Monday, February 20, 2017

MAHABARATA 22

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
22. Semua Dipertaruhkan dalam Permainan Dadu
Maka pergilah Widura ke Indraprastha. Sampai di sana, ia disambut oleh Yudhistira. Raja muda itu bertanya dengan perasaan prihatin, “Mengapa engkau tidak gembira? Apakah keluarga kita di Hastinapura sehat-sehat? Apakah Baginda Raja dan putra-putranya sehat-sehat?”
Setelah saling menyampaikan salam penghormatan, Widura menjelaskan maksud kedatangannya. “Semua kerabat kita di Hastinapura sehat. Bagaimana di sini? Apakah semuanya sehat? Aku datang karena diutus mengundangmu atas nama Raja Dritarastra. Datanglah ke Hastinapura dan lihatlah bangunan-bangunan yang telah disiapkan untuk beristirahat.
“Sebuah balairung indah telah didirikan seperti yang engkau bangun di sini. Baginda Raja mengundang kau dan adik-adikmu untuk beristirahat dan bermain dadu di sana.”
Yudhistira tidak langsung menerima undangan itu. Ia ingin mendengar nasihat Widura tentang undangan itu. Katanya, “Bermain dadu sambil bertaruh selalu menimbulkan pertengkaran di antara kaum kesatria. Orang yang bijak pasti akan menghindari hal itu. Kami selalu patuh pada nasihatmu. Apa yang sebaiknya kami lakukan?”
Widura menjawab, “Setiap orang tahu, bermain dadu adalah pangkal semua kejahatan. Aku telah berusaha menentang rencana buruk ini! Tetapi Baginda Raja memerintahkan aku mengundang engkau. Terserah kepadamu, lakukanlah apa yang menurutmu baik.”
Walaupun telah mendengar peringatan halus Widura, Yudhistira tetap saja berniat pergi ke Hastinapura. Memang sulit menghindari nasib manusia yang dengan sengaja melangkah menuju kehancurannya sendiri karena didorong nafsu berahi, kegemaran berjudi, dan kebiasaan minum-minum. Lagi pula, sesungguhnya Yudhistira memang gemar berjudi. Menurut tradisi jaman itu, seorang kesatria dianggap tidak sopan jika menolak undangan bermain dadu. Kecuali itu, Yudhistira telah bersumpah untuk tidak pernah melakukan tindakan yang dapat membuat orang lain tidak senang atau marah. Karena itu, sungguh tidak pantas jika ia menolak undangan pamannya sendiri, Raja Dritarastra. Itu sebabnya ia menerima undangan tersebut dan berangkat bersama saudara-saudaranya diiringkan sepasukan pengawal.
Yudhistira dan rombongannya diterima Dritarastra di Hastinapura dan dipersilakan menginap di balai peristirahatan khusus untuk tamu. Setelah cukup beristirahat, esok harinya mereka diantar ke ruang permainan dadu. Setelah saling bertegur sapa sesuai adat, Sakuni mengumumkan bahwa permadani, meja dan kain beludu penutupnya telah disiapkan secara khusus dan bahwa permainan dapat dimulai.
Yudhistira berkata, “Paduka Raja, bermain judi itu tidak baik. Bukan dengan cara kesatria, kepandaian, dan kebijaksanaan seseorang menang dalam permainan adu nasib seperti ini. Resi Asita, para dewata dan dan para resi yang mengenal inti hakikat kehidupan secara mendalam telah menasihatkan, bahwa permainan judi harus dihindari, karena permainan ini bisa membuat orang ingin berbohong dan menipu. Mereka juga menyatakan bahwa kekalahan dan kemenangan dalam pertempuran adalah jalan yang paling pantas bagi kesatria. Paduka Tuanku sudah tentu bukannya tidak menyadari hal ini.” Meski berkata demikian, sesungguhnya hati kecil Yudhistira bimbang karena kata-katanya bertentangan dengan kegemarannya bermain dadu.
Sakuni tahu apa yang sebenarnya bergolak di dalam hati Yudhistira karena ia telah mendengar tentang sumpah kesatria itu. Itulah kelemahan Yudhistira. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Sakuni. Ia berkata, “Apa salahnya permainan ini? Sebenarnya, jika sungguh-sungguh dipikirkan, pertempuran itu sebenarnya apa? Apa pula gunanya berbincang-bincang tentang ajaran-ajaran Weda dengan para guru ahli kitab suci? Dalam kenyataannya kita tahu, orang pintar selalu menang melawan orang bodoh. Dalam kenyataannya, orang yang lebih pandai selalu menang dalam segala hal. Semua ini hasil ujian kekuatan atau kepandaian. Dalam kehidupan manusia, yang ahli selalu mengalahkan yang baru mulai belajar. Demikian pula dalam hal bermain dadu. Kalau memang takut kalah jangan ikut main. Jangan mencari-cari alasan dengan mengemukakan basa-basi tentang ajaran moral dan budi pekerti.”
Yudhistira menjawab, “Baiklah, siapa yang akan main melawan aku?”
Duryodhana langsung menjawab, “Aku ingin memenangkan semua taruhanmu, semua harta kekayaan dan kerajaanmu. Paman Sakuni akan mengocok dadu dan bermain atas namaku.”
Semula Yudhistira telah memperhitungkan bahwa diampasti bisa menang melawan Duryodhana. Tetapi, melawan Sakuni lain soal. Sakuni termasyhur sebagai pemain dadu yang ulung namun tidak malu-malu menggunakan segala cara, kalau perlu cara-cara licik, untuk memenangkan permainan. Karena itu Yudhistira berkata, “Menurutku itu menyalahi adat. Sungguh tidak lazim seseorang bermain atas nama orang lain.”
Sakuni menjawab sambil mengejek, “Aku tahu, engkau hanya mencari-cari alasan.”
Wajah Yudhistira memerah. Sambil menahan marah ia menjawab, “Baiklah, aku akan main.”
Ruangan bermain dadu itu penuh sesak. Tampak di antara yang menonton adalah Drona, Mahaguru Kripa,
Bhisma, Widura dan Raja Dritarastra. Mereka membayangkan betapa buruknya akibat yang bisa ditimbulkan oleh permainan judi, tetapi mereka tak mampu mencegah. Itu sebabnya mereka duduk dengan gelisah. Para pangeran dan bangsawan menyaksikan permainan itu dengan penuh minat dan semangat.
Mula-mula mereka bertaruh uang, sesudah itu bertaruh emas permata. Disusul kereta dan kuda-kudanya. Yudhistira selalu kalah. Sejak permainan pertama dia belum pernah menang. Kemudian Yudhistira mempertaruhkan semua pengawal dan pelayannya, lalu gajah-gajah dan pasukan berkudanya. Semua yang ia pertaruhkan habis. Setiap kali Sakuni mengocok dan melemparkan dadu, dadu itu selalu memunculkan angka sesuai kemauannya.
Yudhistira kemudian mempertaruhkan semua desa di wilayah kerajaannya, lengkap dengan penduduknya, sawah dan ladangnya, dan segala macam ternaknya. Semuanya habis dikalahkan Sakuni.
Akhirnya Sakuni bertanya, “Apakah masih ada yang bisa kaujadikan taruhan?”
Yudhistira menjawab, “Aku pertaruhkan Nakula, sauda-
raku yang tampan dan berkulit bersih. Ia adalah salah satu hartaku yang paling berharga.”
Sakuni bertanya, “Kau tidak menyesal? Kami akan senang sekali memenangkan taruhan itu.” Sambil berkata demikian ia melemparkan dadu. Ketika berhenti berputar, dadu itu memunculkan angka yang dikehendakinya. Hadirin bingung melihat itu.
Yudhistira berkata, “Ini saudaraku yang lain, Sahadewa. Ia seorang seniman yang punya pengetahuan mendalam tentang berbagai macam seni. Aku tahu, sebenarnya aku tidak boleh mempertaruhkan dia. Tetapi ... ayo, kita teruskan permainan.”
Sambil melemparkan dadu, Sakuni berkata, “Baiklah, kita teruskan permainan, dan ... lihat aku menang.”
Yudhistira menyerahkan Sahadewa yang ia pertaruh- kan. Khawatir kalau-kalau Yudhistira memutuskan untuk berhenti bermain, dengan licik Sakuni memancing-mancing, “Bhima dan Arjuna adalah saudara-saudara kan- dungmu. Kalian terlahir dari satu ibu. Kau tidak akan mempertaruhkan mereka, bukan?”
Mendengar kata-kata itu, Yudhistira tersinggung. Ia tidak mau dikatakan tega mempertaruhkan saudara-saudara tirinya dan lebih menyayangi saudara-saudaranya sekandung. Ia tidak dapat menahan perasaannya, lalu berkata, “Engkau sengaja hendak memecah-belah kami. Engkau mengadu domba kami! Engkau yang selalu hidup dikuasai nafsu setan takkan bisa mengerti bagaimana hidup kami yang sebenarnya.”
Setelah mengambil napas, ia menyambung, “Aku akan
pertaruhkan Arjuna, pahlawan yang selalu menang di medan pertempuran. Mari kita teruskan permainan.”
Sakuni menjawab, “Baiklah, aku lemparkan dadu. Lihat... aku menang!”
Yudhistira kalah lagi. Arjuna diambil oleh Kaurawa.
Kekalahan terus-menerus membuat Yudhistira gelap mata. Tanpa sadar, ia semakin tenggelam dalam tipu daya Sakuni. Dengan air mata berlinang-linang ia berkata, “Ini Bhima, saudaraku, panglima tertinggi balatentara kami. Ia tak kenal menyerah dan keperkasaannya tak tertandingi. Aku jadikan dia taruhanku.”
Permainan diteruskan. Yudhistira kehilangan Bhima. Sambil mengejek Sakuni bertanya, “Apakah masih ada
yang bisa kaujadikan taruhan?”
Dharmaputra menjawab, “Ya, diriku sendiri. Kalau kau menang, aku bersedia menjadi budakmu. Awas, perhatikan! Aku pasti menang.”
Sakuni melemparkan dadu dan ia menang.
Demikianlah, Yudhistira telah mempertaruhkan semua miliknya, termasuk saudara-saudara dan dirinya sendiri, lengkap dengan pakaian dan senjata yang selalu lekat pada tubuh para kesatria. Semua itu gara-gara ia terbujuk oleh kata-kata Sakuni yang terus-menerus berusaha mempengaruhi, memancing-mancing, menyindir dan mengejeknya agar Yudhistira kehilangan kendali atas dirinya, menjadi marah, bernafsu dan tak kuasa menghentikan permainan.
Sakuni bangkit berdiri lalu memanggil kelima Pandawa satu per satu. Dengan lantang ia mengumumkan bahwa secara sah mereka sekarang menjadi budak-budaknya. Para hadirin terpaku, tak kuasa berkata-kata. Sambil memandang Yudhistira, Sakuni melanjutkan, “Masih ada satu permata milikmu yang dapat engkau pertaruhkan. Mungkin kali ini nasib baik berpihak padamu dan engkau menang. Apakah kau tidak berani melanjutkan permainan dengan mempertaruhkan Draupadi, istrimu?”
Dengan putus asa Yudhistira menjawab, suaranya bergetar, “Baiklah, aku pertaruhkan dia.”
Hadirin menjadi ribut. Dari tempat duduk para sesepuh terdengar bisik-bisik tidak setuju. Kemudian dari segala penjuru terdengar teriakan, “Tidak, tidak, tidak!”
Tetapi Duryodhana dan saudara-saudaranya bersorak- sorak. Di antara para Kaurawa, hanya Yuyutsu yang menundukkan kepala, sedih menyaksikan semua itu. Sakuni melemparkan dadu lagi dan berteriak, “Aku menang! Lihatlah!”
Duryodhana menoleh kepada Widura sambil berkata,
“Pergilah ambil Draupadi istri Pandawa. Mulai sekarang ia harus menyapu dan membersihkan istana kita. Pergi segera! Sekarang juga!”
Widura menjawab, “Kau gila. Ini berarti kau mengundang kehancuranmu sendiri. Ketahuilah, nasibmu kini ibarat tergantung pada seutas benang. Kalau tak hati-hati, kau akan jatuh ke dalam jurang kenistaan. Kaukira keme- nanganmu ini akan membuatmu bahagia. Dengar, sekarang kau sedang mabuk dalam lautan kemenangan yang akan menenggelamkan dirimu.”
Setelah berkata demikian, Widura menoleh kepada Yudhistira sambil melanjutkan kata-katanya, “Yudhistira, kau tidak berhak mempertaruhkan Draupadi sebab dirimu sendiri tidak bebas lagi. Dirimu sudah kaupertaruhkan. Kau telah kehilangan kebebasan dan segala hakmu. Tapi
... aku melihat keruntuhan Kaurawa semakin dekat. Karena mengabaikan nasihat dan petunjuk para guru, kawan dan pendukung mereka, aku yakin, putra-putra Dritarastra kini sedang menuju ke lembah neraka.”
Duryodhana sangat marah mendengar kata-kata Widura. Ia lalu berkata kepada Prathikami, sais keretanya, “Widura iri melihat kemenangan kita dan takut kepada Pandawa. Tetapi engkau ada di pihak kami. Pergilah engkau, ambil, dan bawalah Draupadi ke sini.”
Prathikami pergi menjemput Draupadi di balai peristirahatan. Seperti diperintahkan Duryodhana, ia berkata, “Paduka Permaisuri, Raja Yudhistira kalah dalam permainan dadu dan telah mempertaruhkan semuanya, terma- suk diri Paduka. Kini Paduka menjadi milik Duryodhana. Hamba diperintahkan menjemput Paduka untuk dijadikan pelayan di istana ini.”
Draupadi, permaisuri Rajadiraja yang telah melaksanakan rajasuya, sangat terkejut mendengar pesan aneh itu. Ia bertanya, “Wahai Prathikami, apa maksudmu berkata begitu? Raja Yudhistira tak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan?”
Prathikami menjawab, “Ya, Raja Yudhistira telah mempertaruhkan semua miliknya dan kalah. Kini ia tak punya apa-apa lagi. Karena itu, ia mempertaruhkan Paduka Permaisuri.”
Kemudian ia menceritakan bagaimana Yudhistira kalah dalam permainan dadu dengan mempertaruhkan semua miliknya, saudara-saudaranya, termasuk dirinya sendiri.
Walaupun hatinya pedih sekali, namun kekuatan batinnya mendorong Draupadi untuk berkata, “Wahai sais kereta, kembalilah kepada tuanmu. Tanyakan pada yang bermain dadu. Tanyakan, apakah lebih dulu mempertaruhkan dirinya sendiri atau istrinya. Tanyakan ini di depan semua yang hadir di sana. Kemudian kembalilah ke sini dengan jawaban itu. Setelah itu, barulah aku bersedia kaubawa ke sana.”
Bersambung...
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment