Tuesday, February 28, 2017

MAHABARATA 27 (lanjutan 3)




_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
27. Pengembaraan di Rimba Raya (lanjutan...)
Dalam pengembaraannya, Pandawa sampai ke pertapaan Resi Raibhya di tepi Sungai Gangga. Mereka berhenti, membersihkan diri dan melakukan upacara pemujaan, lalu beristirahat. Resi Lomasa bercerita tentang riwayat pertapaan itu.
“Yawakrida, anak seorang resi, menemui ajalnya di sini. Beginilah kisah hidupnya....
“Resi Raibhya dan Resi Bharadwaja adalah dua brahmana yang bersahabat dan pertapaannya berdampingan.
“Raibhya punya dua anak laki-laki, namanya Parawasu dan Arwawasu, sedangkan Bharadwaja punya satu anak laki-laki, namanya Yawakrida.
“Kedua anak Raibhya mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-sungguh hingga mereka menjadi orang suci yang termasyhur. Melihat itu, Yawakrida iri dan benci kepada mereka. Ia tidak mematuhi nasihat ayahnya. Untuk melampiaskan rasa iri dan kebencian hatinya, ia menyiksa diri dengan bersamadi dan bertapa berbulan- bulan, tanpa makan tanpa minum. Ia ingin mendapat karunia kesaktian. Mengetahui itu, Batara Indra merasa iba. Ia mendatangi Yawakrida. Batara Indra menasihati Yawakrida agar tidak menyiksa diri seperti itu.
“Yawakrida menjawab, ‘Aku ingin menguasai kitab-kitab suci Weda, melebihi mereka yang telah mempelajarinya. Aku ingin menjadi mahaguru tentang kitab-kitab suci itu. Sebab itu, aku lakukan semua ini agar cita-citaku lekas tercapai. Bagiku, belajar dari seorang guru membutuhkan waktu lama. Aku rajin berpuasa dan bersamadi, agar pengetahuan itu langsung kuterima, tanpa perlu berguru. Restuilah aku!’
“Batara Indra tersenyum seraya berkata, ‘Wahai Brahmana, engkau berada di jalan yang salah. Pulanglah engkau! Carilah seorang guru yang baik dan pelajarilah kitab- kitab Weda darinya. Menyiksa diri bukan cara benar untuk belajar. Cara belajar yang benar adalah dengan bertekun mempelajari sesuatu.’ Setelah berkata demikian, Batara Indra menghilang.
“Yawakrida tidak mengindahkan nasihat itu. Ia terus menyiksa diri. Batara Indra muncul lagi, memberinya peringatan. ‘Engkau memilih jalan salah untuk memperoleh ilmu. Untuk memperoleh ilmu, satu-satunya jalan adalah belajar. Ayahmu mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sabar dan berhasil. Yakinlah, kau pun pasti bisa. Berhentilah menyiksa dirimu.’
“Yawakrida tetap tidak mengindahkan nasihat Batara Indra. Malahan ia berkata, jika puasa dan semadinya tidak dikabulkan, ia akan memotong kaki dan tangannya untuk dijadikan sesaji dalam upacara persembahyangan.
“Pada suatu hari, ketika hendak menyucikan diri di Sungai Gangga sebelum mulai bersemadi, ia melihat seorang lelaki tua sedang bekerja keras melemparkan pasir ke dalam sungai dengan kedua tangannya. Yawakrida bertanya, ‘Wahai Pak Tua, apa yang sedang kaukerjakan?’ Lelaki tua itu menjawab, ‘Aku hendak membendung sungai ini. Jika aku bisa membangun bendungan dengan cara ini, orang akan bisa menyeberangi sungai ini dengan mudah. Tahukah engkau bahwa tidak mudah menyeberangi Sungai Gangga. Bukankah membuat bendungan suatu pekerjaan yang mulia?’
“Yawakrida tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ia berkata, ‘Rupanya engkau sudah gila! Engkau pikir, dengan melempar-lemparkan pasir —dengan kedua tanganmu yang rapuh— engkau akan bisa membendung arus sungai yang perkasa ini? Bangkitlah dan carilah pekerjaan yang lebih berguna!’
“Orang tua itu menjawab, ‘Apakah pekerjaanku ini lebih gila daripada perbuatanmu menyiksa diri karena ingin menguasai kitab-kitab suci Weda tanpa berguru? Bukankah engkau enggan belajar dengan sabar dan tekun?’
“Maka, tahulah Yawakrida bahwa orang tua itu tak lain adalah Batara Indra. Ia segera menjatuhkan diri, bersujud dan memohon agar Batara Indra berkenan menganugerahkan pastu kepadanya. Batara Indra mengabulkan permintaannya dengan syarat Yawakrida harus mempelajari kitab-kitab suci Weda sebagaimana mestinya.
“Sejak itu, Yawakrida mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-sungguh dan berhasil menguasainya dalam waktu singkat. Sayangnya, ia berjiwa lemah. Ia mengira, kemampuannya mempelajari kitab-kitab Weda dengan cepat itu bukan karena pertolongan gurunya, melainkan karena anugerah pastu Batara Indra. Ia menjadi sombong.
“Resi Bharadwaja, ayahnya, yang mengetahui hal itu segera menasihatinya, ‘Jangan biarkan dirimu terjebak dalam perangkap iri dan tinggi hati. Usahakan membatasi diri, jangan melampaui batas-batas kesopanan. Jangan bersikap congkak terhadap orang yang lebih tua seperti Resi Raibhya.’
“Musim semi tiba. Pohon-pohon bertunas, bunga-bunga mekar semerbak mewangi, hamparan padang rumput terlihat hijau segar. Ke mana mata memandang, yang tampak adalah keindahan. Binatang-binatang di hutan, burung- burung di angkasa, ikan di sungai dan telaga, semua gembira menyambut datangnya musim semi yang gemilang.
“Dalam suasana yang indah itu, istri Parawasu yang cantik dan muda belia berjalan-jalan di luar pertapaan sambil memetik bunga-bunga dan bersenandung merdu. Di tengah keindahan alam, kecantikannya semakin tampak cemerlang. Yawakrida yang kebetulan lewat di situ, melihatnya dan terpikat oleh kecantikannya. Ia berhenti dan memandangi wanita itu dengan penuh gairah. Lama- lama ia tak dapat menahan gejolak berahinya. Disambarnya putri itu lalu diseretnya ke balik semak-semak. Di sana, dengan kasar ia melampiaskan nafsunya sepuas- puasnya.
“Resi Raibhya yang baru kembali ke pertapaan melihat menantunya menangis tersedu-sedu. Setelah mengetahui apa yang terjadi, resi tua itu marah. Dicabutnya sehelai rambut dari kepalanya lalu dibakarnya dalam api pemujaan sambil mengucapkan mantra. Seketika itu juga, dari rambut yang terbakar itu muncul makhluk halus berwujud seorang gadis cantik. Kemudian ia mencabut dan membakar sehelai rambut lagi. Setelah mengucapkan mantra, muncullah makhluk halus berwujud raksasa perkasa bersenjata lembing. Resi Raibhya memerintahkan kedua makhluk halus itu untuk membunuh Yawakrida.
“Keesokan paginya, ketika sedang mengisi kendinya dengan air, Yawakrida melihat seorang gadis cantik tiba- tiba muncul di hadapannya. Gerak-geriknya sungguh menawan hati. Ia terlengah sesaat dan secepat kilat makhluk cantik itu merampas kendinya yang sudah diisi air untuk menyucikan diri. Yawakrida beranjak, hendak mengejarnya, tetapi dihalangi oleh raksasa perkasa bersenjata lembing. Yawakrida sangat ketakutan. Sadar bahwa ia tak bisa mengucapkan mantra sebelum menyucikan diri, Yawakrida lari ke tepi telaga. Tetapi telaga itu kering. Ia lari ke tepi sungai, tetapi sungai itu juga kering. Ia terus berlari mencari air. Ke mana pun ia lari, raksasa itu terus mengejarnya. Akhirnya ia tidak bisa berlari lagi. Tubuhnya yang letih jatuh terguling di tanah. Raksasa itu mendekat dan menancapkan lembingnya. Tamatlah riwayat Yawakrida.
“Bharadwaja mengetahui hal itu. Ia sedih dan marah karena kematian putranya. Dalam keadaan marah, ia melancarkan kutuk-pastu ke arah Resi Raibhya: kelak resi itu akan mati di tangan salah satu anaknya. Tetapi setelah mengucapkannya, Resi Bharadwaja menyesal. Ia sadar, putranya memang bersalah. Akhirnya, dalam upacara pembakaran mayat putranya, Bharadwaja terjun ke dalam api dan musnah bersama anaknya. Demikianlah, roh Yawakrida dan Bharadwaja bersama-sama kembali ke alam baka yang tenang dan damai.”
Resi Lomasa berkata, “Inilah bekas pertapaan Resi Raibhya yang kuceritakan tadi. Wahai Yudhistira, dari sini naiklah ke gunung. Bila engkau telah sampai ke puncaknya, segala mendung yang menutupi hidupmu akan lenyap. Gunung itu adalah gunung suci! Amarah dan nafsumu akan tercuci bersih jika engkau mandi di sungai ini. Mandilah dan sucikan dirimu.”
Demikianlah Resi Lomasa menutup kisahnya tentang puasa dan samadi yang tidak berguna karena didasari niat untuk mencapai tujuan yang tidak pantas. Kemudian Resi Lomasa melanjutkan ceritanya.
“Dalam soal keagamaan, Raja Brihadyumna adalah pengikut setia Resi Raibhya. Pada suatu hari ia ingin mengadakan upacara persembahyangan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ia memin- ta Resi Raibhya agar mengirimkan Parawasu dan Arwawasu ke istana untuk memimpin upacara tersebut. Permintaan itu dikabulkan dan Resi Raibhya memberi petunjuk seperlunya kepada kedua putranya. Ketika persiapan sedang dikerjakan, malam harinya Parawasu kembali ke pertapaan hendak menemani istrinya yang menginap di rumah ayahnya.
“Saat itu tengah malam. Suasana gelap. Tiba-tiba ia melihat satu sosok berjalan membungkuk-bungkuk di tepi mata air, seakan-akan sedang mengintai mangsa. Tanpa berpikir panjang atau melihat lebih jelas, ia membidikkan lembingnya dan melemparkannya ke arah sosok itu. Crap! Tepat mengenai sasaran. Sesaat kemudian terdengar teriakan mengaduh. Ia mendekat. Dan ... alangkah terkejutnya Parawasu ketika sosok yang diserangnya ternyata ayahnya sendiri. Ketika itu ayahnya mengenakan pakaian dari kulit menjangan. Ia pergi ke mata air malam-malam untuk menimba air. Sebelum meninggal, Resi Raibhya sempat menceritakan kutuk-pastu yang dilancarkan Resi Bharadwaja kepadanya.
“Parawasu segera menemui Arwawasu dan menceritakan peristiwa sedih itu. Ia berkata, ‘Kejadian ini hendaknya jangan sampai menghalangi upacara persembahyangan. Lakukan upacara pembakaran jenazah atas namaku, sebagai pengganti dosa yang telah kuperbuat tanpa sengaja.Pengampunan bagi dosa-dosa yang dilakukan tanpa sengaja adalah dibenarkan. Sementara engkau menggantikan aku dan memohonkan ampun untuk dosaku kepada Ayah, aku akan memimpin upacara permohonan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat negeri ini tanpa perlu kau bantu. Tapi... engkau takkan bisa memimpin upacara itu sendiri tanpa bantuanku.’
“Arwawasu yang suci dan berbudi luhur menuruti kata saudaranya. Ia melakukan upacara pembakaran jenazah ayahnya, bersembahyang atas nama saudaranya dan melakukan tapa untuk menyucikan diri atas namanya sendiri dan saudaranya, Parawasu. Setelah upacara selesai, ia menyusul saudaranya ke istana Raja Brihadyumna.
“Tetapi Parawasu terkutuk oleh dosanya sendiri. Ternyata ia mempunyai maksud jahat dan pertimbangan lain. Ia lupa bahwa dosa tidak bisa ditebus orang lain. Mewakilkan penebusan dosa kepada orang lain sama dengan menyuruh orang lain memikulkan dosa kita dan itu berarti menambah dosanya sendiri. Melihat saudaranya yang lebih suci, bijaksana, dan berbudi luhur memasuki ruangan upacara, Parawasu mengucapkan penghinaan dan menuduh saudaranya telah membunuh seorang brah- mana. Katanya lantang, ‘Seorang pembunuh tidak boleh dibiarkan masuk agar tidak mengotori ruangan suci ini.’ Kepada para pengawal kerajaan Parawasu meminta agar saudaranya diusir keluar istana dengan alasan istana tak boleh dikotori oleh orang yang membawa dosa sebagai pembunuh seorang brahmana.
“Arwawasu menolak tuduhan itu dan berkata bahwa sesungguhnya Parawasu yang melakukan dosa itu tanpa sengaja. Ia juga berkata bahwa dirinya telah melakukan upacara penebusan atas nama saudaranya. Tetapi, tidak seorang pun mempercayai kata-katanya. Penyangkalannya itu justru memperburuk kesan orang akan dirinya. Atas perintah raja, ia diusir dengan kasar.
“Arwawasu yang dituduh membunuh ayahnya dan memberikan keterangan palsu, kembali ke dalam hutan dengan perasaan putus asa. Tidak adakah keadilan di dunia ini? Kemudian, dengan tekad yang bulat, ia melakukan tapa brata yang seberat-beratnya. Dalam tapa brata ia berusaha menyucikan pikirannya dari segala macam kejahatan dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar jalan ayahnya dilapangkan di alam baka, terbebas dari belenggu karma dan pada gilirannya kembali manunggal dengan Hyang Widhi Yang Maha Kuasa. Kecuali itu dia mohon agar Parawasu, saudaranya, dibebaskan dari kejahatan dan dosa yang telah dilakukannya.”
Resi Lomasa menutup kisah itu dengan berkata kepada Yudhistira, “Arwawasu dan Parawasu adalah dua brahmana muda yang pandai dan terpelajar. Tetapi, untuk bisa berbuat kebajikan dan mempunyai budi luhur, orang harus berusaha selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk. Pengetahuan tentang baik-buruk harus benar-benar meresap dalam jiwa seseorang dan tercermin dalam perbuatannya sehari-hari. Hanya dengan jalan demikian seseorang dapat disebut bijaksana dan berbudi luhur. Pengetahuan yang kita peroleh hanya merupakan keterangan yang akan menimbuni pikiran kita dan membuat kita tidak bijaksana. Semua itu ibarat pakaian luar yang diperlihatkan kepada orang lain tetapi sesung- guhnya bukan bagian dari diri kita.”
Bersambung...
Terimakasi Bpk Agung Joni telah memberi ijin share tulisan beliau

No comments:

Post a Comment