Saturday, April 8, 2017

MAHABHARATA 53

kesedihan dritarastra



_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
53. Yudhistira Menjadi Raja di Hastinapura
Pandawa, dari Bharatawarsa telah menaklukkan Kaurawa dan kini menjadi penguasa Kerajaan Hastina yang amat luas wilayahnya. Mereka memerintah sesuai petunjuk dharma. Bagawan Wyasa sering mengunjungi Yudhistira untuk memberi nasihat atau petunjuk. Bagawan yang bijak itu selalu menghibur Dharmaraja yang masih terus berduka. Ia bercerita tentang berbagai kejadian dan peristiwa di masa lampau. Cerita tentang orang-orang berjiwa besar yang berhasil menaklukkan godaan hati dan tekanan jiwa, seperti hawa nafsu, ketamakan, kebencian, dendam dan iri hati. Namun demikian, Yudhistira selalu merasa bahwa kemenangannya tidak membuatnya bahagia, tidak seperti yang semula dibayangkannya.
Bagaimana dengan Dritarastra yang kehilangan semuanya? Anak-anaknya dan kerajaannya? Dan bagaimana pula sikapnya terhadap Yudhistira?
Sementara itu, Dritarastra yang tenggelam dalam kepedihan selalu mendapat perlakuan baik dari Pandawa. Mereka selalu berusaha menyenangkan hati Dritarastra dan memperlakukannya dengan penuh hormat. Demikian pula, Dewi Gandhari. Ibu Kaurawa itu selalu diperlakukan dengan baik oleh Dewi Kunti, adik iparnya, dan Draupadi, yang bersikap seperti terhadap mertuanya sendiri.
“Yudhistira menghiasi istana Dritarastra dengan perabotan serba indah. Semua keinginan raja tua itu dipenuhinya. Setiap hari ia mengirimkan makanan yang lezat-lezat.
Kripa dan Sanjaya diminta untuk setia menemani raja tua itu. Kecuali itu, Bagawan Wyasa sering mengunjungi Dritarastra untuk menghiburnya dengan kisah-kisah bertema keagamaan dan falsafah hidup.
Sebagai raja, Yudhistira tidak pernah mengeluarkan perintah tanpa persetujuan Dritarastra. Dalam urusan pemerintahan sehari-hari, Yudhistira tidak segan-segan meminta nasihat kepada Dritarastra. Ia selalu menghormati raja tua itu sebagai penguasa tertinggi. Dalam tutur katanya, Dharmaraja selalu berhati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Setiap utusan atau raja negeri asing yang berkunjung ke Hastinapura diwajibkan untuk menghadap Dritarastra lebih dulu, karena dialah yang dianggap sebagai Rajadiraja Hastinapura. Semua dayang dan pelayan istana mendapat perintah untuk tetap memperlakukan Dewi Gandhari sebagai Ratu.
Kepada saudara-saudaranya, Yudhistira mengingatkan agar mereka sama sekali tidak berbuat atau mengatakan sesuatu yang mungkin membuat Dritarastra dan Dewi Gandhari sedih. Semua saudaranya mematuhi harapan kakaknya, kecuali Bhimasena yang sesekali melanggarnya. Kadang-kadang ia lupa, berkata kasar dan menyinggung perasaan. Jika demikian, Dritarastra dan Dewi Gandhari hanya menanggapi dengan diam dan memendam kesedi- han mereka dalam hati. Rupanya Bhimasena belum bisa melupakan dan memaafkan perlakuan Duryodhana, Karna dan Duhsasana kepada Draupadi. Dewi Gandhari, yang terus berusaha memperlakukan Pandawa dengan penuh kasih, sebenarnya tahu bahwa Bhimasena masih mendendam. Tetapi, ia adalah wanita agung yang berbudi luhur. Ia justru membalas perlakuan Bhimasena dengan kasih yang semakin berlimpah.
Lima belas tahun sudah Yudhistira memerintah di Hastinapura. Akhirnya Dritarastra tak tahan lagi menanggung dukanya karena sindiran dan tingkah laku Bhimasena yang selalu membuatnya sedih dan tersinggung. Tak bisa lagi dia memaafkan Bhimasena dan bersikap pura-pura tak peduli. Meskipun kebaikan budi Yudhistira tiada taranya, sebagai manusia biasa lama-lama ia tak tahan diper- lakukan seperti itu. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Dritarastra berpuasa, tidak makan tidak minum, menyiksa raga dengan tidur di tanah, siang kepanasan malam kedinginan. Hal ini diikuti oleh Gandhari, hingga mereka kurus, pucat dan lemah.
Pada suatu hari Dritarastra memanggil Yudhistira dan berkata, “Telah lima belas tahun aku hidup bahagia dalam lindunganmu. Engkau selalu melayani kami dengan penuh kasih sayang. Setiap hari suci dan hari besar aku mempersembahkan sesaji untuk arwah nenek moyang dan memohon restu mereka demi kesejahteraanmu.
“Anak-anakku yang kejam dan berbuat jahat kepadamu telah musnah karena perbuatan mereka sendiri. Mereka telah menebus dosa mereka sebagaimana mestinya dan semua mati secara perwira sebagai kesatria.
“Kini tiba waktunya bagi kami, aku dan Gandhari, untuk melakukan dharma kami selanjutnya, yaitu pergi ke hutan untuk bersamadi. Dari sana, kami akan selalu mendoakan kalian. Sekarang ijinkan kami pergi untuk mengikuti jalan yang telah dirintis oleh nenek moyang kita di masa lampau.”
Mendengar kata-kata pamannya dan melihat keadaan
Dritarastra dan Dewi Gandhari yang kurus dan lemah, Yudhistira sangat terkejut. Ia berkata, “Sungguh aku tidak tahu bahwa Paman dan Bibi telah menyiksa diri dengan berpuasa dan tidur di tanah. Saudara-saudaraku pun tidak tahu. Aku kira, selama ini Paman dan Bibi dilayani dengan baik. Jika Paman menderita, itu akibat dosaku juga.
“Kini aku sadar, tak ada gunanya bagiku menjadi raja. Tak ada gunanya aku berkuasa. Aku manusia penuh dosa! Nafsu dan ambisi telah menyeretku menjadi raja di atas mayat saudara-saudaraku.
“Paman, biarlah Yuyutsu, anakmu, menjadi raja. Atau orang lain yang engkau pilih. Atau jika Paman mau, silakan Paman memerintah kerajaan ini. Aku saja yang pergi ke hutan untuk mengkahiri dosa-dosaku sampai di sini. Aku tak pantas menjadi raja. Engkaulah yang lebih pantas.
“Sekarang Paman minta pamit kepadaku. Bagaimana mungkin aku menolak karena sesungguhnya engkaulah Raja yang berkuasa? Engkaulah yang seharusnya mengijinkan aku pergi ke hutan.
“Ketahuilah Paman, sedikit pun aku tidak mendendam terhadap Duryodhana atau siapa pun. Semua itu telah berlalu. Kami adalah anak-anakmu. Dewi Gandhari dan Dewi Kunti adalah ibu-ibu kami yang sama-sama kami kasihi. Jika Paman tetap hendak pergi ke hutan, ijinkan aku menyertaimu. Apa gunanya aku tinggal di sini jika engkau tinggal di hutan? Aku sujud di hadapanmu, mohon maaf dan ampun atas semua kesalahanku. Dengan melayani engkau, aku mendapat kebahagiaan. Berikan kesempatan itu kepadaku. Jangan tinggalkan aku.”
Dritarastra terharu. Kemudian ia berkata, “Wahai, Putra Dewi Kunti, tekadku telah bulat. Aku akan pergi ke hutan untuk bertapa. Kalau tidak demikian, aku tidak akan menemukan kedamaian sepanjang hidupku. Engkau harus mengijinkan aku pergi.”
Setelah berkata begitu, Dritarastra menoleh kepada Widura dan Kripa sambil berkata, “Tekadku sudah bulat. Aku akan pergi ke hutan untuk bertapa. Aku tak bisa bicara lagi. Kerongkonganku kering. Aku harap engkau berdua menasihati Raja agar mengijinkan aku pergi.” Setelah berkata demikian, Dritarastra menyandarkan diri pada Dewi Gandhari. Raganya telah lemah sekali.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment