wajah-wajah riang menyambut kemenanganku? Aku dengar Drona menyerang kita dengan pasukan yang ditata dalam formasi kembang teratai. Tidak seorang pun di antara kalian yang dapat menembus formasi seperti itu. Apakah Abhimanyu memaksa diri untuk maju ke depan? Kalau begitu, ia pasti tewas, sebab aku belum pernah mengajarkan padanya bagaimana caranya keluar dari formasi seperti itu. Oh, ia pasti tewas terbunuh!”
Karena mereka tidak ada yang menjawab dan semua semakin tunduk tak berani menatap matanya, maka yakinlah Arjuna bahwa Abhimanyu telah tewas. Hatinya serasa dihantam godam, remuk redam. Air matanya bercucuran. Dengan terputus-putus ia berkata, “Ya Hyang Widhi, anakku tercinta telah menjadi tamu Batara Yama. Yudhistira, Bhimasena, Dristadyumna dan Satyaki, apakah kalian biarkan anak Subadra tewas di tangan musuh? Ya Hyang Tunggal, apa yang harus kukatakan kepada Subadra untuk menghibur hatinya? Apa yang harus kukatakan kepada Draupadi? Apa yang harus kusampaikan kepada Uttari untuk menghibur hatinya? Siapakah yang sanggup menyampaikan kabar ini kepada mereka?”
“Arjuna yang kucintai,” kata Krishna dengan penuh iba. “Jangan biarkan hatimu lama berduka. Terlahir sebagai kesatria, pantaslah kita mati di ujung senjata. Kematian adalah teman bagi kita yang telah bertekad mengangkat senjata dan pergi berperang. Dengan penuh keyakinan, kita takkan mundur setapak pun. Kesatria sejati harus bersedia mati muda!
“Abhimanyu, sebagai kesatria muda, telah mencapai tempat yang layak di hadapan Hyang Tunggal. Ia telah mencapai apa yang selalu diidam-idamkan para kesatria tua di medan perang: gugur sebagai pahlawan. Dan memang demikianlah kematian yang layak baginya, seperti tertulis dalam kitab-kitab suci.
“Kalau kaubiarkan hatimu terus berduka berlebihan,
saudara-saudara dan sekutu-sekutumu akan ikut sedih. Mereka bisa patah semangat dan kehilangan pegangan. Singkirkan dukamu dan coba tanamkan kepercayaan dan keberanian lagi di hati mereka.”
Arjuna yang masih berduka hanya ingin mendengarkan kisah kematian anaknya. Akhirnya Yudhistira menceritakan peristiwa itu, mulai dari saat Abhimanyu menerima perintahnya untuk menembus formasi pasukan Kaurawa hingga gugurnya kesatria muda itu karena dikeroyok oleh musuh dan diperlakukan dengan kekejaman di luar batas.
“Memang aku yang menyuruhnya maju menembus formasi pasukan musuh. Kami berharap bisa menyusulnya dari belakang. Aku yakin, kecuali kau, hanya Abhimanyu, dialah satu-satunya yang bisa melakukannya. Ia memang berhasil menembus formasi pasukan musuh dan kami menyusulnya seperti rencana semula. Tetapi tiba-tiba Jayadrata dan ribuan pasukannya datang. Mereka menutup jalan yang sudah dibuka oleh Abhimanyu. Kami gugup, tak siap, dan kalah dalam jumlah. Sungguh memalukan, kami tidak bisa menolong Abhimanyu hingga putramu itu tewas dibunuh secara keji.”
Setelah mendengar kisah kematian anaknya, Arjuna bersumpah, “Besok, sebelum matahari terbenam, aku akan bunuh Jayadrata yang menyebabkan kematian anakku. Jika Drona dan Kripa menghalangiku, akan kubunuh kedua Mahaguru itu.”
Setelah mengucapkan sumpahnya, Arjuna melepaskan anak panah Gandiwa. Segera setelah itu, Krishna meniup trompet kerang Panchajaya dan Bhimasena berkata, “Lepasnya anak panah dari Gandiwa Arjuna dan tiupan trompet Panchajaya Krishna berarti kematian bagi semua anak Dritarastra.”
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Tuesday, March 28, 2017

MAHABHARATA 48




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
48. Abhimanyu Gugur
Brahmana yang kuhormati, sebetulnya kemarin Yudhistira bisa kau tangkap jika kau memang menghendakinya. Tidak seorang pun dapat menghalangimu. Tetapi engkau tidak melaksanakan rencanamu dan membiarkan kesempatan terbaik berlalu begitu saja. Aku tidak mengerti mengapa kau tidak bisa melaksanakan janjimu. Benarlah kata orang, orang-orang besar memang sulit dimengerti,” demikian kata Duryodhana kepada Mahasenapati Drona di pagi hari ketiga belas.
“Putra Mahkota Duryodhana, aku telah berusaha dengan segala kekuatan dan kemampuanku. Rupanya engkau hanya menuruti pikiranmu yang tidak wajar sebagai raja. Engkau sebenarnya tahu, selama Arjuna masih hidup, kita takkan bisa menculik Yudhistira. Sejak semula hal ini sudah kujelaskan padamu. Hanya ada satu cara untuk memisahkan mereka, yaitu memaksa mereka bertempur di medan yang berbeda. Kita sudah mencoba cara itu, tapi gagal. Hari ini kita coba lagi. Janganlah engkau cepat patah semangat,” kata Mahaguru Drona sambil menahan amarahnya.
Pada hari ketiga belas, Arjuna ditantang lagi dengan sumpah Samsaptaka di ujung selatan medan pertempuran. Sesuai rencana, Drona mengatur serangannya ke induk pasukan Pandawa dengan formasi kembang teratai. Dalam induk pasukan Pandawa ada Yudhistira, Dristadyumna, Bhimasena, Satyaki, Drupada, Chekitana, Gatotkaca, Kuntiboja, Yudhamanyu, Srikandi, Uttamaujas, Wirata, Raja Kekaya, Raja Srinaya dan para kesatria lainnya. Semua lengkap dikawal anak buah masing-masing. Yudhistira mengerti betul formasi pasukan Drona. Dipanggilnya Abhimanyu, kemenakannya yang masih muda dan tampan. Seperti Arjuna, ayahnya, Abhimanyu amat mahir menggunakan bermacam-macam senjata.
“Anakku, Mahaguru Drona hari ini akan menyerang kita secara besar-besaran. Ayahmu telah berangkat ke medan pertempuran di selatan. Kalau dia tak ada, kita bisa dikalahkan musuh dan itu akan menjadi malapetaka besar bagi kita. Tidak seorang pun di antara kita yang akan mampu menembus formasi Drona, kecuali ayahmu dan mungkin engkau. Paman berharap, engkau bersedia melakukan tugas ini,” kata Yudhistira kepada Abhimanyu.
“Ya, Paman, aku bersedia melakukannya. Ayah pernah
mengajarkan cara menembus formasi seperti itu, tetapi aku belum pernah mempelajari cara keluarnya,” jawab kesatria muda itu.
“Anakku yang gagah berani, tembuslah formasi yang kokoh itu dan buatlah jalan masuk agar kami dapat mengikutimu dari belakang. Selanjutnya, kami semua akan membantumu,” tambah Yudhistira.
Pendapat Dharmaputra didukung Bhimasena, yang
harus segera menyusul kemenakannya jika Abhimanyu telah berhasil masuk ke dalam formasi kembang teratai itu. Di belakang Bhimasena akan menyusul Dristadyumna, Satyaki, Raja Panchala, Raja Kekaya, dan pasukan Kerajaan Matsyadesa. Ingat akan ajaran ayahnya dan Krishna serta meresapkan dorongan semangat dari paman-pamannya, Abhimanyu berkata, “Baiklah, aku akan memenuhi harapan ayahku dan pamanku. Kupertaruhkan keberanian dan nyawaku demi kemenangan Pandawa.”
Yudhistira memberi restu kepada kesatria muda itu. Dengan kereta kesayangannya yang dikemudikan Sumitra, Abhimanyu berangkat melakukan tugas suci yang dipercayakan kepadanya oleh pamannya. Kereta yang ditarik empat ekor kuda gagah itu segera meluncur menembus jantung formasi kembang teratai, bagaikan seekor singa membelah gerombolan gajah perkasa.
Kedatangan Abhimanyu di tengah-tengah kekuatan Kaurawa membuat sebagian prajurit Kaurawa cemas. Mereka tahu benar, kesatria muda itu hampir sama sakti dan mahirnya dengan ayahnya, Arjuna.Ketika Abhimanyu maju dengan perkasa, pasukan Kaurawa mundur dan terbelah dua. Jayadrata, raja Negeri Sindhu, yang memihak Kaurawa adalah seorang ahli siasat dan taktik pertempuran yang disegani lawan maupun kawan. Ia memotong belahan yang dibuat Abhimanyu, membuat kesatria muda itu terperangkap. Bhimasena dan yang lain tercegat, tak bisa menyusul Abhimanyu dan harus berhadapan dengan pasukan yang dipimpin oleh Jayadrata. Kendati demikian, Abhimanyu terus maju menyerang musuh yang beribu-ribu jumlahnya. Ia menyerang ke kanan dan ke kiri, tidak peduli siapa pun yang dihadapinya. Tidak terhitung banyaknya korban di pihak Kaurawa yang jatuh bagai pohon-pohon bertumbangan diamuk angin topan. Tombak, gada, pedang, busur, anak panah dan bola-bola besi berserakan di mana-mana. Mayat-mayat bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa lengan; ada yang badannya terbelah. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.
Melihat ini, Duryodhana merasa perlu untuk maju menghadapi Abhimanyu. Mahaguru Drona yang tahu benar kekuatan, keberanian dan tekad Abhimanyu, terpaksa mengirimkan bala bantuan untuk mengawal Duryodhana agar pangeran Kaurawa itu tidak tewas di tangan Abhimanyu. Duryodhana nyaris tewas, tetapi sempat diselamatkan oleh para pengawalnya. Akhirnya, tanpa malu atau segan, para senapati Kaurawa melanggar semua aturan perang. Beramai-ramai mereka mengeroyok putra Arjuna, dari segala penjuru dan dengan segala macam cara. Drona, Aswatthama, Kripa, Karna, Sakuni, Duhsasana dan para kesatria besar yang patut dihormati, tanpa malu atau tanpa ragu menyerang Abhimanyu yang sendirian tanpa pasukan dan tanpa bala bantuan di tengah ribuan musuhnya. Abhimanyu bagaikan perahu kecil yang tak berdaya digulung gelombang yang susul-menyusul di lautan mahaluas ketika badai topan mengamuk dengan dahsyatnya. Tetapi dengan penuh tekad Abhimanyu terus memberikan perlawanan, bagai perahu yang terus maju memecah ombak dan melawan angin. Asmaka menyerang Abhimanyu dengan menabrakkan keretanya yang dipacu sekencang angin. Tetapi Abhimanyu menghadapinya sambil tersenyum. Pertarungan yang tak seimbang antara seorang kesatria muda yang belum berpengalaman melawan puluhan kesatria sakti yang sudah berpengalaman membuat orang iba kepada Abhimanyu. Ia berhasil menghancurkan senjata Karna dan menyerang Salya hingga kedua kesatria yang sudah tidak muda lagi itu terluka parah. Saudara Salya membalas dengan menggempur Abhimanyu, tetapi ia juga dapat dikalahkan. Abhimanyu menghancurkan keretanya.
Drona terharu menyaksikan Abhimanyu bertempur dengan gagah berani. Ia berkata kepada Kripa, “Adakah yang bisa menandingi keberanian Abhimanyu? Sungguh ia pemuda yang perkasa dan berani!”
Duryodhana, yang kebetulan berdiri di dekat Kripa,
tersinggung mendengar kata-kata Drona. Ia memang cepat naik darah.
“Guru selalu memihak Arjuna. Guru tidak mau membunuh Abhimanyu,” kata Duryodhana dengan curiga, seperti ketika mencurigai Bhisma. Memang, sejak kecil Duryodhana sudah berwatak buruk. Segala perbuatannya mendorongnya untuk menambah kesalahan dan dosanya. Kelak ia akan memetik karmaphala atas perbuatannya sendiri.
Duhsasana malu, tetapi juga benci dan iri melihat keberanian Abhimanyu. Sambil berteriak lantang ia menantang Abhimanyu, “Hai anak muda, engkau pasti mampus di tanganku,”
Begitu selesai mengucapkan tantangannya, ia segera menyerbu. Serangannya dihadapi Abhimanyu dengan mantap. Beberapa saat kemudian, Abhimanyu dapat menaklukkan Duhsasana. Untuk terakhir kalinya, Abhimanyu melontarkan bola besi, tepat mengenai kepala Duhsasana. Kesatria Kaurawa itu jatuh terkapar di dalam keretanya, tidak sadarkan diri. Untunglah, saisnya secepat kilat membawanya lari mundur untuk diselamatkan. Sementara itu induk pasukan Pandawa tidak bisa lagi menyusul Abhimanyu karena dihalang-halangi pasukan yang dipimpin Jayadrata, menantu Dritarastra. Jayadrata menyerang Yudhistira. Dharmaputra melemparkan tombaknya, tepat mengenai busur Raja Sindhu itu. Tetapi, dengan busur baru Jayadrata memanah Dharmaputra, tepat mengenai keretanya. Bhimasena membantu Yudhistira dengan memanah kereta Jayadrata, tepat mengenai payung kebesaran dan panji-panjinya. Jayadrata membalas dengan melesatkan empat anak panah sekaligus. Keempat kuda Bhimasena tewas seketika. Bhima terpaksa melompat ke kereta Satyaki.
Bagaikan banjir bandang melanda dusun, sawah, dan ladang, Abhimanyu terus maju menerjang. Tak terbilang banyaknya korban berjatuhan di tangan kesatria muda unggulan Pandawa itu. Putra Duryodhana, Laksamana, yang juga masih muda dan gagah berani, maju menghadapi Abhimanyu. Putra Dewi Subadra dan Arjuna itu menyambut Laksmana dengan lontaran bola besi yang berkilauan. Bola besi itu melesat cepat, tepat menembus dada cucu Dritarastra. Kesatria itu terpelanting jatuh, tewas seketika. Kaurawa sedih kehilangan Laksmana, putra Duryodhana, junjungan mereka.
Mendengar kabar kematian putranya, Duryodhana mengamuk. Ia berteriak lantang, mengancam Abhimanyu, “Hai Abhimanyu! Berani benar kau membunuh putra kesayanganku. Terimalah pembalasanku!” Ia segera memerintahkan keenam kesatria Kaurawa yang telah berpengalaman, yaitu Drona, Kripa, Karna, Aswatthama, Brihatbala dan Kritawarma untuk mengepung putra Arjuna itu dari belakang, depan, samping kanan dan samping kiri.
“Tidak mungkin menundukkan pemuda ini tanpa melumpuhkan keretanya lebih dahulu,” teriak Drona. Ia menyuruh Karna membidik tali kekang dan keempat kuda Abhimanyu sebelum menyerang kesatria itu.
Tanpa malu para kesatria Kaurawa melanggar aturan perang dan menyerang Abhimanyu dari segala arah. Panah Karna memutus tali kekang hingga keempat kuda penarik kereta itu tak terkendali. Kemudian, Karna menyerang Sumitra, sais kereta, dan keempat kuda itu. Sumitra dan keempat kuda itu mati seketika. Tetapi, Abhimanyu terus maju melawan musuh-musuhnya dengan pedangnya! Semua lawannya kagum dan dalam hati merasa malu melihat ketangkasan dan keberanian kesatria muda itu. Drona menebas pedang Abhimanyu hingga patah berkeping-keping, sementara Karna menghancurkan perisainya dengan bidikan anak panah. Abhimanyu terus melawan. Diambilnya roda keretanya yang sudah berantakan dan digunakannya sebagai senjata cakra. Diayun-ayunkannya roda itu dan ditumbukkannya pada siapa saja yang berani mendekatinya.
Dalam keadaan demikian, Abhimanyu serentak diserbu dengan berbagai macam senjata, seperti tombak, gada, busur, panah, perisai, lembing, pedang, dan sebagainya. Roda kereta yang digunakannya sebagai cakra hancur berantakan. Tetapi Abhimanyu terus melawan. Ia menerjang salah satu putra Duhsasana lalu bergumul dengan hebat.
Tetapi... seberapakah kekuatan seseorang tanpa senjata tanpa pengawal dan dikeroyok oleh beratus-ratus musuh? Dengan kekuatan yang tersisa di raganya, Abhimanyu masih dapat menarik kaki lawannya hingga mereka jatuh bersama ke tanah.
Begitu Abhimanyu jatuh, para Kaurawa segera mengha-
bisinya. Ada yang menombak, ada yang memanah, ada yang menusuk-nusuk dengan lembing, ada yang memukul dengan gada, ada yang mencongkel-congkel dengan busur. Pendek kata, semua siksaan kejam terkutuk itu ditimpakan ke tubuh Abhimanyu yang sudah penuh luka. Semua itu dilakukan Kaurawa sambil bersorak-sorak. Seperti setan dan iblis, mereka menari-nari mengelilingi jasad Abhimanyu yang sudah tidak berbentuk.
Yuyutsu, salah satu putra Dritarastra yang ikut mengeroyok Abhimanyu merasa sangat kecewa dan marah melihat perbuatan para senapati Kaurawa.
“Cara kalian membunuh Abhimanyu sungguh sangat tercela! Tuan-Tuan adalah kesatria besar. Apakah Tuan-Tuan telah melupakan etika dan moral dalam berperang? Seharusnya Tuan-Tuan malu karena perbuatan keji ini. Sungguh tak pantas berteriak-teriak dan menari-nari di atas mayat musuh yang Tuan-Tuan bunuh secara jahat dan keji. Apakah pantas perbuatan Tuan-Tuan itu? Sekarang Tuan-Tuan bisa bergembira, tetapi kelak Tuan-Tuan pasti memetik hasil ‘kemenangan’ Tuan-Tuan yang kejam.” Setelah berkata demikian, dengan muak Yuyutsu melemparkan semua senjatanya lalu meninggalkan medan Kurukshetra untuk selama-lamanya. Ia tidak takut mati di medan pertempuran, tetapi ia muak melihat perbuatan keji seperti yang dilakukan oleh para senapati Kaurawa itu. Ia tahu benar bahwa perbuatan seperti itu bukan perbuatan kesatria sejati. Ia menyindir para senapati Kaurawa dengan kata-kata tajam. Mungkin mereka menganggap Yuyutsu pengkhianat, tetapi sebenarnya, dialah yang memiliki iktikad baik dan jujur, sesuai dengan hati nuraninya sebagai kesatria.
“Yang jahat akan tetap jahat, yang keji tetap harus dihukum, yang berbuat sesuatu tetap harus memetik buahnya.”
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Monday, March 27, 2017

MAHABHARATA 47 bagian 3

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
47. Rencana Penculikan Yudhistira III
Sementara itu, Duryodhana berpendapat bahwa untuk menaklukkan Bhimasena perhatian kesatria itu harus dialihkan ke gelanggang lain. Ia akan memimpin dan mengerahkan pasukan gajah secara besar-besaran. Sewaktu berhadapan dengan Duryodhana, Bhimasena mempertahankan diri dengan gagah. Bhima melemparkan tombaknya yang berujung pisau bulan sabit, tepat mengenai busur dan panji-panji Duryodhana yang langsung rontok ke tanah. Akhirnya Duryodhana dibantu Raja Angga dalam memimpin pasukan gajah.
Bhimasena terus-menerus melontarkan tombak saktinya ke arah Raja Angga. Salah satu tombaknya mengenai gajah yang ditunggangi raja itu, sementara tombak yang lain mengenai tubuhnya. Seketika itu juga, tewaslah Raja Angga bersama gajahnya. Melihat itu, balatentara Kaurawa menjadi bingung. Mereka berlarian ke sana kemari, simpang siur tak tentu arah. Mereka membuat gajah-gajah yang lain panik dan kalang kabut berlarian.Tak sedikit prajurit yang mati terinjak-injak. Bhagadatta, raja Negeri Pragjotisa, mempunyai seekor gajah bernama Supratika yang termashyur di seluruh dunia. Gajah perkasa itu menerjang Bhimasena dan dengan belalainya yang kuat membuat kereta Bhima rusak terlipat-lipat. Sesaat Bhima terpelanting, kereta dan kudanya remuk digilas gajah itu hingga tak berbentuk lagi. Pada waktu jatuh, Bhimasena dapat menguasai diri dan dengan cepat berhasil menyelinap ke bawah binatang itu. Bhima tahu betul bagaimana caranya menghadapi gajah yang sedang mengamuk dan tahu benar bagian-bagian lemah badan seekor gajah. Sambil bergayut pada salah satu kaki gajah itu, Bhima menusuk-nusuk titik-titik lemah di tubuh Supratika hingga gajah itu melengking kesakitan. Dengan belalainya, Supratika mencoba melepaskan Bhima dari kakinya, tetapi parang tajam Bhima menebasnya. Dengan belalai yang tertebas, Supratika semakin ganas mengamuk karena kesakitan. Semua yang ada di dekatnya hancur. Tetapi Bhimasena tetap bergayut pada kakinya dan terus menusuk-nusuk perut gajah itu. Ibarat jengkerik digelitik, gajah itu mengamuk kalang kabut. Ketika Bhimasena tidak muncul-muncul dari bawah tubuh si gajah, anak buahnya berteriak-teriak mengatakan Bhima tewas diinjak-injak Supratika. Yudhistira mendengar teriakan itu, kemudian memberi isyarat kepada Raja Dasarma yang juga menunggang gajah. Dasarma lalu menggempur Bhagadatta. Kedua gajah itu bertarung sengit. Tetapi Supratika memang gajah paling unggul. Ketika mereka sedang seru-serunya berkelahi, Bhima menyelinap keluar dari kaki Supratika. Ia selamat. Satyaki maju menyerang Bhagadatta. Meskipun sudah lanjut usianya, rambutnya sudah putih, dahinya penuh kerutan, alisnya jatuh menutupi mata, punggungnya sudah bungkuk, dan kulitnya sudah kisut, Bhagadatta bertarung dengan perkasa. Setapak pun ia tidak mau mundur. Dengan penuh semangat ia menggempur Pandawa, bagaikan Bhatara Indra yang mengendarai Airawata melawan balatentara raksasa. Satyaki yang menyerang diterjangnya, kereta dan kudanya diterjang gajah Supratika sampai remuk. Bhimasena dan Satyaki yang dapat menyelamatkan diri segera mempersenjatai diri dan bersiap untuk bertarung lagi dengan Bhagadatta. Kesatria tua itu sungguh sangat mengagumkan. Supratika, gajahnya, telah dilatih sejak kecil dan sangat mahir menggunakan belalainya. Supratika menyemburkan cairan beracun dari belalainya. Siapa pun, kuda atau gajah, yang berani mendekatinya pasti mati terkena racunnya.
Seluruh medan Kurukshetra panik karena amukan Supratika. Pasukan Pandawa terpaksa lari menyelamatkan diri. Gajah dan kuda menjadi liar, berlarian ke sana kemari, saling bertumbukan. Medan pertempuan menjadi redup dan keruh, penuh debu beterbangan. Derap langkah kaki-kaki gajah membahana, debu mengepul tinggi ke angkasa. Saat itu Arjuna sedang menghadapi pasukan Susarma yang telah bersumpah, “Arjuna harus mati atau mereka yang hancur.” Melihat kepanikan yang ditimbulkan Bhaga- datta dan gajah Supratika, Arjuna menyuruh sais keretanya untuk memutar haluan dan memacu kereta ke arah Bhagadatta. Kesatria tua dan gajahnya itu sungguh sakti tiada bandingnya dan jika dibiarkan tanpa perlawanan pasti akan menghancurkan semangat Pandawa. Ketika Krishna membelokkan kereta Arjuna, Susarma
dan saudara-saudaranya berteriak-teriak, menyumpahi dan mengatai Arjuna pengecut. Mereka terus berteriak- teriak sambil menyerang Arjuna dari belakang, “Dasar pengecut! Kau bukan kesatria! Kau tak berani menantang sumpah Samsaptaka!”
Mendengar teriakan dan caci-maki mereka, Arjuna menjadi bingung. Apakah akan terus menyerang Bhagadatta yang sedang mengamuk, atau menghadapi sisa-sisa pasukan Trigarta. Tepat ketika Arjuna ragu-ragu dan lengah, Susarma melontarkan dua butir bola besi, satu mengenai Arjuna, satunya mengenai Krishna. Mereka terluka. Untunglah lukanya tidak parah. Segera Arjuna membalas dengan lontaran tiga bola besi. Tiga-tiganya tepat mengenai Susarma. Melihat itu, saudara-saudara dan anak buah
Susarma langsung lari terbirit-birit.
Kesempatan itu digunakan Krishna untuk melarikan keretanya menuju ke tempat Bhagadatta. Kesatria tua itu tak kenal lelah, terus mengamuk bersama gajahnya, Supratika. Arjuna dan Bhagadatta saling menyerang dengan panah. Arjuna berhasil menghancurkan perisai gajah Supratika hingga remuk. Gajah itu jatuh terjerembap, mukanya membentur tanah dengan keras dan kepalanya hancur berkeping-keping. Sebaliknya, tombak Bhagadatta tepat mengenai ketopong Arjuna, membuat ketopong itu terlontar jatuh.
Setelah memusatkan hati dan berdoa sebentar, Arjuna menantang Bhagadatta, “Wahai Bhagadatta, kesatria lanjut usia. Pandanglah dunia ini sekali lagi dan bersiaplah untuk mati!”
Setelah berkata demikian, Arjuna membidikkan bola
besinya, tepat mengenai busur Bhagadatta yang dipegang dengan tangannya. Kemudian, sebuah anak panah dilepaskan Partha, tepat mengenai ikat kepala Bhagadatta yang berwarna merah dan berguna untuk menahan alisnya yang menjuntai agar tidak menutupi matanya. Karena ikat kepalanya jatuh dan alisnya terjurai menutupi matanya, Bhagadatta sulit melihat ke depan. Arjuna tahu benar kelemahan kesatria tua itu. Setelah tak ada lagi senjata di tangannya dan ia sulit melihat ke depan, akhirnya Bhagadatta memecut Arjuna dengan cemetinya yang sakti sambil mengucapkan mantra Waishnawa. Arjuna nyaris tewas kena cemeti itu. Untunglah Krishna berhasil mengelakkan Arjuna dengan mantra Deva Wishnu. Cemeti itu jatuh lemas di pundak Arjuna. Lalu sambil bergurau Krishna mengalungkan cemeti itu ke lehernya, bagaikan kalung bunga melati. Sekarang Arjuna tinggal membunuh Supratika. Ia melepaskan anak panah berbentuk ular, tepat menembus mulut gajah perkasa itu. Sesaat gajah itu tertegak kaku, kemudian jatuh berdebam dengan kaki teracung ke atas. Dalam hati Arjuna kasihan pada Supratika. Tetapi, tak ada jalan lain, jika ingin mengalahkan kesatria tua itu, gajah saktinya harus dibunuh lebih dulu. Sebagai usaha terakhir, Arjuna melemparkan tombak berujung pisau bulan sabit tajam, tepat membelah dada Bhagadatta. Kesatria tua itu roboh dan tewas seketika. Jasadnya berhias kalung kebesaran yang berpendar-pendar disinari matahari senja.
Dengan tewasnya Bhagadatta, pasukan Kaurawa menjadi panik. Sakuni berusaha mengirimkan saudara-sauda- ranya, Wrisna dan Achala, untuk membantu Bhagadatta dengan menyerang Arjuna dari belakang dan dari samping. Tetapi serangan mereka dapat ditangkis dan dibalas oleh Arjuna. Mereka bahkan menemui ajal di tangan kesatria Pandawa itu. Alangkah gagah dan tampannya wajah dua kesatria yang mati muda itu. Keberanian mereka menantang bahaya membuat hati Arjuna menjadi gundah.
Sakuni marah melihat kedua saudaranya gugur serentak. Ia bertekad membalas. Dengan senjata tipuan, diserangnya Arjuna habis-habisan. Tetapi tipu muslihat dalam permainan judi dengan dadu tidak bisa disamakan dengan tipuan senjata perang dalam pertempuran. Arjuna tahu bagaimana caranya menangkis senjata-senjata gaib itu. Tidak sia-sia ia mendaki Gunung Himalaya dan mendapat ilmu untuk menangkal segala macam tipuan sewaktu mengembara dalam pengasingan. Dibalasnya serangan Sakuni dengan senjata-senjata serupa. Akibatnya, ahli siasat dan tipu daya itu lari terbirit-birit. Demikianlah pertempuran hari kedua belas itu berakhir. Rencana Duryodhana dan Drona untuk menculik
Yudhistira dapat digagalkan.
Bersambung....

Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Sunday, March 26, 2017

MAHABHARATA 47 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
47. Rencana Penculikan Yudhistira II
Pertempuran hari kesebelas sudah berakhir. Rencana untuk menculik Yudhistira gagal. Drona melaporkan itu kepada Duryodhana. Ia mengalami kesulitan besar karena Arjuna masih hidup. Mereka harus mencari siasat lain untuk menculik Yudhistira.
Mendengar itu, Susarma, Raja Trigarta kemudian bergabung dengan balatentara Kaurawa lalu berunding dengan Duryodhana dan saudara-saudaranya. Mereka mengucapkan sumpah Samsaptaka hendak bertempur mati-matian melawan Arjuna. Mereka akan berusaha keras untuk memisahkan Dharmaputra dari Partha.
Demikianlah, sumpah itu diucapkan sesuai dengan tradisi, yaitu dengan duduk mengelilingi api unggun agnihotra dan mengenakan pakaian yang terbuat dari rumput. Upacara ini diiringi korban mecaru, yaitu upacara yang menggambarkan mereka seolah-olah telah tewas. Upacara ini dilanjutkan dengan upacara sumpah,
“Kami tidak akan kembali sebelum membunuh Arjuna. Jika kami takut dan lari meninggalkan pertempuran, semoga Batara Shiwa menghukum kami karena perbuatan itu.”
Melalui mata-mata Pandawa, Arjuna mengetahui tentang sumpah itu. Arjuna segera melaporkan hal itu kepada Dharmaputra. Sesuai adat para kesatria, Arjuna harus menghadapi tantangan itu secara kesatria. Yudhistira ternyata sudah tahu bahwa Drona berencana menangkap dirinya dan telah menjanjikan itu kepada Duryodhana. Kecuali itu, Susarma sebenarnya berniat mengubah strategi perang mereka. Yudhistira mengingatkan bahwa Drona adalah mahaguru yang tak terkalahkan, berani, kuat, dan pandai. Namun Arjuna berpegang teguh pada keputusannya. Ia berkata kepada Dharmaputra, “Tuanku Raja, Satyajit akan membela engkau. Selama ia tetap hidup dan ada di sisimu, tidak sesuatu pun bakal terjadi pada dirimu.”
Kemudian Arjuna merentangkan Gandiwanya dan melepaskan anak panah sebagai tanda bahwa ia menerima tantangan sumpah Samsaptaka. Prajurit kedua pihak bersorak-sorak menyambut itu. Gemuruh suara mereka membuat langit bergetar. Kemudian Krishna melecut kudanya, langsung menyerang pasukan Trigarta yang dipimpin Susarma. Baru saja berhadapan dengan Arjuna, mereka buyar, takut tertimpa hujan anak panah yang menyembur dari Gandiwa Arjuna. Susarma terpaksa berteriak-teriak lantang mengingatkan sumpah mereka di hadapan Batara Agni.
Gandiwa Arjuna terus menyemburkan anak panah, menebarkan maut bagi pasukan Trigarta. Beratus-ratus mayat pasukan Susarma bergelimpangan di tanah; banyak di antaranya yang kepalanya terpenggal akibat amukan anak panah Arjuna. Sementara Partha sibuk menghadapi pasukan Susarma, Drona memerintahkan seluruh kekuatan pasukan Kaurawa untuk memusatkan serangan mereka ke sasaran, yaitu di sekitar tempat Yudhistira berada.
Hal ini diketahui Dharmaputra yang segera memberitahu Dristadyumna yang lalu mendahului menggempur Drona.
Dengan tangkas Drona menghindari serangan Dristadyumna dan dengan mudah mengobrak-abrik pasukan Pandawa. Tak terhitung banyaknya korban yang jatuh di pihak Pandawa. Satyajit membalas serangan Drona dengan berani. Ia dibantu Wrika, salah seorang putra Raja Panchala. Tetapi, kedua kesatria muda itu dapat ditewaskan oleh Drona. Satanika, putra Raja Wirata, melecut kudanya dan memacu keretanya siap menggempur Drona. Tetapi, ia tewas di tangan Drona. Kemudian Raja Katama maju bertempur melawan Drona. Ia juga tewas di tangan Mahasenapati itu. Washudana menyerbu, membalaskan kematian Katama, tetapi ia gugur terkena senjata Drona.
Yudhamanyu, Uttamaujas, Satyaki dan Srikandi melecut kereta mereka dengan kencangnya, memotong arah kereta Drona yang melaju bagai angin kencang ke arah Yudhistira berada. Tetapi, semua serangan Pandawa yang bagaimanapun dahsyatnya dapat digagalkan oleh Drona. Mahasenapati itu semakin mendekati Dharmaputra. Pada saat yang sama, Panchala, adik Draupadi dan Dristadyumna, menyerang Drona seperti singa kelaparan me- nyergap mangsa. Tetapi Panchala dan keretanya dapat diremukkan oleh Drona. Mereka jatuh terguling ke tanah dan tewas seketika.
Melihat keperkasaan dan kemenangan mahasenapatinya, Duryodhana senang sekali. Ia berkata kepada Karna, bahwa tidak lama lagi Pandawa pasti menyerah kalah.
Karna menggeleng dan menjawab dengan tajam, “Pandawa tidak akan semudah itu menyerah kalah. Pengalaman pahit mereka membuktikan bahwa mereka semua ulet dan tangguh. Mereka takkan melupakan pengalaman buruk mereka di masa lalu.
“Ingat, ketika engkau mencoba meracuni mereka dan ketika engkau mencoba membakar mereka hidup-hidup! Engkau pernah menghina mereka dalam permainan dadu, kemudian engkau buang mereka ke hutan, kaupaksa mereka hidup dalam pengasingan selama tiga belas tahun. Mereka tidak akan melupakan semua itu. Dan mereka tidak akan menyerah!”
Ketika mereka gagal menghentikan laju kereta Drona, Bhimasena datang. Bagaikan angin puyuh, ia menghalang- halangi majunya Drona ke arah Yudhistira. Serangan Bhima disusul serangan Satyaki, Yudhamanyu, Kesatradharma, Nakula, Uttamaujas, Drupa, Wirata, Srikandi, Dristaketu, dan para kesatria lainnya yang memihak Pandawa. Melihat itu, Karna mendesak Duryodhana agar mengirim bantuan untuk menolong Drona.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Saturday, March 25, 2017

MAHABHARATA 47




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
47. Rencana Penculikan Yudhistira I
Dengan gugurnya Bhisma, padamlah semangat balatentara Kaurawa. Tetapi, begitu mendengar bahwa Karna sudah mendapat restu dari kesatria tua itu untuk memimpin mereka, semangat mereka untuk berperang kembali berkobar. Duryodhana senang sekali. Dipeluknya Karna dengan gembira. Segera ia berunding dengan Karna untuk menentukan siapa saja yang pantas dipilih menjadi mahasenapati. Karna berpendapat bahwa setiap raja atau putra mahkota serta kesatria yang bergabung dengan balatentara Kaurawa pantas diangkat menjadi mahasenapati. Alasannya, mereka semua mempunyai kekuatan, kecakapan, keberanian, ketangkasan, kewibawaan, keagungan dan kebijaksanaan yang setara. Tetapi, tentu saja tidak mungkin mengangkat beberapa mahasenapati sekaligus. Jika salah satu di antara mereka dipilih, yang lainnya mungkin akan merasa dihina, iri hati atau sakit hati. Akibatnya, semua akan menderita. Menurut pikiran Karna, sebaiknya Drona yang diangkat sebagai mahasenapati, sebab ia adalah mahaguru dari hampir semua kesatria yang tergabung dalam pasukan Kaurawa. Dengan mantap Duryodhana menyetujui usul itu. Kemudian Duryodhana pergi menghadap Mahaguru Drona. Di hadapan para senapati balatentara Kaurawa, ia dengan singkat mengumumkan pengangkatan Drona. Mula-mula kata-katanya ditujukan kepada mahaguru itu, “Mahaguru yang kami hormati dan kami cintai, engkau orang yang tidak ada bandingnya dalam kewibawaan, keturunan, kecakapan, kebijaksanaan, keagungan, umur dan ilmu pengetahuan. Kami mohon, kiranya engkau sudi diangkat menjadi mahasenapati pasukan perang kita. Di bawah pimpinanmu, kita pasti menang.”
Kemudian Duryodhana berkata kepada para hadirin, “Saudara dan sahabatku sekalian, sesuai pilihan kami, Mahaguru Drona akan memimpin kita dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya. Bersiaplah untuk menerimanya sebagai pimpinan.”
Semua yang hadir menyambut ucapan Duryodhana dengan hangat dan meriah, sambil bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Demikianlah, Drona dilantik menjadi Mahasenapati dalam upacara yang meriah, diiringi tambur, genderang dan trompet yang gegap gempita. Balatentara Kaurawa mendapat semangat baru dari pemimpin yang baru.
Pada hari pertama Drona memimpin, pasukan Kaurawa diatur dalam formasi bola. Karna yang selama sepuluh hari tidak muncul di medan perang, pada hari kesebelas itu tampak siap dengan keretanya yang kokoh dan megah. Banyak prajurit berbisik-bisik, membicarakan ketidakhadirannya selama sepuluh hari ini. Mereka berpendapat, Karna tidak mau ikut berperang karena Bhisma yang memegang pimpinan. Mereka juga berpendapat bahwa kekalahan yang mereka derita adalah kesalahan Bhisma. Hampir semua menyalahkan kesatria tua yang telah gugur itu dalam pertempuran itu. Sekarang, di bawah pimpinan Karna, mereka membayangkan kemenangan akan berpihak pada mereka dan Pandawa akan hancur.
Diam-diam Duryodhana berunding dengan Drona, Karna dan Duhsasana. Duryodhana mengemukakan maksudnya untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup. Ia berkata, “Aku tidak menginginkan apa-apa, tidak juga kemenangan, asalkan Yudhistira bisa ditangkap hidup-hidup. Kalau Mahaguru Drona bisa melakukan ini, kita semua akan puas.”
Mendengar rencana Duryodhana, hati Drona sangat senang. Dalam hati sesungguhnya ia tidak suka berperang melawan Pandawa, apalagi menghabisi mereka. Dalam sikap lahiriah, tentu ia harus patuh dan setia memihak Kaurawa. Karena itu, ia menanggapi rencana Duryodhana ini dengan puji-pujian. Katanya, “Putra Mahkota, semoga engkau selalu mendapat restu dari Brahma Yang Esa. Rencanamu untuk tidak membunuh Yudhistira sungguh mulia dan membuatku bahagia. Sesungguhnya, di dunia ini Yudhistira tidak punya musuh. Rencanamu untuk menaklukkan Pandawa dengan jalan menjadikan Yudhistira sebagai tawanan, kemudian membagi-bagi kerajaan, dan hidup damai dalam persahabatan dengan mereka, sungguh sangat agung. Aku melihat kemungkinan itu dengan jelas sekali. Kita semua akan lakukan ini dengan sebaik- baiknya.”
Tetapi, sebenarnya niat Duryodhana sama sekali lain dari yang dimengerti oleh Mahaguru Drona. Yang ada di benak Duryodhana adalah: Jika Yudhistira tewas dalam pertempuran, tidak sesuatu pun akan diperoleh dari kemenangan itu karena hal itu justru akan membuat saudara- saudaranya semakin marah dan garang. Pertempuran akan semakin seru dan korban akan semakin banyak. Lebih penting dari itu, Duryodhana sadar bahwa kekalahan pasti ada di pihaknya. Lagi pula, jika pertempuran diteruskan sampai kedua pihak hancur lebur, Krishna masih akan tetap hidup. Dan, ia pasti akan mengangkat Draupadi atau Dewi Kunti untuk menduduki takhta kerajaan, sebagai pewaris sah Kerajaan Hastina. Jika demikian, apa gunanya membunuh Yudhistira? Karena itu, jalan yang terbaik adalah menangkap Yudhistira hidup-hidup dan segera menghentikan perang. Langkah kedua adalah memanfaatkan kebaikan hati Yudhistira untuk maksud-maksud selanjutnya, yaitu dengan mengundangnya untuk bermain dadu lagi. Duryodhana sudah memperhitungkan bahwa undangan main dadu itu pasti tidak akan ditolak. Selanjutnya tidak ada soal lagi, sebab Sakuni tetap satu- satunya ahli siasat main dadu. Pandawa, yang pasti akan kalah, akan diusir lagi ke pengasingan selama tiga belas tahun. Menurut kenyataan, selama sepuluh hari bertempur
Kaurawa lebih sering kalah. Ini berarti, sulit bagi Duryodhana untuk meraih apa yang diinginkannya. Ketika Duryodhana mengungkapkan niatnya dengan terus terang, Mahaguru Drona merasa tertipu. Dalam hati ia mengutuk Duryodhana. Tetapi, apa pun niat Duryodhana, ada satu hal yang pasti, yaitu: ia tidak akan membunuh Yudhistira. Hal itu membuat Drona merasa agak lega.
Demikianlah, ia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup dan menyerahkannya kepada Duryodhana. Tetapi, rencana itu sampai ke telinga Pandawa melalui mata-mata mereka. Karena itu, Pandawa semakin waspada dan selalu menugaskan beberapa prajurit yang perkasa untuk mengawal Dharmaputra. Pertempuran di hari kesebelas berlangsung dengan seru. Di bawah pimpinan Drona, pasukan Kaurawa unggul. Mereka berhasil membelah formasi pasukan Pandawa menjadi dua, menembus ke pusat formasi dan langsung berhadapan dengan Dristadyumna. Terjadilah pertarungan satu lawan satu di seluruh medan pertempuran. Sahadewa melawan Sakuni yang ahli siasat dan tipu muslihat di meja perjudian maupun di medan pertempuran. Di tempat lain, Bhimasena melawan Wiwimsati, Salya melawan Nakula, Kripa berhadapan dengan Dristaketu, Karna melawan Wirata, Satyaki berhadapan dengan Kritawarma, dan Paurawa melawan Abhimanyu.
Dalam situasi demikian, Drona memerintahkan pasukan Kaurawa untuk langsung menyerang dan menangkap Yudhistira. Alangkah gagahnya Drona dengan kereta emasnya yang ditarik empat kuda jantan dari lembah Sindhu. Yudhistira menyambut serangan Drona dengan tangkas dan membalasnya dengan melepaskan anak panahnya yang bergerigi dan dihiasi kitir bulu burung garuda. Drona
membalasnya hingga busur Yudhistira patah. Tiba-tiba Dristadyumna mendekat, berusaha menghalangi laju kereta Drona. Tetapi ia dengan mudah dikalahkan oleh Mahasenapati Kaurawa itu. Anak buah Dristadyumna tiba- tiba berteriak lantang, “Awas, awas Dharmaputra hendak ditangkap! Awas Dharmaputra hendak ditangkap!”
Mendengar teriakan itu, secepat kilat Arjuna meluncur mendekat dengan keretanya. Gemuruh keretanya yang melaju membelah udara. Ia berhasil memotong jalan kereta Drona yang sudah sangat dekat dengan kereta Yudhistira. Dari Gandiwanya menyembur ratusan anak panah susul- menyusul, membuat Drona mundur dan membatalkan niatnya.
Pertempuran antara Drona dan Arjuna tidak berlanjut karena saat itu matahari telah tenggelam.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Friday, March 24, 2017

MAHABHARATA 46 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
46. Gugurnya Mahasenapati Bhisma II
Tibalah hari kesepuluh. Arjuna menyerang Bhisma bersama Srikandi. Partha mulai melepaskan panah ke arah Bhisma, tetapi panah Srikandilah yang pertama menembus dada kesatria tua itu. Dengan dada tertembus panah, Bhisma menoleh, memandang Srikandi. Sesaat lamanya mata Bhisma berbinar-binar bagai permata yang terkena cahaya gemilang. Itulah tanda bahwa ia sedang marah. Tetapi Mahaguru sakti dan berjiwa luhur itu menahan hatinya, sebab ia ingat akan sumpahnya: tidak akan membalas Srikandi yang terlahir sebagai perempuan.
“Menepati sumpah adalah perbuatan kesatria,” bisik hatinya.
Srikandi terus menyerang Bhisma dengan panahnya. Tak disadarinya bahwa kesatria tua itu sama sekali tidak membalas serangannya. Sesuai sumpahnya, kini Bhisma justru merasa tenang. Ia tahu, saat kematiannya telah tiba. Di pihak lain, Partha juga mendapat kekuatan hati untuk membidikkan anak panahnya pada bagian-bagian tubuh Bhisma yang lemah. Mula-mula satu per satu senjata Bhisma dihancurkannya. Kemudian sekujur tubuh Bhisma dihujani panah dari Gandiwanya. Tetapi, Bhisma malah tersenyum dan berkata kepada Duhsasana yang ada di dekatnya, “Semua panah yang menembus badanku ini berasal dari Partha, bukan dari Srikandi. Panasnya mulai terasa membakar tubuhku, bagaikan anak-anak kepiting yang merayap-rayap dan menjepit-jepit melukaiku.”
Meskipun sekujur badannya luka-luka berlumuran darah, namun kesatria tua itu tetap melaksanakan tugasnya dengan tegar. Dilemparkannya bola-bola besi ke arah Arjuna, yang disambut lesatan panah Partha. Beradunya senjata-senjata Bhisma dengan panah-panah Arjuna menimbulkan percikan api di udara. Kedua jenis senjata itu meledak dan jatuh hancur berkeping-keping.
Partha terus menghujani Bhisma dengan anak panahnya sampai sekujur tubuh kesatria tua itu bagaikan bermandi darah. Bhisma hendak turun dari keretanya dan menyerang Arjuna dengan pedang dan tameng di tangan. Tetapi, tiba-tiba tamengnya terbelah dua ditembus panah Partha yang ujungnya setajam kapak. Tak sejari pun kulit tubuhnya yang tak ditembus anak panah Arjuna. Kesatria termasyhur itu roboh, bagaikan pohon beringin tumbang terkena angin topan. Bhisma jatuh terguling dari keretanya, tetapi karena tubuhnya penuh ditancapi panah-panah Arjuna, ia tidak menyentuh tanah. Ketika kesatria tua itu jatuh, pertempuran di seluruh medan berhenti. Para dewata di kahyangan terharu menyaksikan gugurnya Bhisma. Semua menundukkan kepala, mengatupkan kedua telapak tangan, memberi penghormatan terakhir kepada kesatria besar yang luar biasa itu.
Demikianlah putra Dewi Gangga itu gugur. Sang Ibu turun ke bumi, membawa cahaya untuk melingkari jasad kesatria itu. Bhisma gugur setelah melakukan tugasnya, membayar hutang keadilan dan kebenaran kepada Duryodhana dan Kaurawa. Para raja, putra mahkota, perwira, senapati, dan prajurit kedua pihak, semua turun dari kereta, gajah atau kuda mereka, lalu bergegas mendekati Bhisma, yang terbaring bagai gundukan raksasa disangga tiang-tiang anak panah. Mereka menyembah dan memberikan penghormatan terakhir.
“Kepalaku terkulai, tidak beralaskan apa-apa,” kata
Bhisma. Mereka yang berdiri di dekatnya segera mencarikan setumpuk bantal, tetapi Bhisma menolak sambil tersenyum. Katanya, “Cucuku Partha, beri aku bantal yang pantas bagi seorang prajurit yang gugur.”
Arjuna segera mencabut tiga anak panah dari kantong panahnya, lalu meletakkannya di bawah kepala Bhisma dengan ujung-ujung menghadap ke atas hingga menembus kepala kesatria tua itu.
Kemudian Bhisma berkata lagi dengan tenang, “Wahai para kesatria sekalian, para raja dan putra mahkota, apa yang dilakukan Partha sungguh tepat. Bantal yang kumaksud adalah anak panah, sebab sekujur badanku telah ditembus anak panah. Aku benar-benar puas. Sekarang aku bisa berbaring dengan tenang sampai matahari terbenam nanti. Setelah itu, barulah jiwaku akan meninggalkan jasad ini. Bila aku telah tiada, mungkin di antara kalian akan ada yang menyusulku. Sampai bertemu kembali. Kalau tidak, kuucapkan selamat tinggal!”
Kemudian Bhisma menatap wajah Partha dan berkata kepadanya, “Aku haus sekali. Beri aku minum.”
Arjuna segera membuat lingkaran kecil di tanah, dekat telinga kanan Bhisma, lalu menancapkan anak panahnya dalam-dalam ke tanah. Ketika anak panah itu dicabut, dari lubang itu menyembur air jernih, tepat menyentuh bibir Bhisma. Demikianlah, kesatria tua itu minum sepuas- puasnya.
Setelah bercakap-cakap dengan Partha, Bhisma menatap wajah Duryodhana, lalu berkata dengan lembut, “Wahai Putra Mahkota, semoga engkau dapat memetik hikmah dari semua yang telah terjadi. Apakah engkau melihat bagaimana Arjuna memberiku air minum yang jernih untuk pengobat hausku? Berdamailah engkau sekarang juga, jangan ditunda-tunda lagi. Akhirilah peperangan ini sekarang juga. Perhatikan kata-kataku. Cucuku Duryodhana, berdamailah engkau dengan Pandawa!”
Tetapi, hati Duryodhana telah membatu, keras dan tak tergoyahkan. Siapa yang bisa disalahkan?
***
Mendengar berita gugurnya Bhisma, Karna segera berlari mendekat. Ia bersimpuh di dekat kaki kesatria tua itu, menyembah dengan penuh hormat, dan berkata, “Wahai sesepuh bangsa Bharata yang kuhormati, aku anak Radha yang telah menyebabkan engkau kesal dan marah karena ketololanku. Aku datang bersujud ke hadapanmu. Ampunilah segala kesalahanku.”
Kemudian Karna bangkit berdiri dan menatap wajah Bhisma yang pucat pasi. Perlahan-lahan kesatria tua itu membuka matanya dan tersenyum. Ia terharu mendengar kata-kata Karna. Diisyaratkannya agar Karna mendekat, lalu diletakkannya tangannya yang sudah dingin di kepala kesatria itu sambil berkata dengan penuh kasih sayang, “Wahai anak muda, sesungguhnya engkau bukan anak Adiratha, bukan pula anak Radha. Engkau adalah putra Dewi Kunti yang sulung. Bhagawan Narada mengetahui semua rahasia ini dan menceritakannya padaku. Ayahmu adalah Bhatara Surya. Percayalah, aku tidak pernah membencimu. Tapi aku sedih, karena kebencianmu kepada Pandawa semakin menjadi-jadi dan karena sebetulnya itu tidak beralasan. Aku tahu siapa engkau, dan aku mengagumi ketangkasanmu, kecerdasanmu dan kejujuranmu. Aku juga tahu, sebagai kesatria engkau tak kalah hebatnya dengan Palguna atau Krishna. Sungguh baik jika engkau bisa bersahabat dengan Pandawa, lebih-lebih karena engkau yang sulung di antara putra-putra ibumu. Harapanku, semoga peperangan ini segera dihentikan.”
Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, Karna menjawab dengan penuh hormat, “Kakek yang kuhormati, aku tahu aku ini anak Dewi Kunti, bukan anak sais kereta. Tetapi, aku berutang budi kepada Duryodhana, aku hidup dan makan dari hasil bumi tanah milik Kaurawa. Aku harus jujur kepadanya dan menepati janjiku sebagai kesatria. Tidak mungkin bagiku untuk menyeberang ke pihak Pandawa sekarang. Ijinkan aku membalas jasa Duryodhana dengan jiwaku. Ijinkan aku melunasi hutangku terhadap kepercayaan dan cintanya kepadaku. Engkau pasti memahami ini dan memaafkan aku. Aku mohon restumu.”
Bhisma memahami jiwa besar dan keluhuran budi Karna. Ia membenarkan apa yang diucapkan Karna dan berkata, “Jika memang demikian ketetapan hatimu, lakukanlah sebaik-baiknya. Sebab, itulah yang paling pantas kaulakukan.”
Sesuai sumpahnya, selama Bhisma memimpin balatentara Kaurawa, Karna menyisihkan diri. Sedikit pun ia tidak pernah mengingkari sumpah yang ia ucapkan di hadapan Bhisma.
“Jika engkau, Bhisma, dapat membunuh Pandawa dan
memenangkan balatentara Kaurawa, aku, Karna, akan merasa bahagia. Aku akan meninggalkan keramaian ini dan masuk ke hutan untuk bertapa. Tetapi jika engkau tewas lebih dulu, aku —yang telah kauyakinkan bahwa bukan anak sais kereta— akan memacu kudaku sekencang angin. Aku akan bertempur melawan semua musuhku. Akan kuhancurkan mereka dan kubawa kemenangan gemilang bagi Duryodhana.” Demikianlah sumpah Karna dahulu.
Setelah diam sejenak, Karna berkata kepada Bhisma, “Wahai Kesatria Tua, engkau sekarang terbaring di medan pertempuran. Engkau selalu memberi petunjuk tentang jalan kebenaran. Hidupmu menjadi teladan bagi kami, yaitu selalu bersih dalam kata-kata dan perbuatan, selalu suci dalam keyakinan. Kini kau terbaring dengan tubuh penuh luka. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa di dunia ini tidak seorang pun akan dapat mencapai apa yang patut diperolehnya sesuai jasa dan pengabdiannya. Ibarat sebuah kapal, engkau telah menjadi tumpangan bagi semua Kaurawa dalam mengarungi lautan suka duka.
“Setelah kau meninggal, pasti besarlah kekalahan yang akan diderita Kaurawa. Serangan Pandawa nanti bagaikan api raksasa membakar hutan kering. Krishna dan Arjuna pasti akan menghancurkan Kaurawa. Tetapi, Kakek yang kumuliakan, bukalah matamu dan pandanglah aku. Berilah aku restumu untuk memimpin balatentara Kaurawa.”
Bhisma memandang Karna, lalu memberikan restunya, “Engkau ibarat tanah subur, engkau ibarat hujan di musim tanam yang memberi harapan pada benih-benih yang akan tumbuh. Engkau selalu menepati janjimu. Engkau selalu jujur dan setia. Bantulah Duryodhana dan selamatkanlah dia! Engkau menaklukkan Kamboja untuk Duryodhana. Engkau memusnahkan balatentara Giriwraja atas namanya. Engkau membuat balatentara Kirata dari Gunung Himalaya menyerah kepadanya. Tak terhitung jasamu untuk Duryodhana. Pimpinlah balatentara Kaurawa sebagai milikmu yang paling berharga. Semoga engkau berhasil memimpin pasukan Duryodhana. Semoga engkau selalu mendapat kemenangan. Bertempurlah engkau melawan musuhmu!”
***
Akhirnya Bhisma gugur di medan Kurukshetra. Ketika ia menghembuskan napasnya yang terakhir, anak-anak panah yang menjadi pembaringannya terangkat sedikit. Jiwa kesatria tua itu telah lepas, meninggalkan jasadnya, kembali ke kahyangan. Seisi mayapada dan kahyangan berkabung, menghormati gugurnya kesatria besar yang disegani dan dihormati itu.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

Thursday, March 23, 2017

MAHABHARATA 46

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
46. Gugurnya Mahasenapati Bhisma I
Ketika fajar hari kedelapan menyingsing, Bhisma mengatur balatentara Kaurawa dalam formasi kurmawyuha atau kura-kura. Di pihak Pandawa, Yudhistira memerintahkan Dristadyumna agar menyusun pasukannya dalam formasi trisula atau tombak bermata tiga. Mata pertama dipimpin Bhimasena, mata ketiga dipimpin Sat- yaki dan mata yang tengah dipimpin Dharmaputra.
Hari itu Arjuna sedih karena kehilangan Irawan, putranya dari istrinya yang berasal dari Negeri Naga. Pemuda gagah dan tampan itu datang setelah mendengar berita tentang pertempuran ayahnya di medan Kurukshetra. Negeri Naga memang terkenal dengan kesatria-kesatria perangnya. Karena itu, Duryodhana mengirimkan raksasa Alambasa untuk menghadapi kesatria dari Negeri Naga itu. Irawan tewas setelah bertempur sengit melawan Alambasa.
Mendengar berita bahwa anaknya gugur, hati Arjuna hancur. Dengan sedih ia berkata kepada Krishna, “Benarlah kata Widura, kedua pihak akan terjerumus ke dalam kedukaan yang tak terperikan. Untuk apa kita saling membunuh? Hanya demi memperoleh warisan? Setelah saling membunuh, kebahagiaan seperti apa yang bisa kita rasakan? Wahai Krishna, sekarang aku mengerti mengapa Yudhistira hanya meminta bagian lima desa saja dari Duryodhana. Dharmaputra juga menyatakan bahwa sebaiknya kita tidak berperang. Duryodhana yang menjadi biang keladi semua ini karena dia menolak memberikan limadesa. Hanya gara-gara permintaan sepele saja kita semua terjerumus ke dalam dosa.
“Sekarang aku bertempur hanya karena malu disebut pengecut. Jika kulihat mayat para prajurit dan kesatria bergelimpangan di medan perang ini, hatiku diliputi duka dan penyesalan. Alangkah jahatnya kita semua, terus saja menimbun dosa dengan saling membunuh.”
Melihat Irawan terbunuh, Gatotkaca tak bisa menahan kemarahannya. Ia berteriak lantang lalu maju menggempur dan mengobrak-abrik formasi balatentara Kaurawa hingga kacau-balau. Duryodhana segera mendekat dan menerjang Gatotkaca. Raja Wanga dan pasukan gajahnya menggabungkan diri dengan Duryodhana. Pertempuran berlangsung seru. Duryodhana banyak sekali membunuh prajurit Gatotkaca. Sebaliknya, Gatotkaca banyak pula menghancurkan pasukan gajah Raja Wanga. Akhirnya Gatotkaca melepaskan anak panah sakti ke arah kereta Duryodhana. Tepat saat itu, gajah yang dinaiki Raja Wanga lewat di samping kereta Duryodhana. Akibatnya, gajah itulah yang terkena panah. Gajah yang perkasa itu langsung rubuh ke tanah, menguak keras lalu mati.
Bhisma cemas melihat Duryodhana yang hanya bisa bertahan, tidak mampu membalas serangan. Ia segera mengirimkan bala bantuan yang dipimpin Drona. Sementara itu, Gatotkaca tetap menyerang dengan garang. Bala bantuan terus mengalir bagi Kaurawa. Sebab itu, Yudhistira juga mengirimkan bala bantuan yang dipimpin Bhimasena untuk menolong Gatotkaca. Pertempuran semakin seru. Tidak kurang dari enam belas saudara Duryodhana dapat diremukkan Bhimasena dalam pertempuran di hari kedelapan.
***
Pada hari kesembilan, pagi-pagi sekali sebelum pertempuran dimulai, Duryodhana pergi menemui Bhisma. Dengan nada pahit ia menyatakan ketidakpuasannya akan jalannya pertempuran dari hari ke hari. Kata-katanya tajam menusuk hati, bagai lembing menghunjam ke dalam dada. Tetapi Bhisma adalah kesatria tua yang berjiwa besar. Ia menjawab dengan tenang meskipun nada bicaranya terdengar sedih, “Wahai Putra Mahkota, aku ibarat minyak untuk lentera sembahyang, kuserahkan hidupku seluruhnya untukmu. Tetapi kenapa engkau selalu menyakiti hatiku, padahal aku telah berusaha dengan segala dayaku? Bicaramu seperti orang yang tak punya pengertian yang baik, tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kata orang, jika seseorang akan menemui ajalnya, pohon-pohon pun tampak bagaikan emas. Engkau selalu melihat segala sesuatu tidak seperti hakikat sebenarnya. Penglihatanmu telah diliputi kabut dan mendung sangat tebal. Ketahuilah, mereka semua sesungguhnya memberikan segala-galanya, semata-mata sebagai jalan bagiku untuk memenuhi kewajibanku.
“Tidak mungkin aku membunuh Srikandi, sebab aku
telah bersumpah tidak akan mengangkat tanganku untuk melawan perempuan. Demikian pula, tanganku tidak akan sanggup menetakkan pedang di leher Pandawa, sebab hati dan jiwaku tidak akan mengijinkan. Selain dua hal itu, tugas-tugasku kulakukan dengan sebaik-baiknya, walaupun harus membunuh sekian banyaknya kesatria yang berani menantangku sebagai musuhmu.
“Ingatlah, tak sesuatu pun akan kauperoleh jika kau ingkari hati nuranimu. Bertempurlah sebagai layaknya kesatria maka kehormatan akan selalu ada padamu!”
Selesai berkata demikian, Bhisma memberikan beberapa perintah kepada para pemimpin pasukan untuk menghadapi pertempuran hari itu. Berkat kata-kata kesatria tua itu, semangat Duryodhana timbul kembali. Dengan tegas ia memberi perintah kepada Duhsasana untuk mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk menghadapi pertempuran hari itu.
“Sekarang aku baru yakin, Bhisma ternyata bertempur di pihak kita dengan sepenuh hati. Tetapi ia tidak bisa menghadapi Srikandi karena sumpahnya. Karena itu, usahakan agar ia jangan sampai berhadapan dengan Srikandi. Ingat, seekor anjing akan mampu membunuh singa yang tidak mau melawan.”
Demikianlah, begitu fajar menyingsing di hari kesembilan, pertempuran segera dimulai. Abhimanyu berhadapan dengan raksasa Alambasa. Ia tidak mau kalah dari ayahnya, Arjuna. Karena itu, dikerahkannya segenap kemahirannya dan dibuatnya Alambasa lari tunggang-langgang. Pada waktu yang sama, berlangsung pertarungan antara Aswatthama melawan Satyaki dan Drona melawan Arjuna. Di tempat lain, kecuali Arjuna, semua Pandawa menyerbu Bhisma. Duryodhana menyuruh Duhsasana membantu kesatria tua itu walaupun yang dibantu telah bertempur dengan sangat garang. Pandawa terpukul mundur beberapa kali. Akibatnya, di beberapa medan pertempuran pasukan Pandawa berantakan, bahkan ada yang melarikan diri ke dalam hutan. Krishna, yang melihat keadaan seperti itu, segera menghentikan keretanya dan berkata kepada Arjuna, “Partha, engkau dan saudara-saudaramu telah tiga belas tahun menyabarkan diri dan menunggu-nunggu saat seperti ini. Jangan ragu atau bimbang. Tewaskan Bhisma! Ingatlah tugasmu sebagai kesatria!”
“Sebelumnya aku berpendapat, lebih baik hidup dalam pengasingan di hutan daripada harus membunuh Bhisma, Mahaguru yang kucintai dan kuhormati. Tetapi, setelah mendengar kata-katamu, aku merasa mantap... sebagai kesatria aku memang harus bertempur. Sekarang, lecutlah kudamu!” jawab Arjuna dengan kepala tertunduk dan hati berat. Dengan sedih ia meneruskan pertempuran itu.
Ketika balatentara Pandawa melihat kereta Arjuna dipacu ke arah Bhisma, semangat mereka berkobar lagi. Begitu berhadapan dengan Arjuna, Bhisma melepaskan anak panah, bertubi-tubi, ke arah Arjuna. Anak panah-anak panah itu melesat susul-menyusul bagai semburan api dari kepundan gunung meletus. Dengan cekatan Krishna mengemudikan kereta hingga semburan anak panah Bhisma dapat dihindari. Arjuna membalas dengan melesatkan anak panah saktinya. Semua tepat mengenai sasaran. Beberapa kali Bhisma terpaksa mengganti busurnya yang patah diterjang anak panah Arjuna.
“Engkau tidak bertempur dengan sepenuh hati, Partha!” kata Krishna sambil tiba-tiba turun dari kereta lalu berlari ke kereta Bhisma.
Melihat Krishna berlari mendekatinya, Bhisma berteriak, “Hai, Kesatria bermata kembang teratai! Bahagialah hatiku, bisa mati di tanganmu. Mendekatlah kemari!”
Bagaikan induk kucing menyergap anaknya, Arjuna menarik Krishna ke keretanya untuk diselamatkan. Dipeluknya Krishna erat-erat sambil berkata, “Apakah engkau hendak membatalkan sumpahmu? Engkau telah berjanji takkan menggunakan senjata dalam pertempuran ini. Engkau hanya bertugas menjadi sais keretaku. Ingat, menggunakan senjata adalah tugasku. Dan itu akan kulakukan sekarang juga, tanpa menunda-nunda lagi. Akan kuakhiri hidup Bhisma dengan panahku ini. Pegang kembali tali kendali ini dan cambuklah kuda-kuda itu agar kereta berlari kencang!”
Hari itu Pandawa menderita banyak kekalahan. Tetapi semangat balatentara Pandawa tetap tinggi karena kemudian mereka melihat Arjuna bertarung sengit melawan Bhisma. Tak lama kemudian pertempuran hari kesembilan berakhir. Matahari telah masuk ke peraduannya.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau