Friday, April 7, 2017

MAHABHARATA 52

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
52. Setelah Perang Berakhir
Dengan menyerahnya Aswatthama kepada Bhimasena, perang besar Bharatayudha pun berakhir. Kaurawa telah menerima kekalahan mereka. Ketika pertempuran di medan Kurukshetra berakhir, seluruh negeri berkabung. Beribu-ribu wanita, tua maupun muda, serta kanak-kanak mengiringi Maharaja Dritarastra berziarah ke medan perang, ke tempat pertempuran yang membawa kemusnahan. Alangkah dahsyat dan mengerikannya keadaan di medan itu. Berdiri bulu roma orang yang melihat bekas-bekas pertempuran. Mereka menangis tersedu-sedu, mengenang orang-orang yang mereka kasihi, yang sudah tak ada lagi. Semua telah gugur, musnah ditelan perang besar yang tiada bandingnya.
Meskipun buta, Dritarastra dapat membayangkan betapa mengerikannya kemusnahan akibat peperangan. Ia menangis, menyesali semua kejadian yang mengakibatkan malapetaka terbesar yang pernah terjadi di dunia. Beribu-ribu perwira dan beratus ribu prajurit gagah berani tewas terkapar, sia-sia membuang nyawa.
Ketika itu, datanglah Bhagawan Wyasa hendak menghibur dan menenangkan Maharaja Dritarastra. Katanya, “Anakku Dritarastra, tak ada gunanya menyesal dan tenggelam dalam dukacita dan berlarut-larut menangisi mereka yang telah gugur. Sebaiknya kita siapkan upacara pemakaman para pahlawan sesuai adat yang suci untuk menghormati jasa-jasa mereka.
“Ketahuilah, jika jiwa sudah meninggalkan raga, maka hubungan persaudaraan atau kekerabatan tidak ada lagi. Sesungguhnya, kini antara kau dan anak-anakmu sudah tidak ada hubungan lagi, karena hubungan itu sudah diakhiri dengan kematian. Hidup di dunia ini hanyalah peristiwa kecil dalam kaitannya dengan kehidupan abadi. Kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali ke ketiadaan. Tak ada yang perlu kita tangisi. Mereka yang mati setelah bertempur dengan gagah berani akan diterima oleh Batara Indra. Berduka karena kehilangan semua di masa lampau tidak akan mendekatkan kita pada kekayaan, kebahagiaan dan dharma.
“Dritarastra, semua hal pernah kuajarkan kepadamu.
Tidak ada yang tidak kauketahui. Engkau tahu benar, semua yang hidup akan mati. Perang yang baru saja berakhir ini boleh dikatakan berguna untuk meringankan beban dunia. Begitulah amanat Batara Wishnu kepadaku. Ini tidak bisa dihindari. Mulai kini dan selanjutnya, anakmu adalah Yudhistira dan saudara-saudaranya. Cintailah mereka. Buang dukamu sebagai beban hidup terakhir. Tugasmu sekarang adalah mendampingi putra-putra Pandu, adikmu,” demikian Bagawan Wyasa menghibur Dritarastra sambil mendampinginya berziarah di medan Kurukshetra.
Dritarastra tidak dapat begitu saja melupakan kematian anak-anaknya, terutama kematian Duryodhana. Sakit hati dan dendamnya begitu kuat, terutama kepada Bhima. Tak mungkin dia memaafkan kemenakannya itu dan menghapus kenangan akan kematian Duryodhana.
Yudhistira dan saudara-saudaranya juga berziarah kemedan Kurukshetra. Sampai di sana ia segera mendekati Dritarastra dan menyembah pamannya itu, disaksikan oleh Bagawan Wyasa.
Dritarastra memeluk Dharmaputra dan putra Pandu itu berkata bahwa Bhimasena juga ada bersamanya.
“Suruh dia ke sini!” kata raja buta itu. Krishna yang mendampingi Pandawa, cepat-cepat mendorong Bhimasena ke samping dan menyodorkan patung besi kepada raja buta itu. Krishna tahu bahwa ayah Duryodhana itu sangat membenci Bhimasena. Dritarastra segera memeluk patung besi itu, membayangkan bahwa ia memeluk Bhimasena. Kebencian dan dendamnya kepada Bhimasena membakar tubuhnya dan menjelma menjadi kekuatan gaib. Sambil komat-kamit mengucapkan kutukpastu, ia memeluk patung besi itu kuat-kuat sampai remuk.
“Kebencian telah memperbudak diriku. Aku telah membunuh Bhima dengan meremukkan badannya,” kata raja itu lega, terbebas dari rongrongan dendam di hatinya.
“Ya, Tuanku Raja, aku tahu ini pasti akan terjadi. Karena itu, aku halang-halangi maksud Tuanku. Sebenarnya engkau tidak membunuh Bhimasena, tetapi meremukkan sebuah patung besi. Sekarang, setelah dendam dan kebencianmu lenyap, semoga hidupmu menjadi damai. Tuanku, Bhimasena masih hidup,” kata Krishna.
Maharaja Dritarastra menjadi lemas. Tetapi segera ia sadar bahwa tugas utama sebagai sesepuh keturunan Bharata telah menantinya. Dienyahkannya segala perasaan buruk dari hatinya, dipanggilnya para Pandawa dan direstuinya mereka dengan tulus. Setelah itu, ia menyuruh Pandawa menghadap dan memohon restu pada Dewi Gandhari.
Sementara itu, Bagawan Wyasa yang telah lebih dulu datang ke tempat Dewi Gandhari, sedang menasihati ibu para Kaurawa itu. Katanya, “Sri Ratu, hendaknya engkau jangan marah atau dendam kepada Pandawa. Bukankah engkau sendiri pernah berkata, ‘di mana ada dharma, di situ kemenangan bertakhta’. Demikianlah Pandawa sekarang. Tak pantas membiarkan hati dan pikiran dikendalikan oleh dendam dan amarah.”
“Bagawan, aku tidak pernah iri akan kemenangan Pandawa. Memang aku sedih karena kematian semua anakku. Tapi aku sadar, Pandawa juga anak-anakku. Aku tahu, Duhsasana dan Sakuni yang sesungguhnya menjadi penyebab musnahnya rakyat kita. Arjuna dan Bhimasena tidak bisa disalahkan. Harga diri mendorong mereka terjun ke gelanggang pertempuran sebagai kesatria dan menjalani takdir masing-masing. Aku tidak pernah menyesali semua itu.”
Dewi Gandhari berhenti sesaat, menarik napas panjang dan mengusap air matanya. Kemudian melanjutkan, “Tetapi, kenangan akan suatu peristiwa tidak bisa dihapus dari hatiku. Di depan Krishna telah terjadi pertarungan antara Duryodhana dan Bhima. Tahu bahwa Duryodhana lebih unggul, Bhima menghantam bagian tubuh di bawah perutnya. Itu jelas menyalahi aturan pertarungan satu lawan satu. Tetapi Krishna membiarkan dan hanya melihat saja. Ini menyalahi dharma. Sungguh sukar bagiku untuk memaafkannya,” jawab Dewi Gandhari.
Sementara itu, Pandawa telah sampai di hadapannya.
Bhima yang mendengar keluhan Dewi Gandhari, berkata, “Ibu, aku lakukan semua itu untuk membela diri. Aku terikat oleh sumpah Dharmaraja. Kami telah menjalani hukuman selama tiga belas tahun. Setelah masa hukuman selesai, kami ingin memulihkan kehormatan kami. Apa boleh buat, untuk itu kami terpaksa merebutnya lewat peperangan karena jalan damai yang kami tawarkan tidak mendapat tanggapan.”
“Anakku, kalau saja engkau sisakan satu dari seratus anakku, aku dan suamiku yang sudah tua ini masih punya anak untuk menumpahkan duka kami. Di mana Dharmaputra? Panggil dia!” kata Dewi Gandhari.
Yudhistira gemetar mendengar kata-kata Dewi Gandhari. Pelan-pelan ia mendekati permaisuri Dritarastra itu sambil berkata, “Wahai Permaisuri Raja, aku, Yudhistira yang jahat, telah membunuh anak-anakmu. Ini aku, menghadap engkau sekarang. Kutuk dan hukumlah aku karena dosa-dosaku. Aku tidak peduli lagi akan hidupku dan kerajaanku.” Setelah berkata demikian, ia menjatuh- kan badannya, pasrah, dan bersujud di kaki Dewi Gandhari.
Dewi Gandhari telah bersumpah tak mau melihat dunia lagi sejak suaminya buta. Ia menutup matanya dengan sehelai kain dan bersumpah akan setia kepada suaminya hingga akhir hidupnya. Mengetahui Yudhistira bersujud di kakinya, cepat-cepat ia memalingkan muka, takut kalau- kalau bisa melihat Dharmaputra. Tetapi, dari celah bagian bawah kain penutup matanya, ia bisa melihat ibu jari kaki Dharmaputra. Begitu terpandang olehnya, ibu jari kaki itu langsung terbakar dan meninggalkan tanda hitam. Arjuna, yang tahu akan kekuatan gaib yang mematikan dari sorot mata Dewi Gandhari, segera bersembunyi di balik punggung Krishna.
Mendengar kata-kata Yudhistira, Dewi Gandhari berusaha menghilangkan amarah dan dendamnya. Dengan bijaksana dan dengan tutur kata halus, ia merestui Pandawa lalu menyuruh mereka menghadap Dewi Kunti. Kepada Draupadi yang sangat sedih karena kematian semua anaknya, Dewi Gandhari berkata, “Anakku, jangan engkau berduka. Siapa yang sanggup menghibur kita? Kita harus memikul beban sekuatnya. Kita juga bersalah dan ikut menjadi penyebab musnahnya bangsa ini.”
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment