Sunday, March 12, 2017

MAHABRATA 37


_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
37. Krishna dalam Wujud Wiswarupa (bag. I)
Sejak Sanjaya berangkat menuju perkemahan Pandawa di Upaplawya, Dritarastra gelisah dan cemas menantikan berita yang akan dibawa kembali oleh utusannya. Siang tak enak makan, malam tak enak tidur. Ia memanggil Widura untuk menemaninya bercakap-cakap. Widura berkata, “Yang terbaik dan paling aman adalah mengembalikan wilayah kerajaan Pandawa seperti semula. Hanya itu yang akan membawa kebaikan dan keabadian bagi kedua belah pihak. Perlakukan Pandawa dan putra- putramu dengan kasih sayang yang sama. Dalam hal ini, cara yang benar adalah penyelesaian yang bijaksana.”
Demikianlah Widura mencoba menghibur dan memberi jalan kepada Dritarastra yang buta agar raja itu dapat bertindak tepat terhadap anak-anaknya dan kemenakannya.
Esok harinya Sanjaya telah kembali ke Hastinapura. Ia memberikan laporan panjang lebar. Sebelum menutup laporannya, ia berkata, “Yang terpenting, Duryodhana harus tahu apa yang dikatakan oleh Arjuna, yaitu:
“... Krishna dan aku akan hancurkan Duryodhana dan seluruh pengikutnya. Jangan kalian keliru tentang ini. Panah Gandiwaku sudah tidak sabar untuk dibawa bertempur. Busur panahku bergetar biarpun tidak kubidikkan. Di dalam sarungnya, anak panahku bergemerincing beradu, minta segera dilepaskan dari tali busurnya untuk menembus dada Duryodhana yang serakah dan nekat
menantang aku dan Krishna. Ingat, dewa-dewa pun takkan bisa mengalahkan kami.’
“Demikianlah yang dikatakan Dhananjaya kepadaku.” Bhisma mencoba menasihati Dritarastra agar melarang putra-putranya mengadu kekuatan dengan Arjuna dan Krishna. Berkatalah Bhisma, “Karna yang membanggakan diri sanggup membunuh Pandawa kesaktiannya tidak sampai seperenambelas kesaktian Pandawa. Putra-putramu membiarkan diri mereka terseret ke lembah kehancuran karena mendengarkan kata-kata Karna.
“Ketika Arjuna membalas serangan putra-putramu terhadap Raja Wirata dan kemudian mengalahkan Duryodhana, apa yang dilakukan Karna? Ketika Chitrasena si raja raksasa menaklukkan dan menawan Duryodhana, di manakah Karna? Bukankah Arjuna yang membebaskan Duryodhana dan mengusir Chitrasena?” Demikianlah Bhisma terpaksa menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya sikap Karna selama ini.
“Apa yang engkau katakan, wahai Bhisma sang tetua keluarga, adalah satu-satunya jalan yang patut ditempuh,” sahut Dritarastra. Lalu ia melanjutkan, “Setiap orang bijaksana berkata demikian. Aku sendiri juga yakin, itulah satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian. Tetapi apa yang dapat kulakukan? Anak-anakku memang serakah dan buta hati. Mereka ingin menempuh jalan mereka sendiri, tanpa meminta persetujuanku.”
Duryodhana, yang mendengar pembicaraan ayahnya dengan Bhisma, menyela, “Ayahanda, jangan cemaskan keselamatan kami. Jangan takut! Kami tahu kekuatan kami. Kita pasti menang. Yudhistira juga tahu. Kulihat ia sudah putus asa dan akhirnya hanya minta lima desa. Apalagi yang kurang jelas? Ia sudah mulai ketakutan akan menghadapi sebelas divisi balatentara kita. Apa yang dapat dilakukan Pandawa untuk melawan balatentara kita? Kenapa Ayahanda meragukan keunggulan kami?”
“Anakku sayang, sebaiknya kita hindari perang. Belum puaskah kamu memiliki separo dari kerajaan ini? Yang menjadi hakmu itu sebenarnya lebih dari cukup apabila kita bina dengan sebaik-baiknya,” kata Dritarastra.
Tetapi Duryodhana tidak mengindahkan nasihat ayahnya. Ia sudah muak mendengar berbagai nasihat. Kemudian ia berkata dengan keras, “Sejengkal tanah pun takkan kuberikan kepada Pandawa. Setapak pun aku tak sudi bergeser!” Setelah berkata demikian, ia meninggalkan ayahnya tanpa mohon diri.
Sementara itu, setelah Sanjaya meninggalkan Upaplawya, Yudhistira berunding dengan Krishna. Katanya, “Wasudewa, Sanjaya adalah bayangan Dritarastra. Dari ucapannya, aku mencoba menangkap apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Dritarastra. Ia mencoba mengajak kami berdamai, tanpa mengembalikan tanah kami. Sejengkal pun tidak. Mulanya aku senang mendengar ucapannya. Tapi, setelah menyimak dan merenungkan kata-katanya, aku sadar, kegembiraanku tidak beralasan. Kemudian ia menyatakan keinginan untuk berdamai, tetapi dengan syarat yang membuat posisi kami lemah karena mereka takkan mengembalikan hak kami.
“Dritarastra memang bersikap tidak adil kepada kami. Berarti saat-saat gawat semakin dekat. Tidak ada orang lain, kecuali engkau yang dapat menolong kami. Aku telah ajukan tuntutan sesedikit mungkin: hanya lima desa. Tetapi Kaurawa yang serakah pasti tetap menolak. Bagaimana kami bisa bertenggang rasa menghadapi sikap seperti itu? Hanya engkau yang dapat memberi nasihat kepada kami. Hanya engkau yang bisa menunjukkan apa tugas kami sekarang. Hanya engkau yang mampu memimpin kami dalam dharma.”
Krishna menanggapi, “Demi kebaikan kalian, kedua belah pihak—maksudku, sebaiknya aku pergi ke Hastinapura. Aku akan mencoba memintakan hak kalian tanpa peperangan. Kalau usahaku berhasil, itu berarti kebaikan bagi dunia dan umat manusia.”
Kata Yudhistira, “Wahai Krishna, engkau tak perlu pergi ke Hastinapura. Apa gunanya engkau pergi ke tempat musuh? Duryodhana sebenarnya penakut, membenci kebajikan, dan keras kepala. Aku tidak setuju engkau pergi menemuinya. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu karena Kaurawa yang licik akan nekat dan bisa berbuat apa saja.”
Krishna menjawab, “Dharmaputra, aku tahu Duryodhana memang jahat, tetapi kita tetap harus berusaha mencapai penyelesaian secara damai agar rakyat tidak menuduh kita tidak berusaha untuk menghindari peperangan. Cara apa pun akan kita tempuh, demi perdamaian. Jangan khawatirkan keselamatanku. Jika Kaurawa berani mengancam atau melukai aku yang datang sebagai duta perdamaian, aku akan remukkan mereka hingga menjadi abu!”
Yudhistira berkata lagi, “Engkau tahu segala dan semua. Engkau tahu hati kami dan hati mereka. Memang, engkaulah utusan yang paling baik dan paling tepat.”
Krishna menanggapi, “Ya, aku mengenalmu dan mengenal Duryodhana dengan baik. Jiwamu selalu teguh memegang kebenaran. Jiwa mereka selalu diliputi kebencian, iri hati dan permusuhan. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar apa yang kau cita-citakan tercapai, yaitu penyelesaian tanpa perang. Memang, kemungkinan itu sangat kecil dan situasi sekarang ini membuahkan firasat buruk. Tetapi, kewajiban kita untuk selalu mengusahakan perdamaian.”
Demikianlah percakapan Yudhistira dengan Krishna sebelum Raja Dwaraka itu berangkat ke Hastinapura diiringkan Satyaki. Sebelum berangkat, sekali lagi Krishna mengajak Pandawa berunding dengan sungguh-sungguh.
Dalam perundingan itu, sungguh terasa bahwa setiap orang di pihak Pandawa menghendaki perdamaian. Bahkan Bhima, yang terkenal keras kepala, juga memilih perdamaian. Demikian kata Bhima, “Janganlah kita memusnahkan bangsa kita; juga keturunannya. Kalau bisa diusahakan, aku lebih memilih perdamaian.”
Tetapi Draupadi tidak bisa melupakan penghinaan yang pernah dialaminya. Sambil mengusap-usap rambutnya yang panjang, dengan suara tersendat-sendat ia berkata kepada Krishna, “Madusudana, perhatikanlah rambutku ini, bekas penghinaan. Kehormatan apa yang harus dijunjung? Tidak ada perdamaian tanpa kehormatan! Kalaupun Bhima dan Arjuna tidak setuju jalan perang, ayahku— walaupun sudah tua—pasti akan pergi ke medan perang bersama anak-anakku. Mungkin ayahku tidak setuju, tetapi anak-anakku dan Abhimanyu, anak Subadra, akan memimpin pertempuran melawan Kaurawa. Demi pengabdianku kepada Dharmaputra, tiga belas tahun kulewatkan dengan memendam kebencianku pada Kaurawa. Tetapi kini, aku sudah tidak tahan lagi!”
Krishna menjawab, “Mungkin sekali anak-anak Dritarastra tidak akan peduli akan usul perdamaian ini. Dalam perang, mereka akan berjatuhan dan musnah. Tak ada yang akan melakukan upcara persembahyangan untuk mereka. Mayat mereka akan jadi santapan serigala dan anjing hutan.
“Engkau akan menyaksikan kami pulang membawa kemenangan. Semua penghinaan yang pernah engkau terima, akan mereka bayar mahal. Sabarlah, saat itu akan segera tiba.” Setelah berkata demikian, berangkatlah Krishna alias Madhusudana ke Hastinapura.
Berita kedatangan Krishna telah sampai ke Hastinapura jauh sebelum dia dan pengiringnya melewati perbatasan. Dritarastra memerintahkan agar Hastinapura dihias dengan semarak dan upacara penyambutan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kediaman Duhsasana, yang paling indah dari semua kediaman Kaurawa, disiapkan untuk tempat beristirahat Krishna dan pengiringnya.
Dritarastra meminta nasihat kepada Widura, “Sebaiknya kita siapkan upacara pemberian gelar dan hadiah untuk Krishna. Kita hadiahkan kereta kencana, gajah, kuda, dan sejumlah hadiah lain.”
Widura menjawab, “Krishna tak mungkin dibujuk dengan gelar dan hadiah. Berikan apa yang ia kehendaki. Bukankah ia datang untuk mengusahakan penyelesaian secara damai? Usahakan untuk memenuhinya. Krishna takkan silau oleh hadiah dalam bentuk apa pun. Ia akan puas jika kedatangannya membuahkan perdamaian.”
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment