Sunday, April 2, 2017

MAHABHARATA 49 bagian 4

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
49. Jayadrata Harus Ditumpas IV
Sementara itu, kedatangan Satyaki justru membuat Arjuna khawatir karena kesatria itu sebenarnya ditugaskan menjaga Yudhistira, lebih-lebih karena Bhurisrawa ada di sekitar situ. Arjuna tahu, keluarga Satyaki dan keluarga Bhurisrawa sudah bermusuhan sejak jaman nenek moyang mereka.
Dahulu, ada seorang gadis cantik bernama Dewaki. Kecantikan dan kehalusan budinya terkenal di mana-mana hingga banyak putra mahkota kerajaan ingin menyuntingnya. Timbullah persaingan keras di antara mereka. Waktu itu putra mahkota Dwaraka yang masih perjaka mengutus Sini untuk bertarung atas namanya, melawan Somadatta, untuk memperebutkan Dewaki. Sini memenangkan pertempuran itu, melarikan Dewaki dan menyerahkan putri itu kepada putra mahkota Dwaraka. Tak lama kemudian putra mahkota itu diangkat menjadi Raja Dwaraka dan menikahi Dewaki. Pasangan itu dikaruniai tiga anak, Balaputra atau Baladewa, Krishna, dan Subadra. Sejak itu permusuhan antara Sini dan Somadatta tak dapat didamaikan, bahkan sampai turun-temurun. Satyaki adalah cucu Sini, dan Bhurisrawa adalah anak Somadatta.
Waktu Bhurisrawa melihat Satyaki, seketika itu juga rasa permusuhan berkobar di dadanya. Bhurisrawa yang sudah lanjut usia itu menantang Satyaki dengan berkata, “Sombong benar engkau, menganggap diri kesatria besar tak terkalahkan. Tunjukkan kekuatanmu. Temui ajalmu di tanganku. Sudah lama aku menunggu pertemuan ini. Akan kukirim kau secepatnya ke hadapan Batara Yama.”
Satyaki menjawab sambil tersenyum, “Tutup mulutmu! Tak ada gunanya omong besar. Kata-kata bukan ukuran perbuatan. Jangan coba menakut-nakuti orang yang sudah siap bertempur. Tunjukkan kegagahanmu dan jangan berkhayal.”
Setelah saling melontarkan kata-kata ejekan, mereka terlibat pertarungan yang sangat dahsyat.
Kereta mereka saling bertumbukan, kuda-kuda terbunuh, kereta hancur, busur patah-patah. Mereka berdiri di tanah, sama-sama memegang perisai dan menghunus pedang. Terjadilah pertarungan sengit. Mereka saling menebaskan pedang dan saling menangkis. Setelah pedang dan perisai hancur, mereka bergulat, banting-membanting. Sebentar Bhurisrawa berada di bawah, sebentar kemudian Satyaki yang tertindih.
Saat itu Arjuna masih sibuk menghadapi pasukan Jayadrata. Krishna yartg melihat Satyaki mulai lemas, berkata kepada Arjuna, “Dhananjaya, Satyaki tampak kehabisan napas. Bhurisrawa mungkin akan berhasil membunuhnya. Satyaki datang untuk membantumu, tapi ia terpaksa bertarung dengan Bhurisrawa karena ditantang olehnya. Pertarungan mereka tidak seimbang, karena Satyaki tidak bersenjata lengkap. Kalau engkau tidak membantu Satyaki, ia pasti mati dibunuh Bhurisrawa.”
Arjuna tidak menghiraukan kata-kata Krishna. Ia terus bertarung melawan Jayadrata. Krishna terus mengawasi pertarungan Satyaki dengan Bhurisrawa. Dilihatnya putra Somadatta mengangkat Satyaki yang sudah lemas dan membantingnya keras-keras ke tanah. Cucu Sini itu langsung terkapar tak sadarkan diri. Bhurisrawa lalu menyeretnya, bagai singa menyeret mangsanya ke sarangnya.
“Satyaki sudah tak berdaya ketika diseret Bhurisrawa. Ia putra terbaik bangsa Wrisni yang masuk ke medan Kurukshetra untuk membantumu melawan Kaurawa. Di depan matamu dia akan dibunuh tetapi engkau tidak berbuat apa-apa,” kata Krishna lagi.
Arjuna bimbang, pikirannya bercabang. Katanya, “Bhurisrawa datang ke medan perang ini bukan karena tantanganku dan sebaliknya ia juga tidak menantang aku. Bagaimana aku bisa memanah dia sementara aku masih sibuk bertempur dengan musuhku? Aku bimbang. Pikiranku tidak mengijinkan aku berbuat demikian, padahal teman sejatiku yang datang untuk membantuku hendak dibunuh di depan mataku.”
Lama Arjuna ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ribuan anak panah berlesatan di angkasa, dilepaskan dari busur Jayadrata. Arjuna terpaksa melayani serangan itu. Krishna terus mendesak Arjuna agar menolong Satyaki yang tak sadarkan diri sementara Bhurisrawa siap mengayunkan pedangnya untuk menebas lehernya. Ketika Arjuna menoleh ke belakang, dilihatnya Bhurisrawa berdiri di atas tubuh Satyaki sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Sesaat kemudian kesatria itu mengayunkan pedangnya ke arah leher Satyaki.
Secepat kilat Arjuna melepaskan anak panahnya. Anak panah itu melesat cepat, menyambar dan memotong tangan Bhurisrawa. Kesatria itu jatuh terpelanting ke tanah sambil memegangi pedangnya. Bhurisrawa menoleh ke arah Arjuna.
“Ah, anak Dewi Kunti,” katanya. “Aku tidak mengira serangan ini datangnya dari engkau. Menyerang dari belakang tidak sesuai dengan watak kesatria. Aku datang untuk bertarung melawan seseorang. Muka dengan muka. Berhadapan. Tapi engkau menyerangku dengan licik dari belakang. Benarlah kata sang bijak: sesungguhnya tak seorang pun dapat menahan pengaruh iblis dalam dirinya, tidak juga engkau yang sebenarnya patut dihormati.
“Dhananjaya, jika nanti kau kembali ke tempat saudaramu, Yudhistira, bagaimana engkau akan menceritakan perbuatanmu ini? Hai Arjuna, siapa yang mengajarkan kelicikan itu kepadamu? Apakah Batara Indra, Mahaguru Drona atau Kripa? Tata krama apa yang mengijinkanmu menyerang seseorang dari belakang? Engkau bertindak seperti keturunan orang hina. Perbuatan nistamu telah mengotori kehormatanmu. Perbuatanmu ini pasti dipengaruhi oleh Krishna.
“Aku tahu, ini bukan sifatmu. Ini pasti karena kau terpengaruh oleh Krishna. Ingatlah, tak seorang kesatria pun akan merendahkan diri dengan melakukan tindakan tercela itu.” Demikian Bhurisrawa mengutuk Arjuna dan Krishna.
Partha menjawab, “Wahai Bhurisrawa, engkau telah uzur, usia tua membuat penilaianmu berkarat. Ketahuilah, tidak mungkin aku diam saja, jika di hadapanku kawan yang hendak menolongku terancam jiwanya. Kawanku hendak kau sembelih, padahal ia dalam keadaan tak sadarkan diri. Lebih baik aku masuk neraka jika tidak bisa menghalangi perbuatanmu.
“Engkau katakan pikiranku telah dirusak Krishna. Tetapi tuduhanmu itu kauucapkan dengan pikiran kacau. Satyaki datang kemari tanpa membawa senjata dan dalam keadaan lelah. Ia berniat membantuku, tetapi kau malah menantangnya.
“Setelah ia kau tundukkan sampai tak sadarkan diri, dengan keji kau berniat menebas lehernya. Watak kesatria seperti apa yang mengijinkan kamu menginjak-injak tubuh orang yang tak sadarkan diri? Tidakkah kau ingat bagaimana prajurit Kaurawa bersorak-sorak dan menari-nari seperti iblis mengeroyok anakku, Abhimanyu, yang sudah tidak berdaya dan tanpa senjata?
“Wahai kesatria besar, ketahuilah, aku telah bersumpah untuk melindungi semua temanku dalam jarak sebidikan anak panahku. Takkan kubiarkan ia terbunuh di tangan musuh. Itulah sumpah suciku. Sekarang renungkan perbuatanmu terhadap Satyaki. Bagaimana mungkin engkau menyalahkan perbuatanku? Kau melancarkan kutukan tanpa pengertian yang benar dan tepat.”
Mendengar kata-kata Arjuna, Bhurisrawa terdiam. Kemudian ia bangkit dan meletakkan anak panahnya dekat kakinya. Lalu ia duduk di atas anak panah itu, seolah-olah duduk di tikar dengan kaki bersila. Kesatria tua itu bersamadi dan melakukan yoga. Melihat tindakan Bhurisrawa, pasukan Kaurawa bersorak memujinya dan mengejek Arjuna dengan kata-kata pedas.
Arjuna berkata lagi kepada Bhurisrawa, dengan cukup keras agar bisa didengar oleh mereka yang ada di sekitar situ, “Engkau kesatria hebat. Engkau membela siapa pun yang datang meminta bantuanmu. Engkau seharusnya sadar, apa yang terjadi sekarang ini adalah akibat kesalahanmu. Tidak adil dan tidak benar jika kau menyalahkan aku. Kalau kau mau jujur, seharusnya kau berani menyalahkan dan mengutuk kekerasan dan nafsu perang yang menguasai kehidupan seluruh bangsa kesatria.”
Bhurisrawa menatap wajah Arjuna, lalu memberi hormat kepadanya dengan menundukkan kepala. Pada saat itulah Satyaki siuman. Ia segera bangkit. Melihat Bhurisrawa ada di dekatnya, kebencian dan amarahnya seketika memuncak. Tanpa menunggu-nunggu, dia mengambil pedang dari dekat situ lalu secepat kilat menebaskannya ke leher Bhurisrawa yang sedang duduk bersila dan bersamadi. Sebelum Arjuna dan Krishna sempat merampas pedang Satyaki, kepala Bhurisrawa telah lebih dulu terguling ke tanah. Ajaib! Badannya tetap dalam posisi beryoga. Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Semua yang menyaksikan menahan napas dan mengutuk perbuatan Satyaki yang kemudian berdiri tegak dan berseru lantang, “Setelah aku jatuh tak sadarkan diri, musuh keluargaku ini menginjak-injak aku dan hendak memancung leherku. Untuk membalas perbuatannya, aku berhak membunuh dia dalam keadaan apa pun. Aku bukan orang yang pantas dikutuk.
Apa pun anggapan Kaurawa maupun Pandawa mengenai kematian Abhimanyu dan Bhurisrawa dalam pertempuran di Kurukshetra yang dahsyat, namun pertentangan batin dan konflik moral sebagai akibat peperangan itu akan menjadi ukuran bagi nilai-nilai pandangan hidup manusia di dunia ini untuk di masa datang. Dari masa ke masa peristiwanya mungkin sama, tetapi tanggapannya bisa berbeda.
***
Di tengah pasukan Kaurawa, Duryodhana berkata kepada Karna. “Karna, hari telah sore. Jika malam tiba dan Jayadrata belum juga terbunuh, Arjuna akan malu besar. Dia pasti akan bunuh diri karena tak dapat memenuhi sumpahnya. Kematian Arjuna berarti kehancuran Pandawa dan seluruh kerajaan akan kita kuasai. Siapa pun takkan mengungkit kekuasaan kita. Sumpah Arjuna tak mungkin terlaksana karena diucapkan tanpa pertimbangan masak- masak. Arjuna pasti hancur di tangannya sendiri.
“Rupanya hari ini bintangku terang-benderang. Kesempatan ini harus kita gunakan sebaik-baiknya. Segala sesuatu tergantung padamu. Buktikan kesanggupanmu hari ini. Lihat, matahari hampir terbenam dan hari hampir malam. Aku yakin, Arjuna takkan bisa mencapai Jayadrata. Engkau, Aswatthama, Salya, Kripa dan aku harus menjaga Jayadrata sekuat tenaga agar ia tidak jatuh ke tangan Arjuna. Kita harus terus menjaganya sampai beberapa saat sesudah matahari tenggelam.”
“Tuanku Raja, hari ini aku sangat lelah. Badanku penuh luka setelah bertempur melawan Bhimasena. Tetapi kalau kaukehendaki, nyawaku akan kuserahkan kepadamu,” jawab Karna.
Sementara itu, Arjuna terus menerjang pasukan Kaurawa yang diperintahkan untuk menghalanginya agar kesatria Pandawa itu tidak bisa mendekati Jayadrata. Pada saat itu Krishna mengirimkan isyarat, memanggil kereta dan sais bernama Daruka untuk diberikan kepada Satyaki. Daruka adalah sais yang sangat mahir. Bersama Satyaki ia ditugaskan untuk bertempur melawan Karna di medan yang terpisah. Setelah bertempur beberapa lama, Karna berhasil dilumpuhkan, keretanya dihancurkan, dan ia terpaksa melompat naik ke kereta Duryodhana.
Ketika Satyaki mengamuk lagi melawan para kesatria Kaurawa, Arjuna makin maju mendekati Jayadrata. Pikirannya penuh dengan kenangan akan kematian Abhimanyu. Tanpa kenal lelah dan tak peduli pada luka-luka di tubuhnya, Arjuna terus berperang. Dengan Gandiwanya, ia membuat pasukan Kaurawa kacau balau. Arjuna terus maju mendekati Jayadrata. Pertarungannya dengan Aswatthama dan lainnya tidak membuatnya semakin jauh dari tujuannya. Sebaliknya, setelah mengalahkan musuh-musuhnya, ia semakin dekat dengan Jayadrata.
***
Mereka yang bertempur sebentar-sebentar menoleh ke barat. Pertempuran belum juga berakhir. Waktu hanya tinggal sedikit. Tiba-tiba medan Kurukshetra menjadi gelap dan terdengar teriakan Duryodhana, “Lihatlah, hari sudah malam! Arjuna tidak dapat melaksanakan sumpahnya. Sungguh memalukan!”
Sementara itu Jayadrata menengadah, memandang ke barat dengan ragu, sebab beberapa saat yang lalu langit masih terang. Katanya dalam hati, “Aku selamat, aku selamat....”
Pada saat itulah Krishna berkata kepada Arjuna, “Dhananjaya, lihatlah Raja Sindhu sedang memandang langit. Aku mengucapkan mantra agar medan ini menjadi gelap.
Sebetulnya matahari masih di atas. Cepat, lakukan tugasmu! Jayadrata sedang sendirian!”
Maka melesatlah sebatang anak panah bermata pedang dari Gandiwa Arjuna, tepat menembus leher Jayadrata. Leher itu putus. Kepala Jayadrata terbawa terbang oleh anak panah yang terus meluncur, bagaikan burung elang menyambar anak ayam. Sebatang anak panah dilepaskan lagi oleh Arjuna, untuk menerbangkan kepala itu ke tempat yang lebih jauh. Dengan kekuatan yang telah diperhitungkan, anak panah itu menerbangkan kepala Jayadrata sampai ke tempat pertapaan ayahnya. Akhirnya, anak panah itu jatuh tepat di pangkuan Raja Wridaksatra yang sedang khusyuk bersamadi.
Ketika raja tua itu selesai bersamadi, ia bangkit berdiri. Maka tergulinglah kepala anaknya dari pangkuannya. Akibat kutuk-pastu yang dilontarkannya dulu, maka kepala mantan raja itu sendiri yang meledak, pecah berkeping-keping. Seketika itu juga ia menemui ajalnya.
Krishna, Dhananjaya, Bhimasena, Satyaki, Yudhamanyu dan Uttamaujas meniup trompet kerang mereka sebagai tanda bahwa Arjuna berhasil melaksanakan sumpahnya. Medan Kurukshetra sesaat menjadi terang kembali karena memang demikianlah keadaannya yang sesungguhnya. Beberapa waktu kemudian, matahari tenggelam sebagaimana biasa.
Bersambung...
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment