Tuesday, March 28, 2017

MAHABHARATA 48




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
48. Abhimanyu Gugur
Brahmana yang kuhormati, sebetulnya kemarin Yudhistira bisa kau tangkap jika kau memang menghendakinya. Tidak seorang pun dapat menghalangimu. Tetapi engkau tidak melaksanakan rencanamu dan membiarkan kesempatan terbaik berlalu begitu saja. Aku tidak mengerti mengapa kau tidak bisa melaksanakan janjimu. Benarlah kata orang, orang-orang besar memang sulit dimengerti,” demikian kata Duryodhana kepada Mahasenapati Drona di pagi hari ketiga belas.
“Putra Mahkota Duryodhana, aku telah berusaha dengan segala kekuatan dan kemampuanku. Rupanya engkau hanya menuruti pikiranmu yang tidak wajar sebagai raja. Engkau sebenarnya tahu, selama Arjuna masih hidup, kita takkan bisa menculik Yudhistira. Sejak semula hal ini sudah kujelaskan padamu. Hanya ada satu cara untuk memisahkan mereka, yaitu memaksa mereka bertempur di medan yang berbeda. Kita sudah mencoba cara itu, tapi gagal. Hari ini kita coba lagi. Janganlah engkau cepat patah semangat,” kata Mahaguru Drona sambil menahan amarahnya.
Pada hari ketiga belas, Arjuna ditantang lagi dengan sumpah Samsaptaka di ujung selatan medan pertempuran. Sesuai rencana, Drona mengatur serangannya ke induk pasukan Pandawa dengan formasi kembang teratai. Dalam induk pasukan Pandawa ada Yudhistira, Dristadyumna, Bhimasena, Satyaki, Drupada, Chekitana, Gatotkaca, Kuntiboja, Yudhamanyu, Srikandi, Uttamaujas, Wirata, Raja Kekaya, Raja Srinaya dan para kesatria lainnya. Semua lengkap dikawal anak buah masing-masing. Yudhistira mengerti betul formasi pasukan Drona. Dipanggilnya Abhimanyu, kemenakannya yang masih muda dan tampan. Seperti Arjuna, ayahnya, Abhimanyu amat mahir menggunakan bermacam-macam senjata.
“Anakku, Mahaguru Drona hari ini akan menyerang kita secara besar-besaran. Ayahmu telah berangkat ke medan pertempuran di selatan. Kalau dia tak ada, kita bisa dikalahkan musuh dan itu akan menjadi malapetaka besar bagi kita. Tidak seorang pun di antara kita yang akan mampu menembus formasi Drona, kecuali ayahmu dan mungkin engkau. Paman berharap, engkau bersedia melakukan tugas ini,” kata Yudhistira kepada Abhimanyu.
“Ya, Paman, aku bersedia melakukannya. Ayah pernah
mengajarkan cara menembus formasi seperti itu, tetapi aku belum pernah mempelajari cara keluarnya,” jawab kesatria muda itu.
“Anakku yang gagah berani, tembuslah formasi yang kokoh itu dan buatlah jalan masuk agar kami dapat mengikutimu dari belakang. Selanjutnya, kami semua akan membantumu,” tambah Yudhistira.
Pendapat Dharmaputra didukung Bhimasena, yang
harus segera menyusul kemenakannya jika Abhimanyu telah berhasil masuk ke dalam formasi kembang teratai itu. Di belakang Bhimasena akan menyusul Dristadyumna, Satyaki, Raja Panchala, Raja Kekaya, dan pasukan Kerajaan Matsyadesa. Ingat akan ajaran ayahnya dan Krishna serta meresapkan dorongan semangat dari paman-pamannya, Abhimanyu berkata, “Baiklah, aku akan memenuhi harapan ayahku dan pamanku. Kupertaruhkan keberanian dan nyawaku demi kemenangan Pandawa.”
Yudhistira memberi restu kepada kesatria muda itu. Dengan kereta kesayangannya yang dikemudikan Sumitra, Abhimanyu berangkat melakukan tugas suci yang dipercayakan kepadanya oleh pamannya. Kereta yang ditarik empat ekor kuda gagah itu segera meluncur menembus jantung formasi kembang teratai, bagaikan seekor singa membelah gerombolan gajah perkasa.
Kedatangan Abhimanyu di tengah-tengah kekuatan Kaurawa membuat sebagian prajurit Kaurawa cemas. Mereka tahu benar, kesatria muda itu hampir sama sakti dan mahirnya dengan ayahnya, Arjuna.Ketika Abhimanyu maju dengan perkasa, pasukan Kaurawa mundur dan terbelah dua. Jayadrata, raja Negeri Sindhu, yang memihak Kaurawa adalah seorang ahli siasat dan taktik pertempuran yang disegani lawan maupun kawan. Ia memotong belahan yang dibuat Abhimanyu, membuat kesatria muda itu terperangkap. Bhimasena dan yang lain tercegat, tak bisa menyusul Abhimanyu dan harus berhadapan dengan pasukan yang dipimpin oleh Jayadrata. Kendati demikian, Abhimanyu terus maju menyerang musuh yang beribu-ribu jumlahnya. Ia menyerang ke kanan dan ke kiri, tidak peduli siapa pun yang dihadapinya. Tidak terhitung banyaknya korban di pihak Kaurawa yang jatuh bagai pohon-pohon bertumbangan diamuk angin topan. Tombak, gada, pedang, busur, anak panah dan bola-bola besi berserakan di mana-mana. Mayat-mayat bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa lengan; ada yang badannya terbelah. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.
Melihat ini, Duryodhana merasa perlu untuk maju menghadapi Abhimanyu. Mahaguru Drona yang tahu benar kekuatan, keberanian dan tekad Abhimanyu, terpaksa mengirimkan bala bantuan untuk mengawal Duryodhana agar pangeran Kaurawa itu tidak tewas di tangan Abhimanyu. Duryodhana nyaris tewas, tetapi sempat diselamatkan oleh para pengawalnya. Akhirnya, tanpa malu atau segan, para senapati Kaurawa melanggar semua aturan perang. Beramai-ramai mereka mengeroyok putra Arjuna, dari segala penjuru dan dengan segala macam cara. Drona, Aswatthama, Kripa, Karna, Sakuni, Duhsasana dan para kesatria besar yang patut dihormati, tanpa malu atau tanpa ragu menyerang Abhimanyu yang sendirian tanpa pasukan dan tanpa bala bantuan di tengah ribuan musuhnya. Abhimanyu bagaikan perahu kecil yang tak berdaya digulung gelombang yang susul-menyusul di lautan mahaluas ketika badai topan mengamuk dengan dahsyatnya. Tetapi dengan penuh tekad Abhimanyu terus memberikan perlawanan, bagai perahu yang terus maju memecah ombak dan melawan angin. Asmaka menyerang Abhimanyu dengan menabrakkan keretanya yang dipacu sekencang angin. Tetapi Abhimanyu menghadapinya sambil tersenyum. Pertarungan yang tak seimbang antara seorang kesatria muda yang belum berpengalaman melawan puluhan kesatria sakti yang sudah berpengalaman membuat orang iba kepada Abhimanyu. Ia berhasil menghancurkan senjata Karna dan menyerang Salya hingga kedua kesatria yang sudah tidak muda lagi itu terluka parah. Saudara Salya membalas dengan menggempur Abhimanyu, tetapi ia juga dapat dikalahkan. Abhimanyu menghancurkan keretanya.
Drona terharu menyaksikan Abhimanyu bertempur dengan gagah berani. Ia berkata kepada Kripa, “Adakah yang bisa menandingi keberanian Abhimanyu? Sungguh ia pemuda yang perkasa dan berani!”
Duryodhana, yang kebetulan berdiri di dekat Kripa,
tersinggung mendengar kata-kata Drona. Ia memang cepat naik darah.
“Guru selalu memihak Arjuna. Guru tidak mau membunuh Abhimanyu,” kata Duryodhana dengan curiga, seperti ketika mencurigai Bhisma. Memang, sejak kecil Duryodhana sudah berwatak buruk. Segala perbuatannya mendorongnya untuk menambah kesalahan dan dosanya. Kelak ia akan memetik karmaphala atas perbuatannya sendiri.
Duhsasana malu, tetapi juga benci dan iri melihat keberanian Abhimanyu. Sambil berteriak lantang ia menantang Abhimanyu, “Hai anak muda, engkau pasti mampus di tanganku,”
Begitu selesai mengucapkan tantangannya, ia segera menyerbu. Serangannya dihadapi Abhimanyu dengan mantap. Beberapa saat kemudian, Abhimanyu dapat menaklukkan Duhsasana. Untuk terakhir kalinya, Abhimanyu melontarkan bola besi, tepat mengenai kepala Duhsasana. Kesatria Kaurawa itu jatuh terkapar di dalam keretanya, tidak sadarkan diri. Untunglah, saisnya secepat kilat membawanya lari mundur untuk diselamatkan. Sementara itu induk pasukan Pandawa tidak bisa lagi menyusul Abhimanyu karena dihalang-halangi pasukan yang dipimpin Jayadrata, menantu Dritarastra. Jayadrata menyerang Yudhistira. Dharmaputra melemparkan tombaknya, tepat mengenai busur Raja Sindhu itu. Tetapi, dengan busur baru Jayadrata memanah Dharmaputra, tepat mengenai keretanya. Bhimasena membantu Yudhistira dengan memanah kereta Jayadrata, tepat mengenai payung kebesaran dan panji-panjinya. Jayadrata membalas dengan melesatkan empat anak panah sekaligus. Keempat kuda Bhimasena tewas seketika. Bhima terpaksa melompat ke kereta Satyaki.
Bagaikan banjir bandang melanda dusun, sawah, dan ladang, Abhimanyu terus maju menerjang. Tak terbilang banyaknya korban berjatuhan di tangan kesatria muda unggulan Pandawa itu. Putra Duryodhana, Laksamana, yang juga masih muda dan gagah berani, maju menghadapi Abhimanyu. Putra Dewi Subadra dan Arjuna itu menyambut Laksmana dengan lontaran bola besi yang berkilauan. Bola besi itu melesat cepat, tepat menembus dada cucu Dritarastra. Kesatria itu terpelanting jatuh, tewas seketika. Kaurawa sedih kehilangan Laksmana, putra Duryodhana, junjungan mereka.
Mendengar kabar kematian putranya, Duryodhana mengamuk. Ia berteriak lantang, mengancam Abhimanyu, “Hai Abhimanyu! Berani benar kau membunuh putra kesayanganku. Terimalah pembalasanku!” Ia segera memerintahkan keenam kesatria Kaurawa yang telah berpengalaman, yaitu Drona, Kripa, Karna, Aswatthama, Brihatbala dan Kritawarma untuk mengepung putra Arjuna itu dari belakang, depan, samping kanan dan samping kiri.
“Tidak mungkin menundukkan pemuda ini tanpa melumpuhkan keretanya lebih dahulu,” teriak Drona. Ia menyuruh Karna membidik tali kekang dan keempat kuda Abhimanyu sebelum menyerang kesatria itu.
Tanpa malu para kesatria Kaurawa melanggar aturan perang dan menyerang Abhimanyu dari segala arah. Panah Karna memutus tali kekang hingga keempat kuda penarik kereta itu tak terkendali. Kemudian, Karna menyerang Sumitra, sais kereta, dan keempat kuda itu. Sumitra dan keempat kuda itu mati seketika. Tetapi, Abhimanyu terus maju melawan musuh-musuhnya dengan pedangnya! Semua lawannya kagum dan dalam hati merasa malu melihat ketangkasan dan keberanian kesatria muda itu. Drona menebas pedang Abhimanyu hingga patah berkeping-keping, sementara Karna menghancurkan perisainya dengan bidikan anak panah. Abhimanyu terus melawan. Diambilnya roda keretanya yang sudah berantakan dan digunakannya sebagai senjata cakra. Diayun-ayunkannya roda itu dan ditumbukkannya pada siapa saja yang berani mendekatinya.
Dalam keadaan demikian, Abhimanyu serentak diserbu dengan berbagai macam senjata, seperti tombak, gada, busur, panah, perisai, lembing, pedang, dan sebagainya. Roda kereta yang digunakannya sebagai cakra hancur berantakan. Tetapi Abhimanyu terus melawan. Ia menerjang salah satu putra Duhsasana lalu bergumul dengan hebat.
Tetapi... seberapakah kekuatan seseorang tanpa senjata tanpa pengawal dan dikeroyok oleh beratus-ratus musuh? Dengan kekuatan yang tersisa di raganya, Abhimanyu masih dapat menarik kaki lawannya hingga mereka jatuh bersama ke tanah.
Begitu Abhimanyu jatuh, para Kaurawa segera mengha-
bisinya. Ada yang menombak, ada yang memanah, ada yang menusuk-nusuk dengan lembing, ada yang memukul dengan gada, ada yang mencongkel-congkel dengan busur. Pendek kata, semua siksaan kejam terkutuk itu ditimpakan ke tubuh Abhimanyu yang sudah penuh luka. Semua itu dilakukan Kaurawa sambil bersorak-sorak. Seperti setan dan iblis, mereka menari-nari mengelilingi jasad Abhimanyu yang sudah tidak berbentuk.
Yuyutsu, salah satu putra Dritarastra yang ikut mengeroyok Abhimanyu merasa sangat kecewa dan marah melihat perbuatan para senapati Kaurawa.
“Cara kalian membunuh Abhimanyu sungguh sangat tercela! Tuan-Tuan adalah kesatria besar. Apakah Tuan-Tuan telah melupakan etika dan moral dalam berperang? Seharusnya Tuan-Tuan malu karena perbuatan keji ini. Sungguh tak pantas berteriak-teriak dan menari-nari di atas mayat musuh yang Tuan-Tuan bunuh secara jahat dan keji. Apakah pantas perbuatan Tuan-Tuan itu? Sekarang Tuan-Tuan bisa bergembira, tetapi kelak Tuan-Tuan pasti memetik hasil ‘kemenangan’ Tuan-Tuan yang kejam.” Setelah berkata demikian, dengan muak Yuyutsu melemparkan semua senjatanya lalu meninggalkan medan Kurukshetra untuk selama-lamanya. Ia tidak takut mati di medan pertempuran, tetapi ia muak melihat perbuatan keji seperti yang dilakukan oleh para senapati Kaurawa itu. Ia tahu benar bahwa perbuatan seperti itu bukan perbuatan kesatria sejati. Ia menyindir para senapati Kaurawa dengan kata-kata tajam. Mungkin mereka menganggap Yuyutsu pengkhianat, tetapi sebenarnya, dialah yang memiliki iktikad baik dan jujur, sesuai dengan hati nuraninya sebagai kesatria.
“Yang jahat akan tetap jahat, yang keji tetap harus dihukum, yang berbuat sesuatu tetap harus memetik buahnya.”
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment