Sunday, February 5, 2017

MAHABARATA 5

_/l\_ ॐ साई राम
MAHABHARATA
5. Dewabrata, Putra Raja Santanu dan Dewi Gangga
Wahai Dewiku, maukah engkau menjadi istriku? Aku tidak peduli siapa pun engkau. Aku terpesona oleh kecantikanmu dan jatuh cinta padamu. Siapakah engkau dan dari manakah asalmu?” kata Raja Santanu kepada seorang gadis jelita yang berdiri di hadapannya. Sesungguhnya gadis itu adalah Dewi Gangga, bidadari kahyangan yang turun ke bumi dalam wujud manusia. Parasnya yang cantik, lekuk tubuhnya yang indah, dan tindak-tanduknya yang halus membuat Raja Santanu terpikat dan bangkit gairah asmaranya. Sang Raja berjanji akan mempersembahkan seluruh
cinta, kekayaan, dan kerajaannya —bahkan seluruh hidupnya— kepada gadis jelita itu. Tanpa curiga atas pertanyaan Raja Santanu, gadis itu
menjawab, “Wahai Raja perkasa, hamba bersedia menjadi istri Paduka asalkan Paduka berjanji memenuhi syarat- syarat hamba.”
“Apakah itu?” tanya Raja Santanu tak sabar.
“Pertama, jika hamba sudah menjadi istri Paduka, tak
seorang pun, tidak juga Paduka, boleh bertanya siapa sesungguhnya hamba dan dari mana asal-usul hamba. Kedua, apa pun yang hamba lakukan —baik atau buruk, benar atau salah, wajar atau ganjil— Paduka tidak boleh menghalang-halangi. Ketiga, Tuanku tidak boleh marah kepada hamba — dengan alasan apa pun. Keempat, Padu- ka tidak boleh mengatakan sesuatu yang membuat perasaan hamba tidak enak.
“Begitu Tuanku melanggar syarat-syarat itu —walau hanya satu— hamba akan meninggalkan Tuanku saat itu juga. Apakah Tuanku setuju dan bersedia berjanji untuk tidak melanggarnya?”
Tanpa berpikir panjang, Raja Santanu yang sedang dimabuk asmara langsung bersumpah akan memenuhi semua syarat yang dikatakan si gadis jelita. Demikianlah, tanpa mengenal siapa namanya dan tanpa mengetahui dari mana asal-usulnya, Raja Santanu mem- persunting gadis jelita yang ditemukannya di tepi Sungai Gangga. Dibawanya gadis itu ke istana dan dinobatkannya menjadi permaisurinya. Hari demi hari berlalu. Raja Santanu semakin mencintai permaisurinya yang jelita, lebih-lebih karena selain cantik, permaisurinya itu sangat berbakti kepadanya dan halus tutur katanya. Kebahagiaan Sang Raja semakin lengkap ketika tahu permaisurinya mengandung. Sembilan bulan mereka lewatkan dengan penuh bahagia. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan tibalah saatnya Dewi Gangga melahirkan. Sang Dewi pamit kepada suaminya, mengatakan bahwa dia akan pergi menyendiri dan melahirkan di tepi Sungai Gangga. Dia tak mau ditemani siapa pun, tidak juga sang Raja. Maka pergilah Dewi Gangga seorang diri. Sampai di tepi sungai, dia mencari tempat yang teduh dan terlindung untuk melahirkan. Bayi yang dilahirkannya langsung dibuangnya ke sungai. Setelah membersihkan diri, sang Dewi kembali ke istana dengan wajah berseri-seri, seolah- olah tak terjadi apa-apa.
Raja Santanu menyambutnya dengan penuh harap. Hatinya bahagia akan menyambut sang bayi, buah kasih- nya dengan permaisuri yang dicintainya. Tetapi, betapa kecewanya Raja melihat Dewi Gangga datang tanpa sang bayi. Perasaan Baginda campur aduk. Heran, melihat istri- nya kembali tanpa sang bayi. Cemas, memikirkan nasib sang bayi. Murka, karena permaisurinya tampak tenang dan tidak merasa bersalah. Raja merasa berdosa, karena tak kuasa berbuat apa pun kecuali diam seribu bahasa. Tak berani bertanya. Tak berani melanggar sumpah yang telah diucapkannya. Raja Santanu, yang terlanjur mencintai dan terpesona
oleh kecantikan permaisurinya, tak berani bertanya sepatah kata pun. Disambutnya sang Dewi dengan mesra, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Mereka melanjutkan kehidupan seperti biasa. Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Dewi Gangga kembali hamil dan ketika tiba saatnya melahirkan, sekali lagi dia mohon diri hendak menyepi di tepi Sungai Gangga. Syarat yang diajukannya tetap sama: tak seorang pun boleh mengikutinya. Hal yang sama terulang. Sang Dewi kembali ke istana tanpa menggendong bayi. Sang Raja, dengan perasaan ter- tekan, menyambut istrinya seolah-olah tak terjadi apa-apa. Demikianlah, kejadian itu berulang sampai tujuh kali. Tetapi, pada kehamilan yang kedelapan, Raja Santanu tak kuasa menahan diri lagi. Sudah lama ia bertanya-tanya dalam hati, siapa dan dari mana asal perempuan kejam yang menjadi istrinya itu. Di mana semua anak yang telah dilahirkannya? Sungguh kejam ibu yang menelantarkan bayi-bayinya. Diam-diam Raja membuntuti istrinya ke tepi Sungai Gangga. Alangkah terkejutnya Baginda melihat sang Dewi mengangkat bayi yang baru dilahirkannya dan siap mence- burkannya ke dalam sungai. Tanpa berpikir panjang dan lupa akan sumpahnya, Baginda berteriak lantang, “Henti- kan! Ini pembunuhan kejam! Rupanya kau tega membu- nuh bayi-bayimu yang tidak berdosa!” Sambil berteriak demikian, Raja mencengkeram tangan Dewi Gangga, mena- hannya agar tidak melaksanakan perbuatan terkutuk itu.
“Wahai, Raja yang Agung! Kau telah melanggar janjimu padaku karena hati dan perasaanmu telah tertambat pada bayi ini. Itu artinya, engkau tidak menginginkan aku lagi. Baiklah, aku tidak akan membunuh bayi ini! Tetapi sebelum aku pergi dan sebelum engkau menyimpulkan sesuatu tentang aku, dengarkanlah ceritaku ini. Aku adalah bidadari yang dipaksa memainkan lakon duka ini karena sumpah Resi Wasistha. Sesungguhnya aku ini Batari Gangga yang dipuja para dewa dan manusia. Resi Wasistha telah menimpakan kutuk-pastu kepada delapan wasu yang akan terpaksa lahir ke bumi ini. Para wasu itu kemudian memohon agar aku bersedia menjadi ibu mereka. Dengan perkenanmu, Raja Santanu, aku melahirkan mereka ke dunia, sebagai anak-anakmu. Sebagai balas budi karena telah menolong mereka, kelak engkau akan mencapai tempat yang mulia tinggi di alam baka. Sekarang, aku akan membawa bayi ini dan mengasuhnya sampai dia cukup besar dan tiba waktunya untuk kuserahkan kembali kepadamu. Anak ini akan menjadi lambang dan kenangan atas cinta kita berdua.” Setelah berkata demikian, Batari Gangga menghilang bersama bayinya. Kelak, bayi itu dikenal dengan nama Bhisma dan menjadi kesatria sakti yang termasyhur.
Bersambung....

No comments:

Post a Comment