Thursday, March 16, 2017

MAHABRATA 40




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
40. Saat-Saat Sebelum Perang
Hampir semua orang sudah siap berperang. Kedua belah pihak telah berkumpul di kubu masing-masing. Demi kehormatan dan kemuliaan perang kaum kesatria, mereka bertekad untuk memegang teguh aturan-aturan perang dalam melancarkan serangan dan gempuran terhadap lawan.
Perang di jaman itu dibatasi dengan aturan-aturan yang berbeda dengan aturan di jaman-jaman yang kemudian. Menjelang matahari terbenam, perang harus dihentikan dan masing-masing pihak kembali ke kubu pertahanan untuk beristirahat. Sering terjadi, pihak-pihak yang bermusuhan berkumpul dan bergaul bebas dalam suasana persaudaraan selama matahari berada dalam peraduan- nya. Mereka melupakan segala peristiwa yang terjadi siang harinya. Tidak seorang pun dibenarkan mengangkat senjata atau mengepalkan tinju di malam hari.
Pertarungan satu lawan satu hanya boleh dilakukan di antara dua pihak yang setara. Tidak seorang pun boleh berbuat sesuka hati di luar aturan-aturan dan norma- norma yang telah ditetapkan dalam dharma. Yang mundur atau yang terjatuh, apalagi yang menyerah, tidak boleh diserang atau dipukul lagi. Seorang prajurit berkuda hanya boleh diserang oleh seorang prajurit berkuda; demikian pula prajurit berkereta dan penunggang gajah. Prajurit yang berjalan kaki hanya boleh diserang oleh lawan yang seimbang.
Tidak seorang pun boleh membela kawan atau menyerang lawan yang sedang bertarung satu lawan satu. Orang yang tak bersenjata tidak boleh diserang dengan senjata. Jadi, orang-orang dari kelompok bukan prajurit, misalnya pemukul genderang, peniup trompet dan barisan penolong korban perang, tidak boleh diserang. Mereka yang lari menyerah ke pihak lawan tidak boleh dianiaya atau dibunuh. Demikianlah beberapa aturan perang disepakati oleh Kaurawa dan Pandawa dan diumumkan sebelum perang di padang Kurukshetra dimulai.
Jauh di kemudian hari, tata krama perang tersebut dilanggar sendiri oleh manusia. Begitu pula pengertian tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk, tentang kebajikan dan kebatilan, semua dilanggar sendiri oleh manusia si pencipta aturan. Masing-masing merasa pihaknya paling benar, paling kuat, dan paling berkuasa. Demikianlah, jauh di kemudian hari, orang tidak lagi berperang berhadap-hadapan dengan lawan, tetapi juga menyerang sasaran-sasaran lain. Rakyat biasa, laki-perempuan, tua- muda, tanpa pandang bulu, semua dihancurkan asalkan memang dapat dihancurkan. Ringkasnya, segala upaya dilakukan agar pihak musuh hancur!
Meskipun sudah ada aturan yang membatasi peperangan, penyimpangan dan pelanggaran akan terjadi jika manusia tidak dapat mengendalikan diri dan ingin saling membunuh. Tetapi, betapapun pelanggaran terjadi, budi pekerti luhur tetap mengatakan bahwa yang salah adalah salah, yang jahat adalah jahat, yang batil adalah batil, yang tercela harus dicela dan seterusnya.
“Wahai para kesatria! Sekarang inilah kesempatan gemilang bagimu. Di hadapananmu kini terbuka pintu gerbang surga selebar-lebarnya! Keabadian di hadapan Batara Indra dan Batara Brahma menunggu dharma dan baktimu. Ikutilah jejak nenek moyangmu dan melangkahlah di jalan dharma kesatria. Bertempurlah dengan gembira untuk mencapai kemuliaan dan kemasyhuran. Seorang kesatria pasti tidak ingin mati di ranjang karena sakit atau usia tua. Ia lebih memilih gugur di medan perang!” Demikian kata-kata singkat Bhisma dalam peresmian pasukan perang Kaurawa yang disambut dengan sorak sorai membahana.
Demikianlah persiapan-persiapan yang dilakukan kedua pihak. Di pihak Kaurawa tampak panji-panji megah berkibar-kibar di udara. Di kereta Bhisma, sang Senapati Agung, berkibar panji-panji berlambang pohon kelapa dan lima bintang emas. Di kereta Aswatthama tampak panji- panji berlambang singa mengaum garang. Di kereta Drona terpancang panji-panji berlambang mangkuk pendita dan busur-panah warna kuning keemasan. Di kereta Duryodhana berkibar panji-panji berlambang ular kobra. Duryodhana mengenakan jubah longgar bertudung kepala, yang hiasannya melambai-lambai ditiup angin ketika keretanya bergerak maju. Mahaguru Kripa membawa panji-panji berlambang banteng; sementara Jayadratha memilih lambang babi hutan. Alangkah hebat dan megahnya panji-panji pasukan Kaurawa yang berkibaran di udara. Hati siapa yang tidak berdebar menyaksikan kehebatan pasukan Kaurawa yang berderap menuju medan Kurukshetra?
Mengetahui bahwa balatentara Kaurawa jauh lebih besar jumlahnya, Yudisthira menyampaikan pesan kepada Arjuna agar menggunakan taktik-taktik pemusatan pasukan, bukan penyebaran, dan serangan-serangan berformasi jarum. Tetapi, ketika Arjuna menyaksikan kedua pihak berhadapan di medan Kurukshetra, siap untuk saling menyerang, hatinya menjadi ragu dan sedih memikirkan akibat peperangan. Krishna tidak membiarkan Arjuna dirundung keraguan dan kesedihan. Ia segera memberikan petuah- petuah mulia untuk menguatkan tekad Arjuna dalam menghadapi Kaurawa, musuh sekaligus saudara-saudara sepupunya.
Sesaat sebelum pertempuran dimulai, ketika segala senjata siap digunakan untuk menyerang musuh, ketika ketegangan jiwa memuncak, tiba-tiba Yudhistira yang gagah berani meletakkan senjatanya, menanggalkan tudung kebesaran dari kepalanya, lalu turun dari keretanya. Ia melangkah mendekati Senapati Agung Kaurawa. Semua orang yang melihat perbuatan Yudhistira tercengang, bingung, dan bertanya-tanya dalam hati, apa gera- ngan yang hendak dilakukan Yudhistira sekarang. Arjuna sangat terkejut dan segera turun dari keretanya lalu mengejar Yudhistira. Krishna dan saudara-saudara Arjuna yang lain mengikuti langkah Arjuna. Mereka cemas, kalau- kalau Yudhistira hendak menyerah tanpa perlawanan, demi tercapainya perdamaian.
Sambil mengejar dari belakang, dengan suara keras Arjuna berseru kepada Yudhistira, “Hai, Raja Yang Kami Hormati, apa sebabnya engkau berbuat seaneh ini? Tanpa memberitahu kami, kau pergi ke tempat musuh, tanpa senjata, tanpa pengawal dan dengan berjalan kaki. Kata- kan, apa maksudmu?!”
Tetapi Yudhistira tidak menjawab sepatah kata pun. Ia tenggelam dalam renungan jiwanya dan terus berjalan ke tempat musuh.
Setelah memandang wajah Yudhistira beberapa saat
lamanya, Krishna yang mengetahui jiwa dan perasaan manusia, juga jiwa dan perasaan Dharmaputra saat itu, berkata kepada Pandawa lainnya dengan tenang, “Ya, aku tahu maksudnya. Ia hendak pergi menemui Bhisma, Mahaguru Drona dan para tetua lainnya untuk memohon restu sebelum peperangan dahsyat dimulai. Apa yang dilakukannya memang sesuai dengan sopan santun dan adat kesatria. Dengan restu para tetua, ia berharap kita akan dapat melakukan kewajiban kita di medan perang dengan sebaik-baiknya.”
Pasukan Duryodhana, yang melihat Yudhistira datang tanpa senjata tanpa pengawal dan dengan kepala tunduk, mengira kesatria itu datang untuk mencari penyelesaian secara damai, karena gentar melihat kekuatan pasukan Kaurawa. Mereka saling berbisik, mengatakan Dharmaputra pengecut dan tindakannya membuat malu para kesatria. Banyak yang mengutuknya. Kenapa orang seperti Dharmaputra terlahir di lingkungan kesatria? Tetapi, ada juga yang merasa lega karena mengira kemenangan akan diperoleh dengan mudah, tanpa harus melancarkan satu pukulan pun, karena Dharmaputra datang sendiri untuk menyerah.
Yudhistira terus berjalan, menembus barisan pasukan Kaurawa yang berderet tegap dan rapi, lengkap dengan senjata perang mereka. Ia tenggelam dalam lautan pasukan perang yang dipimpin Bhisma. Sampai di hadapan senapati agung itu, Yudhistira sujud dan menyembah kaki Bhisma yang ia muliakan sambil berkata, “Kakek yang kumuliakan, ijinkan kami memulai peperangan ini. Kami memberanikan diri untuk melawan Kakek, kesatria yang tak tertandingi dan tak bisa ditaklukkan. Kami memohon restumu.”
“Cucuku, engkau terlahir sebagai keturunan Bharata. Engkau bertindak mulia, sesuai tata krama para kesatria. Hatiku sangat bahagia menyaksikan semua ini. Aku bukan prajurit yang bebas. Aku, karena terikat oleh kewajibanku terhadap Dritarastra, harus bertempur di pihak Kaurawa. Bertempurlah engkau. Kemenangan akan ada di pihakmu,” kata Bhisma sambil memberikan restunya kepada Dharmaputra. Setelah memperoleh restu dari Kakek Bhisma, Yudhistira pergi menemui Mahaguru Drona. Sampai di hadapan mahaguru itu, sesuai adat para kesatria, ia sujud, me- nyembah dan memohon restunya.
Mahaguru Drona berkata, “Wahai Dharmaputra, aku tak mungkin mengingkari kewajibanku. Kepentingan pribadi telah memperbudak kita dan menjadi majikan kita. Aku terikat oleh kepentingan itu dan harus bertempur di pihak Kaurawa. Tapi, engkau pasti menang. Bertempurlah kalian dengan sepantasnya.”
Setelah mohon pamit dari Mahaguru Drona, Yudhistira pergi menghadap Mahaguru Kripa dan Raja Salya, pamannya, untuk maksud yang sama. Setelah mendapat restu dari kedua orang itu, ia kembali ke pasukan Pandawa. Demikianlah, perang besar Bharatayudha dimulai. Terjadi pertarungan satu lawan satu di antara para kesatria perkasa dari kedua belah pihak: Bhisma lawan Partha, Brihatbala lawan Abhimanyu, Kritawarma lawan Satyaki, Salya lawan Yudhistira, Duryodhana lawan Bhima dan Drona lawan Dristadyumna. Pasukan berkuda berhadapan dengan pasukan berkuda, pasukan gajah menghadapi pasukan gajah, semuanya berlangsung sesuai undang-undang dan aturan perang di masa itu.
Di samping pertempuran-pertempuran yang sesuai dengan aturan-aturan perang di masa itu, perang bebas juga terjadi, yaitu antara pasukan berjalan kaki dari kedua belah pihak. Pertempuran bebas seperti itu disebut sankula yuddha.
Demikianlah padang Kurukshetra telah menyaksikan sankula yuddha yang tidak ada batasnya, lebih-lebih setelah peperangan berlangsung beberapa hari dan orang- orang yang berperang sudah tak dapat mengendalikan diri lagi. Mereka saling membunuh dengan garang, benar- benar haus darah, tidak peduli apa pun asal dapat memancung leher lawan. Gemuruh kereta-kereta perang yang dipacu, lengkingan gajah, bunyi tombak dan pedang ber- adu, desing ribuan anak panah yang melesat ke arah lawan... semua itu menjadi pemandangan sehari-hari selama berhari-hari di padang Kurukshetra yang amat luas!
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment