Monday, February 6, 2017

Mau Mengejar Surga atau Mau “Bertemu” dengan Tuhan?




_/l\_ ॐ साई राम
Mau Mengejar Surga atau Mau “Bertemu” dengan Tuhan?
Bila ada pengumuman resmi dari atas sana bahwa Tuhan pindah rumah dan sekarang tinggal di Neraka, mungkin kita pun mengurungkan niat untuk bertemu dengan Tuhan. Lebih baik memilih Surga daripada memilih Tuhan di Neraka. Yang lebih pintar malah akan mencari pembenaran, “Ah, pengumuman itu tidak benar. Menyesatkan. Pasti dari Setan. Masa iya, Tuhan mau pindah ke Neraka?”
Oṁ Saha nāvavatu; saha nau bhunaktu: Saha vīryam karavāvahai;Tejasvi nāvadhītamastu; Mā vidviṣāvahai.Oṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ
(Semoga Hyang Tunggal senantiasa melindungi kita; menjernihkan pikiran kita: semoga kita dapat berkarya bersama dengan penuh semangat; semoga apa yang kita pelajari mencerahkan dan tidak menyebabkan permusuhan; Damailah hatiku, damailah hatimu, damailah kita semua.)
Para Gopi di Vraja telah melakukannya.
Para Gopi di Vraja memiliki kasih seperti itu. Kasih mewarnai seluruh hidup mereka. Bagi mereka, kasih itu segala-galanya. Kesadaran dan Ketuhanan, Pencerahan dan Pembebasan — semuanya Kasih.
Pada suatu hari Krishna “mengaku” sakit kepala. Kedelapan istrinya menjadi sibuk. Ada yang memijitnya. Ada yang mengolesinya dengan salep. Krishna tetap saja mengeluh, “Sakit kepala malah bertambah. . .. Aduh, aduh, aduh. . ..”
Para vaidya atau tabib pun dipanggil, tetapi tak seorang pun bisa membantu. Krishna mulai menjerit. Dan setiap jeritan menyayat hati para pendengarnya.
Maka datanglah tokoh kita, Narada…. “Narayana, Narayana… Penyakit ini bisa disembuhkan. Ada obatnya….”
Para istri mulai main tarik-tarikkan. Yang satu menarik Narada ke kanan. Yang satu ke kiri. Yang satu ke belakang, “Katakan Rishi, apa obatnya?”
Setiap di antara mereka ingin menjadi pahlawan. Ya, menjadi yang pertama untuk memberi obat. Yang repot ya Narada. Mau bilang sama siapa? Yang mana harus diberitahu?
“Begini saja, saya beritahu obatnya kepada semua. Terserah kalian, siapa yang akan memberinya kepada Sri Krishna.”
Narada sedang melaksanakan tugas. Dia adalah Chief Executive Oflicer. Saat itu dia hanya meneruskan “bisikan” Krishna kepadanya, “Debu telapak kaki seorang pencinta Krishna — obat yang dibutuhkan. Oleskan di kepalanya dan Sri Krishna akan langsung sembuh… Tetapi….”
Para istri sudah tidak sabar lagi, cepat-cepat mereka membungkuk untuk mengambil debu. . ..
“Tunggu dulu, aku belum selesai. Tetapi ada satu hal yang perlu saya jelaskan. Dengarkan dulu. Jangan terburu-buru. . …”
“Apa lagi, Narada? Katakan. . ..”
Dan Narada mengutip Shastra, kitab suci, tradisi dan peraturan yang sudah baku dan dianggap bagian dari agama, “Ada tertulis bahwa seorang istri tidak boleh menghina suaminya. Dan mengolesi debu di dahi suami merupakan penghinaan terbesar. Hukumannya pun berat, yaitu Neraka. . ..”
Maka para istri mulai melihat ke kanan dan ke kiri. Saling menunggu. Hanya sesaat sebelumnya, rebutan. Sekarang. . ..
Jeritan Krishna makin keras. Tetapi, siapa peduli? Ini sudah urusan Surga-Neraka. Krishna menarik lengan Narada, “Narada, bantulah aku. Carilah seorang pencinta yang bersedia memberikan debu dari kakinya.”
Para istri mulai mencari pembenaran, “Bukan karena Surga-Neraka, Narada, tetapi bagaimana menghina suami tercinta dengan mengoleskan debu dari kaki kita?”
Dalam hati, Narada mungkin berpikir, “Bull….. Tadi sudah siap-siap mengambil debu. Ada yang bungkuk ke depan, ada yang malah mengangkat kaki. . .. Sekarang bicara soal penghinaan segala?
But, never mind — it happens.
Begitulah sifat manusia. Bila ada pengumuman resmi dari atas sana bahwa Tuhan pindah rumah dan sekarang tinggal di Neraka, mungkin kita pun mengurungkan niat untuk bertemu dengan Tuhan. Lebih baik memilih Surga daripada memilih Tuhan di Neraka. Yang lebih pintar malah akan mencari pembenaran, “Ah, pengumuman itu tidak benar. Menyesatkan. Pasti dari Setan. Masa iya, Tuhan mau pindah ke Neraka?”
Narada berupaya untuk menenangkan Sri Krishna, “Jangan khawatir, Tuanku… Saya akan segera ke Vrij, ke Vrindavan. Di sana ada belasan ribu Gopi. Mungkin salah satu di antara mereka akan memberi debu dari kakinya.”
Krishna bernapas lega, “Ya, ya, Narada. . .. cepat. Mungkin salah satu di antara mereka rela masuk Neraka demi aku.”
Tidak lama kemudian, Narada sudah berada di Vrindavan. Para Gopi mengerumuninya, “Rishi, ada kabar tentang Krishna? Apakah Rishi sempat bertemu dengan dia?”
“Ya, baru saja…. Dan, Narayana, Narayana… Keadaannya sungguh menyedihkan. Mendengar jeritannya, hatiku tersayat. . ..”
“Apa yang terjadi?” Beberapa di antara para Gopi bahkan langsung jatuh pingsan.
Krishna menderita sakit kepala. Para vaidya pun tidak berhasil menyembuhkan dia.”
Para Gopi mulai menjerit histeris, “Krishna, Krishna, Krishna….”
Narada berupaya menenangkan mereka, “Ada satu cara. Hanya satu cara. Yaitu, debu dari kaki pencinta…. Ya, bila debu itu ditaruh di atas kepalanya, dia akan sembuh. . ..”
Maka para Gopi yang baru saja mandi dan kaki mereka masih bersih sengaja menginjak-injak tanah basah. Pasir, apa saja….”Ambilah debu dari kaki kami. Ambil sebanyak mungkin, Narada…. Dan kembalilah ke Dvaraka. Krishna harus segera sembuh….”
Narada kembali menguji mereka, “Tetapi, jangan lupa…… Kitab-kitab suci dan peraturan agama dalam hal ini jelas sekali. Menaruh debu di atas kepala seseorang yang kalian cintai, sayangi, hormati….. Hukumannya hanya satu: Neraka.”
“Ah, ah, ah…” teriak para Gopi, “Siapa yang memikirkan Neraka dan Surga? Cepat Narada ambillah debu ini dan tinggalkan Vrija.”
Di Dvaraka…..
Saat itu juga, sakit kepala Krishna hilang. Sebelumnya pun sebetulnya tidak ada, mau hilang bagaimana? Seluruh sandiwara itu memang dimainkan untuk memberi pelajaran kepada isteri. Dan lewat mereka, kepada kita semua……
Para istri bertanya, “Krishna, kamu sudah sembuh?”
“Ya, sembuh. . .. Sakit kepalaku hilang sudah.”
“But how, bagaimana?”
“Sekian banyak karung debu yang kuterima dari Vrindavana.”
Debu dari 16,000 pasang kaki sudah pasti beberapa karung…. Ketika Narada datang membawa karung-karung itu, Krishna mengucapkan terima kasih kepadanya, “Terima kasih Narada….. Kasih mereka telah mendahului karung-karung itu.”
Narada tersenyum. Dia memang menjadi bagian dari sandiwara itu. Para istri baru menyadari kesalahan mereka.
Giliran kita…….. siapkah kita mengorbankan Surga, Neraka dan peraturan-peraturan usang demi Cinta? Demi Kasih? Bila ya, maka besok-besok Narada akan menyebut nama kita. Nama kita pun akan masuk ke dalam daftar para pencinta. Bila tidak, ya tetap berada dalam daftar pemburu Surga.
Dan memburu Surga tidak berarti sudah pasti masuk Surga. Sementara, masuk ke dalam daftar para pencinta berarti sudah menjadi pencinta. Pilihan ada di tangan kita……. Mau menjadi seorang pemburu, atau penemu? Mau mengejar Surga atau mau “bertemu” dengan Tuhan?
Om, Sarve bhavantu sukhinaḥ; Sarve santu nirāmayāḥ; Sarve bhadrāṇi paśyantu; Mā kashchit duḥkha bhāgbhavet; Oṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ
(Semoga semua makmur, bahagia dan bebas dari penyakit. Semoga semua mengalami peningkatan kesadaran, dan bebas dari penderitaan. Damailah hatiku, damailah hatimu, damailah kita semua.)
Terima kasih Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment