Saturday, April 8, 2017

MAHABHARATA 52 bagian 2

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
52. Setelah Perang Berakhir II
Setelah selesai melakukan upacara persembahyangan di tepi Sungai Gangga yang suci, untuk kedamaian mereka yang gugur di medan perang, Yudhistira bercakap-cakap dengan Bagawan Narada yang mendampingi Dewi Kunti.
Bagawan Narada berkata, “Berkat kebijaksanaan Krishna, keperwiraan Arjuna, dan kekuatan dharmamu, kemenangan ada di pihakmu. Kini engkau menjadi penguasa bumi. Bahagiakah engkau?”
“Bagawan, benar seluruh kerajaan kini menjadi milikku, tetapi sanak saudaraku sudah tak ada lagi. Anak-anak kami tercinta telah gugur. Kemenangan ini ternyata merupakan kekalahan besar bagiku. Kami telah menjadikan sanak saudara kami sendiri sebagai musuh dan kami tega membunuh mereka.
“Karna, yang gagah perkasa dan dikagumi di seluruh dunia, mesti kami bunuh juga. Kami telah melakukan perbuatan terkutuk dan mengerikan, yaitu membunuh saudara sendiri. Kenangan akan Karna membuatku tersiksa. Aku merasa berdosa karena membunuh dia. Ketika pertama kali melihat dia, yaitu ketika Draupadi dihina, aku jadi ingat ibuku, Dewi Kunti. Walaupun waktu itu aku sangat marah, aku melihat kaki Karna tak ubahnya kaki ibuku. Cara mereka melangkah pun sama. Aku ingat semua itu dan aku merasa sangat berdosa. Aku sedih sekali,” kata Yudhistira.
Kemudian Bagawan Narada menceritakan latar belakang dan kesalahan-kesalahan Karna sejak kesatria itu masih muda serta kutuk-pastu yang berkali-kali ia terima. Akhirnya Narada menasihati Yudhistira agar jangan menyesali kematian Karna, sebab nasibnya sendiri membawanya ke tujuannya sendiri.
Dewi Kunti menasihati putra sulungnya. Katanya, “Jangan salahkan dirimu karena kematian Karna. Ayahnya sendiri, Batara Surya, pernah memintanya untuk tidak berkawan dengan Duryodhana yang jahat. Batara Surya pernah menyuruh Karna bergabung dengan kalian, para Pandawa. Aku pun pernah mencoba memberinya pengertian. Tetapi ia tidak mau mendengarkan siapa pun! Nasib seseorang ada di tangannya sendiri.”
Yudhistira menyahut, “Engkau telah membohongi kami, Ibu. Engkau tidak pernah menceritakan kelahiran Karna kepada kami. Karena itu, kami tidak mengenalnya sebagai saudara kandung.” Setelah diam sejenak, Yudhistira melanjutkan, “Menurutku, engkaulah pangkal semua dosa ini. Aku berharap, mulai saat ini, kaum wanita takkan bisa lagi memegang rahasia.”
***
Banyak nasihat diberikan kepada Yudhistira, tetapi hatinya tidak menjadi lega, malah sebaliknya. Setiap kali ingat akan sanak kerabatnya yang tewas di medan perang, hatinya gelisah. Hatinya tak bisa tenang lagi dan seakan berkata-kata, menyuruhnya pergi ke hutan untuk bersamadi agar bisa menebus dosa-dosanya. Ia memanggil saudara- saudaranya dan mengutarakan niatnya. Dimintanya salah satu dari mereka memerintah kerajaan selama dia pergi.
Arjuna tidak setuju dengan niat Yudhistira. Menurutnya, dosa-dosa dapat ditebus jika kita memerintah dengan kebajikan dan kearifan. Jadi, penebusan dosa tidak hanya lewat jalan sanyasa atau bertapa.
Bhimasena mengangguk-angguk sependapat. Katanya kepada Yudhistira, “Engkau seperti bicara di awang-awang. Engkau seperti ahli nujum yang hafal kalimat-kalimat sastra, tetapi tidak memahami maknanya. Sanyasa bukan dharma bagi kaum kesatria. Tugas kesatria adalah berani hidup dan berkarya di tengah kehidupan manusia di dunia. Melakukan kewajiban seorang kesatria bukan dengan bertapa di dalam hutan.”
Nakula juga tidak setuju hidup secara sanyasa, seperti niat Dharmaputra. Ia memilih hidup berkarya sebagai kesatria. Sahadewa memberikan pandangannya dengan berkata, “Bagi kami, engkau adalah bapak, ibu, guru dan saudara. Jangan engkau tinggalkan kami untuk pergi bertapa di hutan. Mari kita pikul bersama semua beban ini!”
Dewi Draupadi berkata kepada Dharmaputra, “Membunuh Duryodhana, saudara-saudaranya, kawan-kawannya dan pengikut-pengikutnya adalah benar. Kenapa kita harus berduka? Di antara kewajiban seorang raja, memberi hukuman termasuk tugasnya. Sebagai raja, engkau tidak mungkin menghindari itu. Tidak ada alasan bagimu untuk minta ampun. Tugas sucimu adalah memerintah kerajaan ini berdasarkan dharma. Berhentilah berduka!”
Bagawan Wyasa juga menasihati Dharmaputra alias Dharmaraja tentang tugas-tugas yang dihadapinya. Bagawan itu meminta dengan sungguh-sungguh agar Dharmaraja pergi ke Hastinapura untuk mulai mengatur pemerintahan dan memikirkan kesejahteraan rakyat. Akhirnya, setelah mendengar banyak nasihat, Dharmaputra mengurungkan niatnya untuk pergi bertapa. Maka upacara penobatannya menjadi raja disiapkan sebagaimana mestinya di ibu kota Hastinapura. Segera setelah upacara selesai, Yudhistira berziarah ke tempat gugurnya Bhisma. Sambil duduk bersila, dengan khusyuk Yudhistira mendengarkan ajaran dharma lewat roh Bhisma. Sampai perang berakhir, jiwa Bhisma belum meninggalkan raganya. Setelah memberikan petunjuk-petunjuk suci tentang cara-cara menjalankan dharma kesatria untuk bekal memerintah kerajaan, Bhisma memberinya restu.
Yudhistira menyembah memberi hormat dan mengucap syukur karena menerima ajaran mulia dari junjungannya. Baru setelah itu jiwa Bhisma dengan tenang meninggalkan raganya lalu naik ke surga diiringi nyanyian suci dan keharuman yang wangi semerbak.
Selanjutnya Yudhistira pergi ke tepi Sungai Gangga untuk menyucikan diri. Beberapa saat lamanya ia berdiri termangu di tepi sungai suci itu. Tiba-tiba, kenangan- kenangan sedih di masa lalu memenuhi pikirannya. Hatinya pedih, dadanya terasa sesak. Tanpa sadar, ia jatuh pingsan. Bhimasena dan Pandawa yang lain menolongnya hingga siuman. Setelah Dharmaputra sadar, para Pandawa mencoba menghiburnya agar ia tidak larut dalam duka.
Dritarastra datang dan mencoba menghibur Dharmaputra dengan berkata, “Janganlah bersedih seperti ini. Bangkitlah! Engkau harus memerintah kerajaan Hastina dengan bantuan saudara-saudaramu. Rakyat telah menunggumu. Tugasmu sekarang adalah memerintah sebagai raja. Tinggalkan dukamu atau berikan saja kepadaku dan kepada Gandhari. Engkau telah mencapai kemenangan sesuai dharma kesatria. Buah kemenangan itu adalah memangku kedaulatan kerajaan Hastina.
“Aku memang bodoh, tidak menghiraukan nasihat Widura dan para sesepuh lainnya. Aku terlalu banyak mendengarkan kata-kata Duryodhana, hingga aku sering membuat kesalahan. Aku telah menipu diriku dengan membayangkan masa keemasan. Kini mimpi-mimpi itu lenyap tak berbekas. Seratus anakku tewas di medan perang, tetapi aku masih punya engkau sebagai anakku. Janganlah engkau terus berduka!”
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment