Wednesday, March 8, 2017

MAHABRATA 33




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
33. Pertemuan
Para Penasihat Agung
Pandawa tidak lagi hidup dalam pengasingan dan persembunyian. Tiga belas tahun telah mereka lewatkan dengan penuh penderitaan. Tiga belas tahun yang memberi mereka banyak pengalaman berharga. Mereka meninggalkan ibukota Negeri Matsya dan tinggal di suatu tempat bernama Upaplawya, yang terletak di wilayah Negeri Matsya. Dari sana mereka mengirim utusan untuk menemui sanak dan kerabat mereka. Dari Dwaraka datang Balarama, Krishna, Subhadra, istri Arjuna, dan Abhimanyu, putra mereka. Para bangsawan itu diiringkan para kesatria keturunan bangsa Yadawa. Mereka diterima oleh Raja Wirata dan Pandawa dengan penuh kehormatan, lebih-lebih karena hadirnya Janardana alias Krishna, sang penasihat Pandawa. Indrasena, yang mengikuti Pandawa di tahun pertama pengasingan mereka, juga datang. Raja Kasi dan Raja Saibya datang diiringkan panglima masing-masing. Begitu pula Drupada, Raja Panchala, ayah Draupadi. Tak kalah menariknya adalah hadirnya tiga pasukan perang yang dipimpin Srikandi, anak- anak Draupadi, dan Dristadyumna. Banyak raja dan putra mahkota datang ke Upaplawya untuk menyatakan persahabatan dan simpati kepada Pandawa. Dalam pertemuan mahabesar itu, perkawinan Abhimanyu dengan Dewi Uttari dilangsungkan dengan khidmat dan meriah. Upacara perkawinan dilangsungkan di balairung istana Raja Wirata. Krishna duduk di samping Yudhistira dan Wirata, sementara Balarama dan Satyaki duduk dekat Drupada. Di samping upacara perkawinan Dewi Uttari dengan Abhimanyu, pertemuan agung itu juga merupakan pertemuan para Penasihat Agung untuk merundingkan penyelesaian yang bisa mendamaikan Pandawa dan Kaurawa.
Setelah upacara perkawinan selesai, para Penasihat Agung bersidang di bawah pimpinan Krishna. Semua mata memandang dengan penuh khidmat ketika Krishna bangkit berdiri untuk memberikan kata sambutan. “Saudara-saudara semua pasti tahu,” kata Krishna dengan suara lantang dan berwibawa. “Yudhistira telah ditipu dalam permainan dadu. Yudhistira kalah dan kerajaannya dirampas. Dia, saudara-saudaranya, dan Draupadi harus menjalani pembuangan di hutan belantara. Selama tiga belas tahun putra-putra Pandu dengan sabar memikul segala penderitaan demi memenuhi sumpah mereka. Renungkanlah masalah ini dan berikanlah pertimbangan sesuai dengan tugas kewajiban dharma, demi kejayaan dan kesejahteraan Pandawa maupun Kaurawa. Dharmaputra tidak menginginkan sesuatu yang tidak patut dituntut. Ia tidak menginginkan apa pun, kecuali kebaikan dan kedamaian. Dia tidak mendendam meskipun putra-putra Dritarastra telah menipunya dan membuatnya sengsara.
“Para Penasihat Agung yang terhormat, dalam memberi pertimbangan, jangan lupa mengingat penipuan yang dilakukan Kaurawa dan kehormatan serta keluhuran budi Pandawa. Carilah penyelesaian yang adil dan terhormat. Kita belum mengetahui apa keputusan Duryodhana. Menurutku, kita harus mengirimkan utusan yang tegas dan jujur serta mampu mendorong Duryodhana untuk berkemauan baik demi selesainya masalah ini secara damai. Kita berharap Duryodhana mengembalikan separo kerajaan kepada Yudhistira.”
Setelah Krishna berbicara, Balarama tampil ke depan
menyampaikan pendapatnya, “Saudara-saudara, baru saja kita dengar kata-kata Krishna. Penyelesaian yang ia kemukakan adil dan bijaksana. Aku setuju dengan pendapatnya, karena itu baik bagi kedua pihak, bagi Duryodhana maupun Dharmaputra. Jika putra-putra Kunti bisa memperoleh kembali kerajaan mereka secara damai, tak ada yang lebih baik bagi mereka dan bagi Kaurawa. Hanya dengan jalan demikian akan tercipta kebahagiaan dan perdamaian di muka bumi ini. Seseorang harus pergi ke Hastinapura untuk menyampaikan maksud Yudhistira dan membawa jawaban Duryodhana. Utusan itu harus berwibawa dan punya kesanggupan untuk mengusahakan perdamaian dan saling pengertian.
“Utusan itu harus bisa bekerja sama dengan Bhisma, Dritarastra, Drona, Widura, Kripa, dan Aswatthama. Jika mungkin, juga dengan Karna dan Sakuni. Ia harus mendapat dukungan dari putra-putra Kunti. Ia tidak boleh gampang marah.
“Dharmaputra, yang mengetahui risiko bertaruh dalam permainan dadu telah mempertaruhkan kerajaannya. Ia tidak mau menghiraukan nasihat teman-temannya. Meskipun tahu takkan mungkin mengalahkan Sakuni yang ahli bermain dadu, Yudhistira terus saja bermain. Karena itu, sekarang ia tidak boleh menuntut. Ia hanya boleh meminta kembali apa yang menjadi haknya. Utusan yang pantas hendaknya jangan orang yang haus perang. Ia harus sanggup berdiri tegak, betapa pun sulitnya, untuk mencapai penyelesaian secara damai.
“Saudara-saudara, aku ingin kalian mengadakan pendekatan dan berdamai dengan Duryodhana. Dengan segenap kemampuan kita, kita hindari pertentangan dan adu senjata. Semua kita usahakan demi perdamaian yang sangat berharga. Peperangan hanya menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat.”
Satyaki, kesatria Yadawa, tersinggung setelah mendengar pendapat Balarama. Ia tak dapat menahan diri. Dengan marah ia bangkit berdiri dan minta diberi kesempatan bicara. Katanya lantang, “Menurut pendapatku Balarama sama sekali tidak bicara sedikit pun tentang keadilan. Dengan kecerdikannya, seseorang bisa memenangkan suatu perkara. Tetapi kecerdikan tidak selalu bisa mengubah kejahatan menjadi kebajikan atau ketidakadilan menjadi keadilan. Aku menentang pendapat Balarama. Aku muak mendengar kata-katanya.
“Apakah kita tidak tahan melihat sebatang pohon yang sebagian dahan-dahannya sarat buah sementara dahan- dahan lainnya kering gersang tak berguna? Krishna bicara dengan semangat melaksanakan dharma, tetapi Balarama menunjukkan sikap tak bernilai. Kalau aku diijinkan bicara, aku katakan dengan yakin bahwa Kaurawa memang telah menipu Yudhistira dalam pembagian wilayah kerajaan. Tetapi, mengapa kita biarkan ketidakadilan itu seperti kita biarkan perampok memiliki barang-barang rampokannya? Siapa pun yang mengatakan bahwa Dharmaputra bersalah, pasti mengatakannya karena takut kepada Duryodhana, bukan karena alasan lain!
“Saudara-saudara sekalian, maafkan kata-kataku yang kasar dan tak enak didengar. Ketahuilah, aku hanya menegaskan bahwa Kaurawa memang sengaja berbuat demikian dan telah merencanakan semuanya. Mereka tahu, Dharmaputra tidak ahli bermain dadu. Karena didesak-desak dan dibujuk-bujuk, akhirnya Dharmaputra tak bisa menolak untuk menghadapi Sakuni, si penjudi licik. Akibatnya, ia menyeret saudara-saudaranya ke dalam kehancuran. Kenapa sekarang ia harus menundukkan kepala dan meminta-minta di hadapan Duryodhana? Yudhistira bukan pengemis. Dia tidak perlu meminta-minta! Ia telah memenuhi janjinya. Dua belas tahun dalam pengasingan di hutan dan dua belas bulan dalam persembunyian. Tetapi, Duryodhana dan sekutunya tanpa malu dan dengan hina tidak mau menerima kenyataan bahwa Pandawa berhasil menjalankan sumpah mereka.
“Akan kutundukkan manusia-manusia angkuh itu dalam pertempuran. Mereka harus memilih: minta maaf kepada Yudhistira atau menemui kemusnahan. Jika tidak bisa dihindari, perang berdasarkan kebenaran tidaklah salah, begitu pula membunuh musuh yang jahat. Meminta-minta kepada musuh berarti mempermalukan diri sendiri. Jika Duryodhana menginginkan perang, ia akan memperolehnya. Kita akan sungguh-sungguh mempersiapkan diri. Jangan kita menunda-nunda. Ayo, segera bersiap! Duryodhana tidak akan membiarkan pembagian wilayah tanpa peperangan. Bodoh kita kalau membuang-buang waktu.” Satyaki akhirnya berhenti bicara karena napasnya tersengal-sengal akibat terlalu bersemangat.
Drupada senang mendengar kata-kata Satyaki yang tegas. Ia berdiri lalu berkata, “Satyaki benar! Aku mendukungnya! Kata-kata lembut tidak akan membuat Duryodhana menyerah pada penyelesaian yang wajar. Mari kita teruskan persiapan. Kita susun kekuatan untuk menghadapi perang. Jangan buang-buang waktu! Segera kita kumpulkan sahabat-sahabat kita. Kirimkan segera berita kepada Salya, Dristaketu, Jayatsena dan Kekaya.
“Kita juga harus mengirim utusan yang tepat dan cakap
kepada Dritarastra. Kita utus Brahmana, pendita istana Negeri Panchala yang tepercaya, pergi ke Hastinapura untuk menyampaikan maksud kita kepada Duryodhana. Dia juga harus menyampaikan pesan kita kepada Bhisma, Dritarastra, Kripa, dan Drona.” Setelah kesempatan untuk mengemukakan pendapat
selesai, Krishna alias Wasudewa menyimpulkan, “Saudara- saudara, apa yang dikatakan Drupada sungguh tepat dan sesuai dengan aturan. Baladewa dan aku punya ikatan kasih, persahabatan, dan kekeluargaan yang sama terhadap Kaurawa maupun Pandawa.
“Kami datang untuk menghadiri perkawinan Dewi Uttari dan sidang agung ini. Sekarang kami mohon diri untuk kembali ke negeri kami. Saudara-saudara adalah raja-raja besar dan terhormat. Dalam usia dan kebajikan kita sama. Dan memang patut jika kita saling memberi nasihat. Dritarastra juga menghormati saudara-saudara sekalian, dengan sepantasnya dan sesuai tradisi. Drona dan Kripa adalah sahabat sepermainan Drupada di masa kanak-kanak.
Pantaslah kita mengutus Brahmana yang kita percaya untuk menjadi duta kita. Apabila duta kita gagal dalam usahanya meyakinkan Duryodhana, kita harus siap menghadapi perang yang tak dapat dihindari.
“Saudara-saudara yang tercinta, kirimkan berita kepada
kami. Dan... terima kasih!”
Sidang Agung itu ditutup. Krishna kembali ke Dwaraka bersama para kerabat dan pengiringnya; begitu pula Baladewa alias Balarama atau Balabhadra, kakaknya.
Sepeninggal mereka, Pandawa sibuk mempersiapkan
diri. Mereka mengirim utusan-utusan kepada sanak-saudara dan sahabat-sahabat mereka. Mereka juga mempersiapkan pasukan perang dengan sebaik-baiknya.
Di pihak Kaurawa, Duryodhana dan saudara-saudaranya juga sibuk mempersiapkan diri. Mereka tak tinggal diam. Mereka juga mengirim utusan kepada sahabat-sahabat dan sekutu-sekutu mereka. Berita persiapan mereka segera tersebar ke seluruh
negeri, bahkan ke seluruh dunia. Para utusan kedua belah pihak sibuk ke sana kemari. Bumi bergetar diinjak-injak ribuan pasukan Kaurawa dan Pandawa yang giat berlatih untuk menghadapi perang.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment