Monday, March 6, 2017

MAHABRATA 32





_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
32. Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan
Uttara meninggalkan ibukota Negeri Matsya dengan kereta yang dikemudikan Brihannala. Ia memerintahkan sais itu memacu kuda sekencang-kencangnya ke arah balatentara Kaurawa. Jauh di kaki langit tampak sebaris titik, memanjang, melingkar-lingkar, diselimuti debu yang mengepul ke angkasa. Itu pasti pasukan Kaurawa dalam jumlah besar.
Makin dekat makin jelas sosok mereka. Mula-mula tampak kereta-kereta yang dinaiki Bhisma, Drona, Mahaguru Kripa, Duryodhana dan Karna. Melihat rombongan Kaurawa, hati Uttara tiba-tiba menjadi kecut. Dia menyuruh Brihannala melambatkan keretanya. Uttara sangat ketakutan. Mulutnya terasa kering, bulu romanya berdiri, dan keringat dingin mengucur dari dahinya. Tangan dan kakinya gemetar. Ia menutupi matanya dengan kedua tangannya dan berkata lirih kepada Brihannala, “Bagaimana mungkin aku sendirian melawan musuh sebanyak itu? Aku tidak membawa pasukan. Semua prajurit dibawa ayahku ke selatan. Tidak mungkin aku melawan kesatria- kesatria yang termasyhur ahli berperang itu. Brihannala, berbaliklah! Kita pulang.”
Brihannala menjawab, “Tuanku, engkau berangkat dengan semangat berapi-api hendak menghancurkan musuh. Permaisuri, penghuni istana dan rakyat mempercayakan nasib mereka kepadamu. Sairandri memuji-muji aku dan membuat engkau mengangkatku menjadi saismu. Kalau kita kembali sekarang, tanpa merebut ternak kita yang dirampas musuh, kita akan ditertawakan. Aku tidak akan membelokkan kereta ini. Mari kita maju terus dan bertempur! Jangan gentar!”
Uttara berkata dengan gugup, “Aku tidak mau, aku tidak mau! Biarlah Kaurawa merampas ternak kita, biarlah perempuan-perempuan menertawakan aku, aku tidak peduli. Apa gunanya melawan musuh yang jauh lebih kuat dan lebih besar jumlahnya? Itu namanya tolol! Belokkan kereta! Kalau tidak, aku akan meloncat turun dan pulang dengan berjalan kaki.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Uttara membuang senjata-senjatanya sambil meloncat turun dari kereta. Rasa takut melihat kekuatan musuh mencekam jiwanya dan membuatnya panik. Ia lari kalang kabut, kembali ke ibu kota. Brihannala mengejar Uttara sambil memanggil-manggil agar pangeran itu berbuat sebagai kesatria. Rambut panjang dan pakaian Brihannala melambai-lambai ditiup angin kencang. Uttara makin mempercepat larinya. Akhirnya pangeran itu terkejar juga. Uttara meminta agar Brihannala membiarkannya pulang. Uttara berkata dengan suara mengiba, “Aku satu- satunya anak lelaki ibuku. Aku dibesarkan di pangkuan ibuku. Aku tak mau meninggalkan ibuku. Aku takut, aku takut sekali! Aku takut mati bertempur melawan musuh!” Brihannala berusaha melepaskan Uttara dari ketakutannya dan membangkitkan keberaniannya. Ia menggeng- gam tangan Uttara dan memaksanya naik lagi ke kereta. Uttara menangis dan berkata terbata-bata, “Alangkah malunya aku, terlanjur omong besar. Apa jadinya aku nanti?”
Brihannala menghiburnya, “Jangan takut! Aku yang akan menghadapi Kaurawa. Bantu aku, pegang tali kekang ini, selebihnya serahkan padaku. Percayalah padaku, tidak ada gunanya lari dari pertempuran. Akan kita enyahkan musuhmu dan kita dapatkan kembali semua ternak yang
mereka rampas. Kemenangan pasti di pihak kita. Perca- yalah!”
Setelah berkata demikian, Brihannala meminta Uttara agar menghela kereta itu ke arah sebatang pohon besar di dekat kuburan. Sampai di dekat kuburan, Brihannala meminta Uttara naik ke pohon besar itu dan mengambil senjata-senjatanya yang disembunyikannya di sana. Uttara memejamkan mata, tak berani memanjat pohon itu. "Kata orang di pohon ini pernah tergantung mayat nenek tua yang berubah menjadi setan. Aku tak berani memegang mayat itu. Mengapa kau menyuruhku melakukan ini?” kata Uttara.
“Dengar, Pangeran, itu tidak benar! Itu bukan mayat. Itu kantong kulit. Di sana tersimpan senjata-senjata sakti milik Pandawa. Naiklah dan bawa turun senjata-senjata itu. Cepat! Jangan buang-buang waktu,” kata Brihannala tegas. Karena Brihannala terus mendesak, Uttara terpaksa menurut. Ia memanjat pohon itu lalu mengambil kantong kulit besar yang disembunyikan di balik daun-daunan. Alangkah kagetnya dia ketika melihat isi kantong itu: senjata-senjata yang gemilang! Cepat-cepat dibawanya kantong itu turun dan diserahkannya kepada saisnya. Brihannala menyuruh Uttara meraba senjata-senjata itu. Begitu menyentuh senjata-senjata itu, Uttara merasa ada arus kekuatan gaib merasuki tubuhnya dan menguatkan jiwanya. Matanya sekarang berbinar memancarkan semangat baru. Ia bertanya kepada Brihannala, “Alangkah anehnya! Katamu senjata-senjata ini milik Pandawa. Bukankah kerajaan mereka dirampas Kaurawa dan mereka diusir ke hutan oleh Kaurawa? Bagaimana mungkin engkau bisa tahu tentang senjata-senjata ini?” Secara ringkas Brihannala berkata bahwa sebenarnya sudah hampir satu tahun Pandawa tinggal di ibu kota Negeri Matsya dan bekerja mengabdi Raja Wirata. Mereka adalah Kangka, Walala, Dharmagranti, Tantripala, dan Sairandri. Brihannala juga bercerita tentang kematian
Mahasenapati Kicaka yang berani menghina Draupadi.
“Aku ini Arjuna. Putra Mahkota, jangan takut. Engkau akan melihat bagaimana aku menaklukkan Kaurawa. Biar- pun di pihak Kaurawa ada Bhisma, Drona, Duryodhana dan Aswatthama, kita harus rebut kembali ternak dan harta yang mereka rampas. Dan engkau akan menjadi masyhur. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga bagimu,” kata Arjuna meyakinkan Uttara. Uttara segera mengatupkan kedua telapak tangannya,
memberi hormat kepada Arjuna, dan berkata, “Tak ku sangka engkau adalah Arjuna. Alangkah beruntungnya aku dapat bertemu denganmu. Arjuna, kau kesatria perkasa. Engkau telah menanamkan keberanian dalam jiwaku. Maafkan kesalahanku karena kedunguanku.”
Di kereta yang dikemudikan Uttara, Arjuna bercerita tentang kisah-kisah kepahlawanan untuk membangkitkan keberanian Uttara. Kini kereta semakin mendekati pertahanan pasukan Kaurawa. Arjuna minta agar kereta dihentikan. Kemudian mereka turun. Perhiasan wanita ditanggalkannya, rambutnya yang panjang diikat, pakaian perempuan ditukarnya dengan pakaian perang, dan senjata-senjatanya disiapkan. Dengan menghadap Batara Surya di arah timur, Arjuna bersila dan bersembahyang, memuja dan berdoa. Setelah selesai, ia berdiri tegak penuh keagungan, membuat Uttara terkagum-kagum. Pangeran itu bangkit semangatnya. Ia naik ke kereta. Arjuna mengangkat busur Gandiwa, memasang anak panah, membidik ke angkasa, menarik tali busur, dan ... meluncurlah anak panah itu membelah angkasa dengan bunyi mendesing-desing. Kemudian Arjuna meniup terompet kerangnya yang bernama Dewadatta. Suaranya menderu menggema ke seluruh penjuru! Mendengar bunyi itu, pasukan Kaurawa terkejut. Mereka saling berpandangan. Dengan telinganya yang tajam, Drona memastikan bahwa suara itu berasal dari desingan anak panah Gandiwa dan gema terompet kerang Dewadatta milik Arjuna. Drona membisikkan hal itu kepada Karna yang menanggapi, “Mana mungkin itu Arjuna? Apa peduli kita kalaupun ia ada di sini? Apa yang bisa ia lakukan sendirian menghadapi kita, jika Pandawa lainnya bersama Wirata pergi ke selatan melawan Susarma? Paling-paling ia hanya bersama Uttara, Putra Mahkota yang pengecut itu!” Duryodhana menyambung, “Kenapa kita mesti pusing- pusing? Walaupun itu Arjuna, paling-paling ia hanya akan menyerahkan diri ke tangan kita untuk ditemukan sebelum waktunya. Dan, karena itu kita bisa mengirim Pandawa ke hutan selama dua belas tahun lagi.” Dari kejauhan tampak sesuatu bergerak kencang. Debu mengepul bagaikan ekor binatang. Sekali lagi terdengar desing Gandiwa dan gema Dewadatta.
“Pasukan kita diserbu. Itu Arjuna datang menyerbu mereka,” kata Drona dengan prihatin. Duryodhana kesal melihat sikap Drona seperti itu. Ia
berkata kepada Karna, “Sumpah Pandawa adalah menerima pengasingan di hutan selama dua belas tahun dan setahun bersembunyi tanpa dikenali. Tahun ketiga belas belum habis, tetapi Arjuna sudah berani muncul. Kenapa kita mesti prihatin? Mereka harus mengembara di hutan selama dua belas tahun lagi. Drona terlalu banyak mempelajari falsafah hingga jadi penakut. Biarlah ia bersembunyi di belakang, kita maju terus!”
Karna mengangguk setuju dan berkata, “Memang, jika tidak biasa bertempur pasti gemetar. Kalaupun yang datang memang Arjuna, kenapa kita mesti takut? Parasurama sekalipun, aku tidak gentar. Aku akan hadang ia kalau ia berani maju. Balatentara Matsya mungkin bisa merebut kembali ternak mereka, tetapi Arjuna harus berhadapan dengan aku.” Kemudian Karna membunyikan terompetnya sendiri dan meledakkan senjatanya tanda ia siap bertempur. Mahaguru Kripa yang mendengar kata-kata Karna menasihati, “Jangan berbuat tolol. Kita harus menyerang Arjuna bersama-sama dan serentak. Hanya dengan cara itu kita akan berhasil. Jangan omong besar dan berperang tanding sendirian.”
Karna naik pitam. Ia berkata lantang, “Oh, Mahaguru Kripa ternyata sudah mulai menyanyikan lagu pujian untuk Arjuna. Apakah karena takut atau karena sayang kepada Pandawa? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, para tetua semua takut dan menasihatkan agar kita tak usah bertempur. Kalau begitu, sebaiknya kalian tinggal di belakang dan menonton saja. Seharusnya, mereka yang telah makan garam di Hastinapura berani maju bertempur.
“Aku hanya mengenal cinta kepada kawan dan benci kepada musuh. Aku takkan mundur! Apa guna mereka mempelajari kitab-kitab suci, jika sampai di sini hanya memuji-muji musuh?”
Aswatthama, putra Drona dan kemenakan Mahaguru Kripa, tak tahan mendengar sindiran tajam Karna. Ia menyahut, “Kita belum membawa pulang ternak ke Hastinapura. Kita belum memenangkan pertempuran. Omong besarmu tidak ada gunanya. Mungkin kami bukan golongan kesatria; mungkin kami tergolong orang yang hanya membaca-baca mantra, Weda dan kitab-kitab Sastra. Meski demikian, kami belum pernah menemukan ajaran yang menyatakan bahwa seorang raja dikatakan kesatria jika bisa merampas kerajaan lain dengan tipu daya dalam permainan dadu.
“Dengarlah, Karna. Mereka yang telah bertempur mati-matian dan menaklukkan banyak kerajaan tidak pernah menyombongkan kemenangan mereka. Tapi... engkau? Aku belum pernah melihat hasil perbuatanmu yang pantas engkau banggakan.
“Api tidak ribut tetapi membakar. Matahari bersinar bukan untuk dirinya. Bumi memeluk segala yang ada di bahunya tanpa berisik. Pujian apakah yang pantas diberikan kepada kesatria yang merampas kerajaan lain dengan tipu daya dalam permainan dadu? Keberhasilan menipu Pandawa tidak pantas dibanggakan, ibarat menangkap burung piaraan sendiri dengan perangkap yang hebat.
“Duryodhana dan Karna, pertempuran apakah yang telah kalian menangkan melawan Pandawa? Pantaskah kalian merasa bangga karena telah mempermalukan Draupadi? Kalian hampir saja menghancurkan bangsa Kuru, seperti si pandir menebang pohon cendana karena mabuk oleh keharumannya.
“Melemparkan dadu untuk mendapat angka 4 atau 2 tidak sesulit menghadapi desing Gandiwa Arjuna. Apa kalian kira Sakuni bisa menyulap jalannya pertempuran agar kita menang? Mungkin kita semua sudah gila.”
Para pemimpin pasukan Kaurawa mulai berperang mulut, saling mencaci dan memaki. Bhisma sedih melihat itu dan berkata dengan sabar, “Orang yang berbudi luhur tidak akan mencaci-maki mahagurunya. Orang yang pergi berperang pasti sudah memperhitungkan segala kemungkinan, yaitu tempat, waktu, dan situasi.
“Memang, orang pandai bisa juga kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Karena marah, Duryodhana lupa bahwa kita berhadapan dengan Arjuna yang sekarang, bukan Arjuna yang dulu. Pikiranmu gelap terselubung amarah dan dendam kesumat, Duryodhana.
“Aswatthama, jangan kaumasukkan kata-kata Karna yang tajam itu ke dalam hatimu. Jadikan itu sebagai peringatan agar kau mawas diri dan lebih cermat dalam bertindak.
“Sekarang bukan waktunya untuk berkelahi atau membesar-besarkan perbedaan. Drona, Mahaguru Kripa dan Aswatthama harus memaafkan Karna. Kaurawa tak mungkin menemukan mahaguru yang hebat seperti Kripa dan Drona serta Aswatthama, putra Drona, yang sakti dan perkasa. Mereka adalah kesatria-kesatria sakti yang mumpuni dalam ilmu kitab suci.
“Kita tahu, kecuali Parasurama, tak seorang pun bisa menandingi Drona. Kita hanya bisa menaklukkan Arjuna jika kita serang dia bersama-sama. Mari kita hadapi tugas berat ini bersama-sama. Kalau kita terus bertengkar, kita tidak akan bisa menundukkan Arjuna.” Demikianlah nasihat Bhisma, sesepuh yang dimuliakan dan disegani seluruh bangsa Kuru. Semua terdiam dan tertunduk mendengar kata-kata Bhisma!
Bhisma menoleh kepada Duryodhana, lalu melanjutkan, “Wahai Raja para Kaurawa, Arjuna sudah datang. Waktu tiga belas tahun yang ditetapkan sebagai masa pengasingan dan persembunyian Pandawa telah habis kemarin. Perhitunganmu salah. Tanyakan kepada pendita yang tahu tentang pergantian hari, bulan dan peredaran bintang-bintang. Aku tahu masa pengasingan mereka sudah selesai ketika kita mendengar deru terompet Arjuna. Sekarang Pandawa telah bebas. Pikirkan baik-baik sebelum memutuskan untuk bertempur. Jika engkau mau berdamai dengan Pandawa, sekaranglah waktunya. Apa yang engkau kehendaki? Perdamaian yang adil dan terhormat, atau ... kehancuran bersama dalam peperangan? Pertimbangkan baik-baik dan tentukan pilihanmu.”
Duryodhana menjawab, “Kakek Yang Mulia, aku tidak ingin berdamai. Aku tidak sudi menyerahkan satu desa pun kepada Pandawa. Mari bersiap untuk perang.”
Drona berkata, “Kalau demikian, biarlah Baginda Duryodhana kembali ke Hastinapura dikawal seperempat bala- tentara kita. Separo dari balatentara yang ada akan mengawal ternak dan barang rampasan yang dibawa ke Hastinapura sebagai bukti bahwa kita menang perang. Dengan kata lain, tanpa ternak-ternak itu berarti kita menerima kekalahan. Lalu, balatentara yang tersisa akan mengawal kita berlima, Bhisma, Kripa, Karna, Aswatthama dan aku sendiri, untuk menghadapi Arjuna.”
Kemudian, balatentara Kaurawa diatur menurut pembagian itu. Arjuna tidak melihat Duryodhana dalam pasukan Kaurawa yang dihadapinya. Ia berkata kepada Uttara, “Aku tidak melihat Duryodhana dan keretanya. Aku hanya melihat Bhisma. Mungkin Duryodhana sedang merebut ternak kita. Ayo kita kejar dia dan kita rebut kembali ternak kita.” Uttara melecut kudanya ke arah yang ditunjukkan Arjuna. Mereka mengejar pasukan Kaurawa yang menggiring ternak dan membawa barang-barang rampasan. Arjuna menyerang pasukan itu hingga mereka tunggang langgang meninggalkan ternak dan barang-barang rampasan. Setelah musuh kabur, Arjuna menyuruh para gembala mengambil kembali ternak mereka.
Kemudian Arjuna mencari Duryodhana. Mengetahui hal itu, Bhisma mengerahkan pasukan Kaurawa untuk membantu Duryodhana. Mereka mengepung Arjuna. Tahu dirinya dikepung, Arjuna memutuskan untuk menggempur pemimpin balatentara Kaurawa satu per satu. Pertama, diserangnya Karna dengan serangan kilat. Karna tak mampu melawan. Ia terpelanting jatuh dari keretanya. Kemudian Arjuna menerjang Drona hingga terjengkang. Aswatthama melihat ayahnya kalah lalu cepat-cepat membantu. Serangan Aswatthama berhasil ditangkis Arjuna. Justru Aswatthama yang dibuat tidak berkutik karena serangan Arjuna yang bertubi-tubi.
Mahaguru Kripa menyerang Arjuna dari belakang, dibantu oleh Bhisma dan Duryodhana. Arjuna ingin melumpuhkan mereka satu per satu, karena ia sadar tidak punya teman apalagi pasukan. Arjuna berhasil menghindari serangan Kripa dan Bhisma. Lalu ia memusatkan serangannya pada Duryodhana. Pangeran itu ingin sekali memancung leher Arjuna, tetapi ia justru dihujani panah dan terpaksa lari terbirit-birit seperti pengecut.
Karena kewalahan menghadapi Mahaguru Kripa dan Bhisma yang terus menyerangnya, Arjuna memutuskan untuk mengeluarkan ajian pembius. Ia lalu membuat kedudukan musuhnya terpusat. Setelah lawan berada dalam posisi yang diinginkannya, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke tengah-tengah balatentara Kaurawa. Satu per satu orang-orang itu jatuh pingsan. Dengan mudah Uttara dan Arjuna merampas jubah mereka, sebagai tanda kemenangan.
Arjuna berkata kepada Uttara, “Belokkan arah kereta. Ternak dan harta benda telah kembali kepada rakyat kita dan musuh sudah kita taklukkan. Wahai Putra Mahkota, pulanglah engkau dan bawalah berita kemenangan ini.” Sebelum sampai ke istana, Arjuna menyimpan kembali senjata-senjatanya di tempat rahasia, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya kembali seperti Brihannala, sang guru tari. Kemudian ia mengirim utusan ke ibu kota Matsya untuk menyampaikan berita kemenangan gemilang Uttara kepada Raja Wirata. Di tempat pertempuran, Duryodhana kembali ke induk pasukannya. Dilihatnya Bhisma dan yang lain-lain baru saja siuman dan jubah mereka tidak ada lagi. Artinya, Kaurawa kalah dan sebaiknya mundur. Dengan memikul kekalahan besar, Kaurawa kembali ke Hastinapura.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment