Tuesday, April 4, 2017

MAHABHARATA 51

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
51. Duryodhana Tewas Sesuai Swadharmanya
Duryodhana sedih mendengar berita gugurnya Karna. Mahaguru Kripa kasihan kepadanya dan mencoba menghiburnya dengan menasihati putra mahkota itu bahwa jika perang dilanjutkan, tidak ada yang akan memetik kebahagiaan, yang ada hanyalah kehancuran. Kata Kripa, “Didorong nafsu besar dan ambisi, kita korbankan banyak orang dalam perang ini, walaupun mereka rela mengorbankan jiwa mereka. Sekarang, satu-satunya jalan yang masih bisa kita tempuh untuk menghindari kemusnahan adalah berdamai dengan Pandawa. Duryodhana, sebaiknya perang ini kita hentikan.”
Duryodhana menjawab dengan nada perih, “Mungkin, dulu itu bisa dilakukan. Sekarang sudah terlambat. Perundingan seperti apa yang bisa kita usahakan ketika darah sudah tertumpah dan sudah tak terbilang korban berjatuhan di kedua pihak? Kalau aku menyerah untuk menghindari kemusnahan Kaurawa dan sekutunya, siapakah yang tidak akan mengutuk dan menyumpahi aku? Kebahagiaan seperti apa yang dapat kurasakan jika aku mundur sebagai pengecut? Kegembiraan seperti apa yang dapat kunikmati dalam kemegahan kerajaanku setelah semua saudara, keluarga dan kawanku tewas? Tidak! Setapak pun aku tidak akan mundur!”
Kata-kata Duryodhana yang penuh kepahitan sekaligus menunjukkan kekerasan hatinya, disambut dengan sorak sorai oleh balatentara Kaurawa. Kemudian mereka memilih Salya sebagai mahasenapati yang akan memimpin Kaurawa dalam pertempuran melawan Pandawa. Salya, seperti para kesatria besar yang telah mendahuluinya, adalah kesatria sakti, perkasa, dan sudah sangat berpengalaman. Ia juga ahli siasat perang. Di bawah pimpinan Salya, semangat Kaurawa kembali berkobar dan mereka melancarkan serangan dengan hebat.
Di pihak Pandawa, pimpinan dipegang oleh Yudhistira. Ajaib, kesatria yang dilahirkan dengan budi pekerti lembut itu ternyata bisa bertempur dengan garang melawan pamannya sendiri.
Pertempuran antara Salya dan Dharmaputra berlangsung sengit. Sementara itu, putra-putra Dritrastra yang masih hidup, kecuali Duryodhana, bersama-sama menyerang Bhimasena. Yudhistira terus-menerus memanah Salya sampai mahasenapati itu tampak seperti landak karena puluhan anak panah yang menancap di tubuhnya. Darah mengucur dari luka-lukanya. Akhirnya, Yudhistira melemparkan tombaknya, tepat mengenai dada Salya. Mahasenapati itu langsung roboh, menemui ajalnya.
Sementara itu, Bhimasena yang bersumpah akan menghabisi putra-putra Dritarastra, membalas keroyokan Kaurawa dengan garang. Diayun-ayunkannya gada saktinya. Ia mengamuk membabi buta, didorong dendam yang dipendam selama tiga belas tahun. Satu demi satu musuh bertumbangan, bagaikan tanaman perusak yang ditebas oleh peladang yang menyiangi kebunnya. Waktu melancarkan gempuran terakhir, Bhimasena berkata, “Hidupku di dunia ini tidak sia-sia karena aku telah memenuhi sumpahku. Sekarang aku tinggal membunuh Duryodhana.”
Di medan yang lain, Sakuni menggempur pasukan Pandawa yang dipimpin Sahadewa. Setelah bertempur beberapa lama, Sahadewa melepaskan anak panahnya yang bermata pedang sambil berteriak lantang, “Bedebah! Ini buah dosa-dosamu yang tak terampuni!”
Anak panah itu melesat, menembus leher Sakuni dan memenggal kepalanya yang kemudian jatuh terguling-guling di tanah.
***
Seperti biasa, Maharaja Dritarastra yang buta “menyaksikan” pertempuran itu lewat laporan Sanjaya, penasihatnya yang tepercaya, yang mempunyai kesaktian bisa melihat dari jauh. Mendengar laporan Sanjaya bahwa putra-putranya telah tewas, Dritarastra berkata sedih dan putus asa, “Oh Sanjaya, bagaikan pohon-pohon kering dimakan api, anak-anakku musnah dalam peperangan ini. Karena Duryodhana berkepala batu, anak-anakku dibunuh oleh Bhimasena yang ingin membalas dendam. Sungguh, putra Batara Bayu itu memiliki kekuatan seperti Dewa Kematian.”
“Ya Tuanku Raja, balatentara Tuanku yang terdiri dari sebelas aksohini atau sebelas divisi telah musnah. Dari beratus-ratus raja, putra mahkota, bangsawan dan kaum kesatria yang rela mengorbankan jiwa raga mereka demi kita, tinggal Duryodhana yang masih kelihatan tegak di medan pertempuran. Tetapi, tubuh putra Tuanku itu penuh luka,” kata Sanjaya.
Ketika tidak berhasil mengumpulkan sisa balatentara Kaurawa, Duryodhana jatuh dari keretanya dengan tangan masih memegang gada. Diam-diam ia lari ke tepi telaga. Ia kehausan dan sekujur tubuhnya terasa panas. Sampai di sana, ia menjatuhkan badannya di tepi telaga yang airnya sangat bening. Pikiran Duryodhana melayang jauh. “Benar kata Widura yang pernah meramalkan apa yang akan terjadi,” katanya dalam hati.
Tetapi apa gunanya kesadaran yang datang sangat terlambat? Setiap perbuatan, baik atau buruk, pasti membuahkan hasil yang setimpal. Itulah karmaphala atau hukum kehidupan.
Sementara itu, Yudhistira dan saudara-saudaranya terus mencari-cari Duryodhana. Akhirnya mereka menemukannya sedang telungkup di tepi telaga.
Yudhistira mendekatinya dan berkata lantang, “Duryodhana, setelah sanak saudaramu dan ratusan ribu prajurit yang tidak berdosa tewas demi membela dirimu, masihkah engkau berani mengangkat wajahmu? Di mana keangkuhanmu yang selalu kaupamerkan di depan kami? Apakah engkau tidak punya malu sedikit pun? Ayo, kita bertarung! Buktikan bahwa kau terlahir sebagai kesatria yang tak takut bertempur dan tak takut mati.”
Mendengar kata-kata itu, Duryodhana memandang tajam wajah Yudhistira dan menjawab dengan gagah, “Oh, ternyata kamu, Dharmaputra! Aku datang ke telaga ini bukan untuk bersembunyi. Bukan pula karena takut. Aku datang ke telaga ini karena aku kehausan dan sekujur tubuhku terasa panas. Aku tidak takut mati, tapi aku juga tidak ingin hidup lebih lama. Apa gunanya bertempur lagi? Dunia ini sudah tak berarti apa-apa lagi bagiku. Siapa lagi yang harus aku bela mati-matian? Tak ada! Semua kesatria di pihakku telah tewas. Aku tak ingin lagi menguasai Kerajaan Hastina. Kuserahkan semua milikku padamu. Tak perlu lagi bertarung. Nikmatilah kedaulatanmu, takkan ada yang berani menggugatmu.”
Dharmaputra menanggapi, “Alangkah baiknya engkau sekarang. Pahadal, dulu ketika kami mengusulkan perdamaian dan hanya meminta lima desa, engkau menolak mentah-mentah. Sekarang, dengan mudahnya engkau katakan bahwa kami boleh mengambil semua milikmu.
“Ketahuilah, kami berperang bukan demi tanah kerajaan. Kami berperang demi menegakkan keadilan. Masih perlukah kusebutkan semua dosamu? Kejahatan dan penghinaanmu terhadap Draupadi tak mungkin kami lupakan dan takkan lunas kaubayar dengan hartamu. Penghinaan itu hanya akan lunas terbayar dengan nyawamu.”
Mendengar kata-kata Yudhistira, Duryodhana bangkit, berdiri tegak lalu berkata keras sambil mengayun-ayunkan gadanya, “Ayo maju, satu per satu! Aku sendirian, kalian berlima. Kalian tentu tidak akan mengeroyok aku, karena senjataku hanya gada ini dan tubuhku sudah lemas penuh luka.”
“Tentu saja kami tidak akan mengeroyok engkau. Engkau lemas, penuh luka, dan tak berdaya. Tapi, katakan apa yang telah kalian lakukan terhadap Abhimanyu hingga dia mati secara mengenaskan?
“Dasar manusia berwatak jahat. Ketika terpojok tak berdaya, kau baru sadar dan bicara tentang dharma, budi pekerti dan kehormatan seorang kesatria. Ayo, siapkan dirimu! Pilih salah satu di antara kami untuk bertarung denganmu! Mati masuk surga atau menang jadi Raja- diraja!” kata Yudhistira.
Duryodhana memilih Bhimasena, yang perawakannya sebanding dengannya. Kecuali itu, mereka juga sama-sama mahir menggunakan gada. Maka terjadilah pertempuran sengit antara Duryodhana dan Bhimasena. Kedua kesatria itu sama kuatnya. Api memercik setiap kali gada-gada mereka beradu. Sulit memperhitungkan, siapa yang akan menang.
Ketika pertarungan masih berlangsung seru, tiba-tiba Krishna mengingatkan Arjuna tentang kutuk-pastu Resi Maitreya, yaitu bahwa Duryodhana akan menemui ajalnya jika pahanya bisa diremukkan.
Bhimasena mendengar apa yang dikatakan Krishna kepada Arjuna. Ia seperti mendapat kekuatan baru. Dengan garang ia melompat dan menerkam Duryodhana lalu dengan sekuat tenaga menghantamkan gadanya ke paha Putra Mahkota Kaurawa itu. Duryodhana roboh. Bhimasena menyergapnya ketika Duryodhana masih tergeletak lemas. Bhimasena menginjak-injak tubuh kesatria Kaurawa itu, kemudian menumbukkan kepala Duryodhana ke lututnya.
“Hentikan, Bhimasena! Ia telah membayar hutangnya. Duryodhana adalah putra mahkota dan sepupu kita. Tidak patut engkau menginjak-injak kepalanya,” teriak Dharmaputra.
Krishna berkata, “Orang durhaka ini akan segera mati.
Hai, Putra-putra Pandu, sebaiknya kita segera pergi dari sini.”
Meskipun keadaannya sudah parah, Duryodhana masih sempat berkata dengan marah kepada Krishna, “Dengan kelicikanmu, engkau telah membuat banyak kesatria tewas. Kau tak mungkin menang kalau kau bertempur sesuai tradisi kesatria dan aturan perang ketika melawan Karna, Drona dan Bhisma. Apakah engkau tidak malu?”
“Duryodhana, sia-sia engkau salahkan orang lain. Kerakusan dan ambisimu akan kekuasaan telah menuntunmu untuk menimbun dosa dan kejahatan. Sekarang engkau memetik buahnya,” jawab Krishna.
Tidak seorang pun dapat mengubah hati Duryodhana, sampai ke lubang mautnya sekalipun. Tidak seorang pun dapat mematahkan semangatnya, sekalipun napas terakhirnya sudah sampai lehernya. Dengan sombong ia membalas kata-kata Krishna, “Bedebah! Sebagai putra mahkota aku setia dan murah hati kepada para sekutuku, yaitu musuh-musuh kalian. Semua kenikmatan duniawi yang diimpikan semua orang dan tak mudah didapat bahkan oleh para raja sekalipun, sudah kucecap sepuas-puasnya. Kini, mati sebagai pahlawan perang adalah kehormatan besar bagiku. Dengan senang hati aku akan segera menggabungkan diri dengan saudara-saudaraku dan teman- temanku di surga. Mereka pasti akan gembira menyambutku.
“Tapi, lihat dirimu. Engkau akan tinggal sendirian di dunia ini. Kau akan kehilangan segalanya, kecuali kutuk dan caci-maki kaum kesatria. Aku tidak marah kepalaku diinjak-injak Bhima, walaupun aku tidak berdaya dan pahaku buntung. Aku tak peduli. Sebentar lagi aku mati dan tubuhku akan menjadi santapan burung-burung bangkai.”
****
Ketika perang hampir selesai, Balarama, kakak Krishna sampai di medan Kurukshetra. Ia masih sempat melihat pertarungan antara Duryodhana dan Bhimasena, dan bagaimana Bhimasena meremukkan paha serta menginjak-injak kepala Duryodhana. Ia sangat marah melihat kesatria Pandawa itu melanggar aturan perang dan tega berbuat keji kepada lawannya yang tak berdaya.
“Hentikan! Kalian tidak mengindahkan aturan perang! Engkau menyerang musuhmu di bagian bawah perut! Engkau menyerang musuh yang sudah tak berdaya dan tak kuasa melawan! Bhima, tindakanmu sungguh keji dan memalukan,” teriaknya kepada Bhimasena.
Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada Krishna, adiknya, “Adikku, engkau melihat tapi membiarkan hal-hal seperti ini terjadi. Aku tidak dapat mengerti. Kalian, yang mengaku berdarah kesatria dan menjunjung dharma, ternyata justru melakukan adharma.”
Sambil berkata demikian Balarama maju, wajahnya merah padam. Ia mengangkat senjata lukunya yang perkasa, sama perkasanya dengan senjata cakra milik Krishna. Sendiri ia menghadapi Bhimasena.
Krishna bingung melihat perbuatan kakaknya. Segera ia berlari, menghalang-halangi Balarama yang ingin mendekati Bhimasena. Katanya, “Pandawa adalah kawan dan kerabat kita. Mereka menjadi korban kejahatan dan penghinaan Duryodhana yang tak terderitakan. Ketika Draupadi dihina di dalam sasana persidangan dan di depan orang banyak, Bhima bersumpah akan membunuh Duryodhana dengan cara demikian dan cara itu sesuai dengan kutuk-pastu Resi Maitreya yang pernah dihina Duryodhana. Setiap orang tahu tentang sumpah Bhima.
“Jangan biarkan kemarahanmu mempengaruhi penilaianmu dan jangan berlaku tidak adil terhadap Pandawa. Sebelum mengutuk Bhima, seharusnya kaupertimbangkan dulu semua kejahatan yang pernah dilakukan Kaurawa terhadap Pandawa. Engkau harus adil. Jangan menilai suatu peristiwa lepas dari hubungannya dengan berbagai peristiwa sebelumnya.
“Jaman kaliyuga tidak akan tiba, kalau jaman-jaman sebelumnya tidak menyebabkan ia tiba. Itu hukum hidup! Bahwa Bhima menghantam Duryodhana di bawah perut, itu tak dapat disalahkan jika kita tahu bagaimana kejahatan Duryodhana terhadap Pandawa. Duryodhana yang menyuruh Karna menusuk Abhimanyu dengan tombak dari belakang dan mengeroyok putra kesayangan Arjuna itu serta membunuhnya dengan keji.
“Sejak lahir Duryodhana selalu melakukan kejahatan yang menghancurkan rakyatnya. Membunuh orang sejahat Duryodhana, bukanlah dosa.
“Bhima sendiri telah menjalani hukuman atas kesalahan-kesalahannya. Tiga belas tahun lamanya ia menekan nafsu dan pikiran-pikiran jahatnya. Duryodhana tahu bahwa Bhima telah bersumpah akan membunuh dirinya dengan meremukkan pahanya. Ketika menantang Pandawa, tentu ia sudah memperhitungkannya. Sekarang, pertimbangkanlah kesalahan apa yang diperbuat Bhima.”
Pandangan Balarama tetap, tidak berubah, walaupun
telah mendengar penjelasan Krishna. Tetapi, amarahnya berkurang. Ia menanggapi Krishna dengan berkata, “Duryodhana akan mencapai surga dan tinggal di tempat yang telah disediakan bagi para kesatria yang gagah berani. Kemasyhuran Bhimasena telah ternoda oleh perbuatannya sendiri. Sampai kapan pun, orang akan membicarakan putra Pandu yang merendahkan diri dengan melanggar aturan perang ketika menyerang Duryodhana. Perbuatan itu akan menodai nama baiknya selama-lamanya.” Setelah berkata demikian, Balarama meninggalkan tempat itu dan kembali ke negerinya.
Sementara itu, Yudhistira sedih melihat tindakan Bhimasena yang keji terhadap sepupunya. Ia tak bisa berkata-kata. Banyaknya pelanggaran aturan perang yang dilakukan kedua pihak membuat Yudhistira sadar bahwa runtuhnya kemegahan bangsa Bharata akan segera terjadi. Ia tahu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukan Kaurawa terhadap Pandawa. Ia tahu, betapa besarnya dendam yang berkobar di hati Bhimasena. Yudhistira tak bisa menyalahkan Bhimasena karena ia tahu ketulusan hati saudaranya itu. Demikian pula terhadap Duryodhana, sepupunya itu selalu dipengaruhi oleh nafsu iblis dan tak pernah menunjukkan sikap dan perbuatan baik terhadap dirinya yang selaras dengan keturunannya sebagai kesatria.
Ketika Krishna bertanya mengapa ia diam saja dan tak membalas kata-kata Balarama, ia menjawab, “Duryodhana sudah kita taklukkan. Apa gunanya memperdebatkan aturan atau undang-undang? Apakah pekerjaan kita hanya menilai kesalahan orang lain yang dilakukan karena dendam kesumat yang tak mengenal batas?”
Arjuna yang sangat cerdas dan memiliki pandangan jauh ke depan tidak berkata-kata. Baginya tidak ada lagi yang harus dikatakan. Membenarkan perbuatan Bhimasena atau mengutuk Duryodhana tak ada gunanya, walaupun mereka yang ada di situ menyumpahi perbuatan-perbuatan Duryodhana di masa lampau.
Krishna berkata lagi, “Wahai kaum kesatria, tidak pantas kita merendahkan martabat musuh yang sudah kalah dan sedang menunggu ajalnya. Ia orang bodoh yang memetik buah perbuatannya sendiri. Ia terjerumus karena bergaul dengan manusia-manusia terkutuk dan terseret menuju keruntuhannya sendiri. Mari kita pergi dari sini!”
Sebelum Pandawa meninggalkan tempat itu, Duryodhana yang terbaring tak berdaya masih sempat menyumpahi Krishna yang ia anggap sebagai sumber kejahatan Pandawa. Ia menyumpahi Krishna yang memberi isyarat kepada Bhimasena agar meremukkan pahanya dengan pura- pura bercakap-cakap dengan Arjuna.
Duryodhana juga menuduh Krishna telah menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma. Krishna juga menyebabkan kematian Mahaguru Drona dengan menyuruh Dharmaputra berbohong. Krishna pula yang menyuruh Arjuna membunuh Karna ketika kesatria itu sedang berjongkok memperbaiki keretanya yang rusak. Krishna juga yang menyebabkan kematian Raja Sindhu dengan menciptakan malam di medan Kurukshetra dan membiarkan Dristadyumna membunuh Drona yang sedang beryoga.
Duryodhana berteriak menyumpahi Krishna, “Bedebah! Dasar anak budak! Bukankah ayahmu budak Kangsa? Engkau tidak pantas berkawan dengan kesatria. Dasar manusia penuh dosa.”
“Wahai Putra Dewi Gandhari, jangan biarkan amarahmu menyakiti saat-saat terakhirmu. Kejahatan dan kesalahanmulah yang membuatmu menghadapi maut saat ini. Jangan melemparkan dosamu ke orang lain. Engkaulah biang keladi perang ini. Kematian mereka yang kau sebut - sebut itu adalah karena perbuatanmu juga. Mereka menjadi alat untuk menebus dosamu. Engkau telah membayar semua itu dengan jiwa ragamu. Berbahagialah engkau nanti di surga yang disediakan bagi mereka yang gugur di medan perang,” demikian kata Krishna.
“Krishna, aku akan pergi ke surga menemui saudara-saudaraku dan teman-temanku. Tetapi engkau dan Pandawa akan tetap tinggal di dunia untuk mengalami penderitaan. Siapa yang lebih baik, engkau atau aku? Engkau masih hidup dan harus berbela sungkawa atas kematian kawan-kawanmu. Kemenangan yang engkau cari di medan pertempuran tiada lain hanyalah timbunan abu yang menutupi mulutmu. Selamat tinggal!”
Demikianlah Duryodhana menghembuskan napasnya yang terakhir setelah sempat memaki-maki dan menyumpah-nyumpah.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment