Wednesday, April 5, 2017

MAHABHARATA 51 bagian 2




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
51. Duryodhana Tewas Sesuai Swadharmanya II
Aswatthama mendengar berita tentang pertarungan Duryodhana dengan Bhimasena dan tentang remuknya paha Duryodhana karena Bhimasena tidak mengindahkan aturan pertarungan satu lawan satu. Ia juga mendengar kisah kematian ayahnya di tangan Pandawa dengan tipu muslihat kasar dan pembunuhan keji. Hatinya serasa terbakar dan amarahnya sampai ke ubun-ubun. Segera ia pergi mencari Duryodhana, kalau-kalau putra mahkota itu masih hidup. Ia mendapati Putra Mahkota Kaurawa itu masih hidup meskipun luka-luka di tubuhnya sangat parah. Di hadapan Duryodhana, ia bersumpah akan menghabisi Pandawa.
Walau tubuhnya remuk, semangat Duryodhana tetap membaja. Kepada yang ada di dekatnya ia membisikkan agar Aswatthama dilantik menjadi mahasenapati meskipun tidak ada lagi pasukan yang harus dipimpinnya. Kemudian Duryodhana berpesan kepada pemuda itu, “Aswatthama, semua harapanku kuletakkan dipundakmu. Pimpinlah mereka yang masih hidup.”
Kemudian Aswatthama bersama Kripa dan Kritawarma meninggalkan Duryodhana. Mereka menembus hutan ketika matahari telah terbenam. Sampai di bawah sebatang pohon beringin rindang, mereka berhenti melepaskan lelah. Begitu merebahkan badan, Kripa dan Kritawarma langsung tertidur. Tetapi Aswatthama tidak bisa memejamkan mata. Amarah dan dendam kesumat mem- buat sekujur tubuhnya terasa panas.
Malam itu suasana di dalam hutan sepi. Sesekali terdengar derik binatang malam dan kesiur hantu-hantu hutan memecah kesunyian.
Pikiran Aswatthama melayang-layang. Ia mencoba mencari cara untuk melaksanakan sumpahnya, yaitu memusnahkan Pandawa. Selagi berpikir-pikir demikian sambil telentang memandang langit, ia melihat beratus-ratus burung gagak tidur nyenyak di dahan-dahan pohon beringin. Sesekali satu-dua burung berisik, berusaha terbang.
Aswatthama memperhatikan dahan-dahan yang bergerak-gerak. Ia melihat beberapa ekor burung hantu yang dengan galak menyerang gagak-gagak yang tak bisa melihat di malam hari. Mula-mula, mereka menyerang dari satu arah. Kemudian menyerang dari kiri dan kanan, membuat burung-burung gagak itu gaduh beterbangan tak tentu arah. Ada yang tertumbuk ke batang pohon beringin, tak terbilang banyaknya yang mati berjatuhan dan menjadi santapan burung-burung hantu itu.
Terpikir oleh Aswatthama bahwa cara burung-burung hantu itu memangsa gagak-gagak yang sedang tidur dapat ditirunya untuk menghabisi Pandawa di waktu malam.
“Kalau Pandawa tega menghabisi nyawa musuhnya yang tak berdaya, apa salahnya kalau kita menyerang mereka di malam hari ketika mereka sedang tidur nyenyak? Apa salahnya siasat seperti ini? Bukankah Pandawa berhasil mengalahkan Kaurawa dengan bermacam-macam siasat curang? Tak ada jalan lain, siasat harus dibalas dengan tipu daya!” demikian pikir Aswatthama.
Kemudian ia membangunkan Kripa dan menyampaikan rencananya untuk menyerang Pandawa di malam hari, ketika mereka sedang tidur nyenyak.
Dengan heran Mahaguru Kripa menjawab, “Cara-cara seperti itu tidak boleh dilakukan! Salah! Semua salah! Kalian membuat dosa besar! Tak pernah terjadi sepanjang sejarah manusia, seseorang diserang ketika sedang tidur nyenyak. Sungguh itu suatu kejahatan yang mengerikan, lebih-lebih jika dilakukan oleh para kesatria. Tidak, Aswatthama!
“Sadarlah, Aswatthama. Untuk siapa kita berbuat demikian? Bukankah hampir semua orang yang kita bela, untuk siapa kita rela mengorbankan jiwa dan raga, telah menemui ajalnya? Kita telah menunaikan tugas kita secara terhormat dan dengan penuh pengabdian. Kita telah bertempur mati-matian demi Duryodhana, tetapi kita tidak selalu menang. Bukan salah kita. Lagi pula, perang ini bisa dikatakan sudah selesai. Bertempur tanpa tujuan jelas adalah gila. Baiklah, kita temui saja Dritarastra dan Dewi Gandhari dan kita bersiap untuk menerima perintahnya. Kita minta nasihat Widura, apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Mendengar kata-kata Kripa, hati Aswatthama bertambah panas. Ia tidak peduli pendapat orang lain dan menganggap pendapatnya sendiri yang benar. Dia membantah Kripa dengan mengatakan bahwa pihak Pandawalah yang sebetulnya berdosa, yang membunuh ayahnya tidak secara kesatria, yang membunuh Duryodhana tanpa mengindahkan aturan pertarungan satu lawan satu.
“Apa yang kukatakan ini benar dan bertujuan mulia, yaitu menunjukkan kesetiaanku kepada ayahku dan rajaku. Aku harus membalas kematian ayahku. Aku tidak akan mengubah rencanaku. Malam ini juga aku akan berangkat melaksanakan rencanaku. Akan kuhabisi Pandawa dan Dristadyumna ketika mereka sedang tidur nyenyak,” demikian kata Aswatthama dengan berapi-api.
Kripa dan Kritawarma mencoba menyabarkannya dengan memberi nasihat, “Aswatthama, kau kesatria yang terhormat dan ternama, di mata kawan maupun lawan. Tingkah laku dan sopan santunmu selama ini menjadi teladan bagi kesatria-kesatria muda. Jika ia membunuh orang yang sedang tidur, kehormatan dan nama baikmu akan rusak.”
Tetapi Aswatthama tidak bisa dihalangi. Ia mengingatkan Kripa dan Kritawarma akan kejahatan Pandawa yang telah membunuh ayahnya dan merusak dharma. Katanya, “Dharma apakah yang masih ada dan harus kita ikuti? Jika membunuh lawan ketika lawan sedang tidur nyenyak dianggap tidak melanggar dharma, lalu apa nama- nya pembunuhan kejam terhadap ayahku? Jika karena ini kelak aku harus terlahir kembali sebagai burung pemakan bangkai, aku tidak peduli. Akan kujalani inkarnasi itu dengan senang hati.” Setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, Aswatthama mempersiapkan keretanya.
“Tunggu dulu, Aswatthama! Kami tidak setuju dengan keputusanmu. Tetapi kami juga tidak bisa membiarkan engkau pergi sendirian. Apa pun yang akan kaulakukan, kami akan menyertaimu. Dosamu adalah dosa kami.” Setelah berkata demikian, Kripa dan Kritawarma menyusul Aswatthama. Malam itu, ketika bulan mati dan langit kelam, mereka berangkat ke perkemahan Pandawa. Sampai di dekat kemah Dristadyumna, mereka berhenti sesaat, mengamat- amati segala sesuatu di sekitar kemah itu. Suasana sangat sepi. Dengan hati-hati mereka menyelinap ke dalam kemah Dristadyumna yang tampak sedang tidur nyenyak. Aswatthama melompat ke ranjang kesatria Panchala itu, kemudian mencekiknya. Setelah Dristadyumna lemas, ia memukul kepalanya dengan benda keras sehingga kakak Draupadi itu menemui ajalnya. Cara yang sama dilakukannya terhadap semua anak-anak Draupadi, yaitu Pratiwindya, Srutasoma, Srutakriti, Satanika dan Srutakarman.
Tak banyak waktu lagi. Sebelum langit timur menjadi terang, mereka membakar perkemahan Pandawa. Api segera berkobar, menjilat-jilat ke angkasa. Prajurit-prajurit yang terjaga berusaha melarikan diri. Tapi, tak terbilang mereka yang mati terbakar, di dalam maupun di luar perkemahan karena tak sempat melarikan diri.
“Kita telah lakukan tugas kita sebagaimana mestinya.
Marilah kita kembali ke tempat Duryodhana. Siapa tahu ia masih hidup? Mendengar hasil kerja kita malam ini, ia pasti puas.” Aswatthama mengajak Kripa dan Kritawarma cepat-cepat meninggalkan perkemahan itu.
Karena serbuan Aswatthama, seluruh balatentara Pandawa musnah, hanya tujuh yang selamat. Di pihak Kaurawa, hanya ada tiga orang, yaitu Aswatthama, Kripa dan Kritawarma.
Ternyata Duryodhana masih hidup. Setelah mendengar
laporan Aswatthama, Duryodhana berkata, “Aswatthama, engkau telah menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tidak juga kesatria besar seperti Bhisma dan Karna. Engkau telah membesarkan hatiku dan sekarang aku bisa mati dengan bahagia!” Setelah berkata demikian, akhirnya Duryodhana menghembuskan napas penghabisan dengan tenang. Air mukanya membayangkan kebahagiaan abadi.
***
Tidak dapat dibayangkan betapa sedihnya Yudhistira ketika mendengar pasukannya dihabisi musuh di waktu malam. Ketika kemenangan sudah di tangan, tiba-tiba kekalahan harus diterima.
Anak-anak Draupadi yang selama perang berlangsung
dapat diselamatkan dari musuh, sampai saat ketika Karna menjadi mahasenapati, tiba-tiba mati tak berdaya bagai anak ayam disergap musang lapar. Pandawa membiarkan diri mereka dihancurkan, seperti kapal dagang yang berlayar pulang membawa untung besar dari negeri-negeri jauh, tapi tiba-tiba tenggelam di muara sungai di negeri sendiri.
Draupadi tak kuat menanggung dukanya. Ia menangis di dada Dharmaputra.
“Tak adakah yang dapat membalas bela untuk anak- anakku yang tidak berdosa? Ini akibat perbuatan Aswatthama yang terkutuk!” katanya dengan suara terputus- putus.
Mendengar kata-kata Draupadi, Pandawa segera pergi mencari Aswatthama ke mana-mana. Aswatthama melarikan diri ke tepi Sungai Gangga dan bersembunyi di dalam kuil pemujaan Bagawan Wyasa. Ketika melihat Pandawa dan Krishna datang mendekat, Aswatthama melemparkan sehelai rumput sambil mengucapkan mantra sakti, “Semoga dengan ini bangsa Pandawa musnah dari permukaan bumi.”
Helai rumput itu terbang menuju Dewi Uttari yang sedang mengandung putra Abhimanyu. Bayi dalam kandungan itu nyaris terbunuh oleh rumput dan mantra Aswatthama. Untunglah Krishna sempat menyelamatkannya dengan mengucapkan mantra yang membuat semua keinginan Aswatthama tak terkabul. Kelak, bayi itu lahir selamat dan diberi nama Parikeshit.
Kemudian Aswatthama menanggalkan permata indah kemilau yang menempel di kepalanya, yang merupakan bagian kekuatannya. Ia memberikan permata itu kepada Bhimasena, sebagai tanda pengakuan kekalahannya. Seijin Bhimasena ia pergi ke hutan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan bersamadi.
Bhimasena menyerahkan permata itu kepada Draupadi
sambil berkata, “Wahai Putri Pujaan Pandawa, terimalah permata ini. Orang yang membunuh anak-anak kita tercinta telah lenyap dari bumi. Duryodhana sudah musnah dan Duhsasana sudah kuisap darahnya. Aku telah membalas bela untuk sanak kerabat kita. Hutangku kepadamu sudah kulunasi.”
Dewi Draupadi menerima pemberian itu, lalu menyerahkannya kepada Yudhistira sambil berkata, “Raja yang kami muliakan, permata ini cocok sekali untuk disuntingkan pada mahkotamu.”
Demikianlah, perang Bharatayudha di medan Kurukshetra berakhir.
Bersambung....
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment