Saturday, March 25, 2017

MAHABHARATA 47




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
47. Rencana Penculikan Yudhistira I
Dengan gugurnya Bhisma, padamlah semangat balatentara Kaurawa. Tetapi, begitu mendengar bahwa Karna sudah mendapat restu dari kesatria tua itu untuk memimpin mereka, semangat mereka untuk berperang kembali berkobar. Duryodhana senang sekali. Dipeluknya Karna dengan gembira. Segera ia berunding dengan Karna untuk menentukan siapa saja yang pantas dipilih menjadi mahasenapati. Karna berpendapat bahwa setiap raja atau putra mahkota serta kesatria yang bergabung dengan balatentara Kaurawa pantas diangkat menjadi mahasenapati. Alasannya, mereka semua mempunyai kekuatan, kecakapan, keberanian, ketangkasan, kewibawaan, keagungan dan kebijaksanaan yang setara. Tetapi, tentu saja tidak mungkin mengangkat beberapa mahasenapati sekaligus. Jika salah satu di antara mereka dipilih, yang lainnya mungkin akan merasa dihina, iri hati atau sakit hati. Akibatnya, semua akan menderita. Menurut pikiran Karna, sebaiknya Drona yang diangkat sebagai mahasenapati, sebab ia adalah mahaguru dari hampir semua kesatria yang tergabung dalam pasukan Kaurawa. Dengan mantap Duryodhana menyetujui usul itu. Kemudian Duryodhana pergi menghadap Mahaguru Drona. Di hadapan para senapati balatentara Kaurawa, ia dengan singkat mengumumkan pengangkatan Drona. Mula-mula kata-katanya ditujukan kepada mahaguru itu, “Mahaguru yang kami hormati dan kami cintai, engkau orang yang tidak ada bandingnya dalam kewibawaan, keturunan, kecakapan, kebijaksanaan, keagungan, umur dan ilmu pengetahuan. Kami mohon, kiranya engkau sudi diangkat menjadi mahasenapati pasukan perang kita. Di bawah pimpinanmu, kita pasti menang.”
Kemudian Duryodhana berkata kepada para hadirin, “Saudara dan sahabatku sekalian, sesuai pilihan kami, Mahaguru Drona akan memimpin kita dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya. Bersiaplah untuk menerimanya sebagai pimpinan.”
Semua yang hadir menyambut ucapan Duryodhana dengan hangat dan meriah, sambil bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Demikianlah, Drona dilantik menjadi Mahasenapati dalam upacara yang meriah, diiringi tambur, genderang dan trompet yang gegap gempita. Balatentara Kaurawa mendapat semangat baru dari pemimpin yang baru.
Pada hari pertama Drona memimpin, pasukan Kaurawa diatur dalam formasi bola. Karna yang selama sepuluh hari tidak muncul di medan perang, pada hari kesebelas itu tampak siap dengan keretanya yang kokoh dan megah. Banyak prajurit berbisik-bisik, membicarakan ketidakhadirannya selama sepuluh hari ini. Mereka berpendapat, Karna tidak mau ikut berperang karena Bhisma yang memegang pimpinan. Mereka juga berpendapat bahwa kekalahan yang mereka derita adalah kesalahan Bhisma. Hampir semua menyalahkan kesatria tua yang telah gugur itu dalam pertempuran itu. Sekarang, di bawah pimpinan Karna, mereka membayangkan kemenangan akan berpihak pada mereka dan Pandawa akan hancur.
Diam-diam Duryodhana berunding dengan Drona, Karna dan Duhsasana. Duryodhana mengemukakan maksudnya untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup. Ia berkata, “Aku tidak menginginkan apa-apa, tidak juga kemenangan, asalkan Yudhistira bisa ditangkap hidup-hidup. Kalau Mahaguru Drona bisa melakukan ini, kita semua akan puas.”
Mendengar rencana Duryodhana, hati Drona sangat senang. Dalam hati sesungguhnya ia tidak suka berperang melawan Pandawa, apalagi menghabisi mereka. Dalam sikap lahiriah, tentu ia harus patuh dan setia memihak Kaurawa. Karena itu, ia menanggapi rencana Duryodhana ini dengan puji-pujian. Katanya, “Putra Mahkota, semoga engkau selalu mendapat restu dari Brahma Yang Esa. Rencanamu untuk tidak membunuh Yudhistira sungguh mulia dan membuatku bahagia. Sesungguhnya, di dunia ini Yudhistira tidak punya musuh. Rencanamu untuk menaklukkan Pandawa dengan jalan menjadikan Yudhistira sebagai tawanan, kemudian membagi-bagi kerajaan, dan hidup damai dalam persahabatan dengan mereka, sungguh sangat agung. Aku melihat kemungkinan itu dengan jelas sekali. Kita semua akan lakukan ini dengan sebaik- baiknya.”
Tetapi, sebenarnya niat Duryodhana sama sekali lain dari yang dimengerti oleh Mahaguru Drona. Yang ada di benak Duryodhana adalah: Jika Yudhistira tewas dalam pertempuran, tidak sesuatu pun akan diperoleh dari kemenangan itu karena hal itu justru akan membuat saudara- saudaranya semakin marah dan garang. Pertempuran akan semakin seru dan korban akan semakin banyak. Lebih penting dari itu, Duryodhana sadar bahwa kekalahan pasti ada di pihaknya. Lagi pula, jika pertempuran diteruskan sampai kedua pihak hancur lebur, Krishna masih akan tetap hidup. Dan, ia pasti akan mengangkat Draupadi atau Dewi Kunti untuk menduduki takhta kerajaan, sebagai pewaris sah Kerajaan Hastina. Jika demikian, apa gunanya membunuh Yudhistira? Karena itu, jalan yang terbaik adalah menangkap Yudhistira hidup-hidup dan segera menghentikan perang. Langkah kedua adalah memanfaatkan kebaikan hati Yudhistira untuk maksud-maksud selanjutnya, yaitu dengan mengundangnya untuk bermain dadu lagi. Duryodhana sudah memperhitungkan bahwa undangan main dadu itu pasti tidak akan ditolak. Selanjutnya tidak ada soal lagi, sebab Sakuni tetap satu- satunya ahli siasat main dadu. Pandawa, yang pasti akan kalah, akan diusir lagi ke pengasingan selama tiga belas tahun. Menurut kenyataan, selama sepuluh hari bertempur
Kaurawa lebih sering kalah. Ini berarti, sulit bagi Duryodhana untuk meraih apa yang diinginkannya. Ketika Duryodhana mengungkapkan niatnya dengan terus terang, Mahaguru Drona merasa tertipu. Dalam hati ia mengutuk Duryodhana. Tetapi, apa pun niat Duryodhana, ada satu hal yang pasti, yaitu: ia tidak akan membunuh Yudhistira. Hal itu membuat Drona merasa agak lega.
Demikianlah, ia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup dan menyerahkannya kepada Duryodhana. Tetapi, rencana itu sampai ke telinga Pandawa melalui mata-mata mereka. Karena itu, Pandawa semakin waspada dan selalu menugaskan beberapa prajurit yang perkasa untuk mengawal Dharmaputra. Pertempuran di hari kesebelas berlangsung dengan seru. Di bawah pimpinan Drona, pasukan Kaurawa unggul. Mereka berhasil membelah formasi pasukan Pandawa menjadi dua, menembus ke pusat formasi dan langsung berhadapan dengan Dristadyumna. Terjadilah pertarungan satu lawan satu di seluruh medan pertempuran. Sahadewa melawan Sakuni yang ahli siasat dan tipu muslihat di meja perjudian maupun di medan pertempuran. Di tempat lain, Bhimasena melawan Wiwimsati, Salya melawan Nakula, Kripa berhadapan dengan Dristaketu, Karna melawan Wirata, Satyaki berhadapan dengan Kritawarma, dan Paurawa melawan Abhimanyu.
Dalam situasi demikian, Drona memerintahkan pasukan Kaurawa untuk langsung menyerang dan menangkap Yudhistira. Alangkah gagahnya Drona dengan kereta emasnya yang ditarik empat kuda jantan dari lembah Sindhu. Yudhistira menyambut serangan Drona dengan tangkas dan membalasnya dengan melepaskan anak panahnya yang bergerigi dan dihiasi kitir bulu burung garuda. Drona
membalasnya hingga busur Yudhistira patah. Tiba-tiba Dristadyumna mendekat, berusaha menghalangi laju kereta Drona. Tetapi ia dengan mudah dikalahkan oleh Mahasenapati Kaurawa itu. Anak buah Dristadyumna tiba- tiba berteriak lantang, “Awas, awas Dharmaputra hendak ditangkap! Awas Dharmaputra hendak ditangkap!”
Mendengar teriakan itu, secepat kilat Arjuna meluncur mendekat dengan keretanya. Gemuruh keretanya yang melaju membelah udara. Ia berhasil memotong jalan kereta Drona yang sudah sangat dekat dengan kereta Yudhistira. Dari Gandiwanya menyembur ratusan anak panah susul- menyusul, membuat Drona mundur dan membatalkan niatnya.
Pertempuran antara Drona dan Arjuna tidak berlanjut karena saat itu matahari telah tenggelam.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment