Saturday, April 1, 2017

MAHABHARATA 49 bagian 3




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
49. Jayadrata Harus Ditumpas III
Pertempuran berkobar di mana-mana. Duryodhana mengeluh lagi kepada Drona. Katanya, “Arjuna, Satyaki dan Bhimasena menghadapi kita dengan cerdik dan kita hampir mati konyol. Dengan mudah mereka bisa menerobos sampai ke tempat Raja Sindhu. “Aneh, di bawah pimpinanmu pasukan kita selalu
kocar-kacir. Setiap orang bertanya kepadaku. Bagaimana Drona bisa seperti itu, padahal dia kesatria besar, ahli berbagai strategi perang dan menguasai segala macam senjata? Mengapa dia selalu ditaklukkan Pandawa dengan mudah? Jawaban apa yang dapat kuberikan kepada mereka? Apakah engkau berniat mengkhianatiku?”
“Duryodhana, tuduhanmu tidak beralasan karena tidak didasarkan kebenaran. Tidak ada gunanya bicara yang tidak perlu. Situasi saat ini sedang sangat gawat. Jangan buang-buang waktu. Tiga senapati musuh sudah maju mengepung kita. Tetapi, kita tidak usah cemas atau bingung, karena kekuatan belakang mereka dipimpin Yudhistira yang pasti dapat kita kalahkan dengan mudah. Kini kita berada di kedua sisi mereka dan itu membuat posisi mereka tidak aman. Pergilah dan bantulah Jayadrata sekali lagi. Aku akan menghadapi pasukan Pandawa yang dipimpin Yudhistira,” kata Drona menyemangati Duryodhana, meskipun sebenarnya ia tersinggung karena hinaan putra mahkota Kaurawa itu.
***
Ketika Bhima sampai di dekat Arjuna, Karna berteriak mengejek dan menantangnya, “Ooo... ini orangnya! Kesatria rakus berperut gendut yang tidak tahu apa-apa tentang ilmu perang. Kalau kau memang berani, jangan berbalik punggung dan kabur meninggalkan medan perang seperti pengecut!”
Bhimasena tidak tahan mendengar hinaan itu. Segera ia mendekati Karna, siap menghantamnya. Sambil tersenyum Karna mengelak, menjauhkan diri. Sebaliknya, dengan wajah merah padam Bhimasena terus maju menggempur Karna. Maka, terjadilah pertempuran hebat antara kedua jagoan itu. Karna selalu menghindari perkelahian jarak dekat dengan terus menerus melepaskan anak panah ke arah Bhima. Tak terhitung banyaknya anak panah yang menancap di tubuh kesatria Pandawa itu. Tetapi raga Bhima sangat kokoh bagai baja, sedikit pun ia tidak merasa sakit. Dia terus maju. Darah menetes dari lukanya, bagaikan bunga-bunga asoka merah berguguran. Dengan tangkas berkali-kali dia menghantamkan gadanya pada kereta Karna sampai kereta itu hancur berantakan. Setelah itu ia menjauh, sementara Karna mengganti keretanya. Beberapa kali demikianlah yang terjadi. Karna mengganti keretanya dan Bhimasena menghancurkannya. Semangat Bhima berkobar-kobar karena ia ingat penghinaan Kaurawa terhadap Draupadi dan saudara-saudaranya.
Untuk kesekian kalinya, mereka memacu kereta masing-masing, saling mendekat. Kereta Karna ditarik empat kuda berbulu putih susu, kereta Bhima ditarik empat kuda berbulu hitam arang. Pertarungan kedua kesatria itu berlangsung sangat seru.
Setiap kali Karna mengangkat busur baru, Bhimasena
mematahkannya dengan gadanya, sampai akhirnya Karna kehabisan busur. Ketika Karna sedang kebingungan kehabisan busur, Bhimasena menghantam kereta Karna sampai kereta itu hancur. Terpaksa Karna melompat turun. Pada saat itulah Duryodhana memanggil Durjaya, saudaranya, dan memerintahkan, “Kesatria Pandawa laknat itu akan membunuh Karna. Cepatlah ke sana! Serang dia! Halangi dia! Hantam dia! Selamatkan Karna!”
Serangan Durjaya disambut Bhimasena dengan tangkas, lebih-lebih karena ia telah bersumpah hendak membunuh semua anak Dritarastra. Dalam waktu singkat Bhimasena dapat mematahkan pukulan Durjaya. Dia melemparkan beberapa gada serentak. Satu per satu kuda, kereta dan Durjaya sendiri roboh bagaikan pohon tumbang. Sementara itu, Karna sempat mengganti keretanya dengan yang baru. Pertarungan berulang antara Karna dan Bhimasena. Kali ini makin seru! Panah-memanah, lembing-melembing, tombak-menombak tidak henti-hentinya. Tetapi gada Bhima lagi-lagi tepat mengenai kereta Karna yang baru, sais dan keretanya remuk, terserak di tanah.
Karna kini berdiri di tanah sambil merentang busurnya. Duryodhana mengirimkan saudaranya yang lain, yaitu Durmuka. Sama seperti Durjaya, Durmuka pun tewas di tangan Bhimasena. Setelah menewaskan Durjaya dan Durmuka, Bhima terus menyerang Karna. Anak panahnya tepat mengenai jubah Karna sehingga kesatria itu hampir telanjang dibuatnya.
Lima saudara Duryodhana datang lagi, yaitu Durmursa,
Dussaha, Durmata, Durdara dan Jaya. Mereka membantu Karna menyerang Bhimasena yang dengan tangkas menghadapi lima kesatria muda itu. Dengan penuh semangat, bagaikan pemburu berpengalaman yang girang melihat lima ekor kijang muda di depannya, Bhimasena menghantamkan gada-gadanya ke tubuh lima kesatria itu. Seketika itu juga kelimanya jatuh bergelimpangan di tanah...tewas.
Karna merasa malu melihat korban berjatuhan di hadapannya karena membela dirinya. Ia menyesal karena tidak segera menyerang Bhimasena habis-habisan. Sebaliknya, karena ingat akan penghinaan Karna di masa lalu, Bhimasena semakin garang dan ingin segera membunuhnya. Dengan kereta yang baru lagi, Karna menyerang Bhimasena. Meskipun sudah berusaha keras, posisi Karna selalu terpojok. Hal itu membuat Duryodhana mengirimkan bantuan lagi. Tujuh saudaranya, Citra, Upacitra, Citraksa, Carucitra, Sarasena, Citrayuda dan Citrawarman, diperintahkan menggempur Bhimasena. Mereka bertempur dengan gagah berani. Tetapi Bhimasena meremukkan mereka bersama kereta masing-masing. Kegarangan Bhimasena membuat Duryodhana sangat marah sekaligus khawatir akan nasib Karna di tangan Bhimasena. Untuk kesekian kalinya, Duryodhana mengirimkan tujuh saudaranya untuk menggempur Bhimasena. Tetapi, kesatria Pandawa itu tidak dapat ditundukkan lagi. Ketujuh saudara Duryodhana yang baru dikirim diamuknya hingga tewas.
Ketika pertarungan sedang berlangsung seru, datanglah
Wikarna. Melihat kesatria itu terlibat dalam pertempuran, Bhimasena menghantamnya dengan gada hingga tewas seketika. Melihat itu, Bhimasena merasa sedih dan menyesal. Katanya kepada Wikarna sebelum kesatria itu menghembuskan napasnya yang terakhir, “Wahai Wikarna, engkau orang yang adil dan mengerti arti dharma. Engkau bertempur karena panggilan kewajiban, dan aku terpaksa membunuhmu karena panggilan kewajiban juga. Perang ini sangat terkutuk, lebih-lebih karena orang sebaik engkau dan Bhisma menjadi korban.”
Karna tak bisa lagi tersenyum-senyum. Wajahnya merah padam, menahan malu dan amarah. Ia malu karena tak bisa mengalahkan Bhimasena dan marah karena melihat korban berjatuhan di depannya padahal mereka diutus untuk membelanya.
Pasukan kedua pihak tertegun menyaksikan pertarungan Karna dan Bhimasena. Sama kuatnya, sama tangkasnya, sama saktinya. Suatu saat Bhimasena tersudut. Keretanya hancur, kuda-kudanya mati. Ia terpaksa melompat turun lalu berlari mendekati Karna. Dengan tangkas ia melompat naik ke kereta musuhnya. Bhima mengayunkan gadanya, tetapi Karna mengelak dan berlindung di belakang tiang panji-panjinya. Ia bahkan sempat menghantam punggung Bhimasena hingga kesatria Pandawa itu terjungkal ke tanah.
Kini Bhimasena tak punya senjata lagi. Gadanya yang terakhir remuk dihantam Karna. Tetapi ia tidak mau me- nyerah begitu saja. Apa saja yang dapat diambilnya dijadikannya senjata: roda kereta, tombak patah, mayat musuh, bangkai gajah. Dengan cekatan ia menggunakan senjata- senjata itu untuk menyerang Karna. Karna membalas. Sekarang keselamatan Bhima terancam, tanpa kereta
tanpa senjata. Sesaat kesatria Pandawa itu tertegun, mati langkah. Kesempatan itu digunakan Karna untuk menghina dan mencaci maki Bhimasena yang sudah tak berdaya.
Krishna berkata kepada Arjuna, “Lihat Dhananjaya, Bhimasena tidak berdaya dan dihina oleh Karna.”
Melihat saudaranya dihina, Arjuna tak dapat menahan diri lagi. Ia merentangkan Gandiwanya, memasang sebatang anak panah sakti, membidikkannya, lalu melepaskannya. Semua itu dilakukannya dalam sekejap mata. Terdengar bunyi ledakan ketika anak panah itu lepas dari busurnya, meluncur cepat lalu menancap tepat pada sasaran. Kereta Karna bergoyang hebat. Penunggangnya jatuh. Karna memandang ke segala arah, mencari orang yang mencederainya. Ketika tahu serangan itu dilancarkan Arjuna, hatinya senang karena ia ingat akan sumpahnya di depan Dewi Kunti.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment